30. Truly Deeply Madly

Semoga kamu lalai dalam menyakiti diri sendiri

Semoga kamu lekas sembuh dari kosong yang hanya terisi api

Semoga kamu menemukan cinta yang tahu cara menenangkan air bah di dalam sungaimu

Semoga kamu dijauhkan dari nama yang hanya membawamu air mata

Semoga kamu selalu bahagia

Semoga kami selalu bahagia

—Amin Paling Serius

[On mulmed: Sal Priadi ft. Nadin Amizah]

————————

Mas Rizki menelan ludah. Di kepalanya sudah muncul satu asumsi besar ketika melihat seorang perempuan keluar dari mobil seraya menggendong batita cantik. Mencari Juna.

“Maaf, yakin, cari Juna, Mbak?” Memastikan sekali lagi sambil menata rambutnya yang acak-acakan. Takutnya dia salah dengar. Maklum, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Lelah sehabis menyetir dari rumah neneknya si Kembar. Baru pulang Subuh tadi.

“Iya. Juna ada di kos?”

“Juna yang ganteng cakep, bukan, ya?”

Terlihat menahan senyum. “Memang ada berapa Juna?”

“Satu sih, siapa tahu Juna yang bukan ngekos di sini.” Mas Rizki nyengir lebar. “Eh, duduk dulu, Mbak. Saya panggilkan Juna.”

Dia duduk di kursi teras. Batita dalam pangkuannya tidak rewel sama sekali.

“Waduh, kayaknya Juna nggak ada di kos, Mbak.” Mas Rizki kembali sesaat kemudian, setelah mengetuk pintu kos Juna dan nihil. Dikunci juga. Mengintip di jendela, dari celah gorden, dia lihat kasurnya masih rapi. Tidak ada tanda-tanda Juna di dalam.

“Kira-kira ke mana ya, Mas?”

“Itu mobilnya ada. Tapi nggak tahu, perginya tadi kapan.”

“Lama nggak kira-kira?”

“Nggak pasti. Dia sibuk banget, Mbak. Bener-bener di kos semingguan pas dia sakit kemarin. Itu kalau nggak sakit, mana mungkin betah seminggu di kos.”

“Sakit apa?” Terdengar sedikit cemas.

Mas Rizki melirik batita itu. Terlihat mirip Juna kalau dilihat dua kali. Jangan-jangan memang benar kalau ini anak si Kunyuk itu. Awas saja kalau berani menghamili anak orang sampai ada bayi sebesar—

"Mas?"

“Ah. Demam berdarah.”

“Udah sembuh?”

“Udah sehat, buktinya udah nggak ada di kos. Balik ke rutinitas.”

“Boleh minta kontaknya Juna?”

“Oh, boleh.” Mas Rizki mengeluarkan ponsel. Mencari kontak Juna dan menyodorkannya pada perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai Sarah. Tanpa berpikir macam-macam atau izin dulu ke Juna. Perempuan ini terlihat orang baik-baik.

“Makasih, Mas, saya permisi.” Sarah berdiri. Seketika membuat Mas Rizki menatap batita itu penuh rasa ingin tahu, lagi.

“Mbak, tunggu.” Mas Rizki menyusul ke dekat mobil. Tanpa tedeng aling-aling akhirnya menyuarakan isi kepalanya daripad jadi bisul. “Maaf, anaknya kok mirip Juna?”

“Ya?”

“Maksudnya, Juna nggak menghamili Anda, ‘kan?”

Sarah mengernyit, kemudian tersenyum. “Saya kakaknya Juna.”

“Alhamdulillah ya Allah!” Mas Rizki menepuk-nepuk dada dengan lega.

“Kenapa memangnya, Mas?”

“Saya takut Juna khilaf, Mbak. Saya udah anggap dia adik sendiri soalnya. Saya kebiri kalau sampai dia beneran ngehamilin anak orang. Untungnya sampai saat ini dia nggak aneh-aneh. Tapi kalau gebetan sih saya yakin buanyak.”

Mengabaikan ujung kalimat, hati Sarah menghangat. Dia lega karena Juna ada di lingkungan yang baik. “Saya titip Juna ya, Mas.”

“Oh, tentu, Mbak, tentu. Mbak jangan khawatir.”

***

Tangannya digenggam tiba-tiba. Membuat lamunnya buyar seketika.

“Kenapa, Mas?” Danisha menoleh, melepas jendela yang penuh rintik sendu, yang sejak tadi menjadi objek lamunannya.

“Teman-temanmu bisa ketemu malam ini?”

Danisha tersenyum ragu. “Aku nggak yakin, Mas. Misal yang datang cuma satu atau dua—”

“Nggak apa-apa. Mereka juga sibuk. Aku ngerti.”

Mobil Dewa kemudian merapat di salah satu hotel, tempat Danisha malam ini perform tunggal. Bukan dengan gaya khas lady rocker seperti biasa, di dalam balutan dress putih gading yang sederhana, anehnya Danisha tampil menawan. Rambut bergelombangnya, tergerai lurus sepunggung. Tidak ada polesan berlebihan di wajah. Tapi dirinya sudah berkilau di bawah lampu-lampu gedung yang megah. Cantik yang mampu menyihir Dewa.

Namun, mendadak langkah Danisha terhenti. Pegangannya di lengan Dewa mengerat tanpa sadar. Tatapannya tertuju pada panggung di sebelah kiri dari panggung utama.

Danisha menelan ludah. Bergeming di tempat. Tidak menduga jika dia akan mendapati Juna ada di tempat yang sama. Memang, ini bukan kali pertama dia tidak sengaja bertemu Juna di acara resepsi. Tapi, ini kali pertama bertemu setelah dirinya memaki Juna tempo hari.

Dewa menoleh bingung. “Mau ke kamar mandi dulu sebelum tampil?”

“Oh, nggak.” Danisha melepas tangannya, kemudian berjalan ke panggung ketika sang MC perempuan sudah membacakan profilnya.

“Danisha ini sahabat kamu ya, Jun. Oke, boleh dong misalnya duet. Pasti dapet nih chemistry-nya. Aduh, mana cantik banget Danisha malam ini.” Sang MC perempuan tidak sadar jika memancing di air keruh.

Baiklah, Danisha maklum. Mungkin dia tidak tahu kalau dirinya dan Juna sedang ada masalah. Danisha pun percaya kalau lelaki itu akan menolak ide dari rekan MC-nya.

Kalimat berikutnya membuat harapan Danisha pupus sudah.

“Nantang nih?” Juna terkekeh. Lalu pandangannya mengedar, mencari keberadaan Danisha. “Boleh. Tunggu gue di situ, Dan.” Sambil menunjuk ke arah Danisha yang sudah berdiri di panggung sebelah kanan yang separuhnya terisi alat musik.

Konsep pernikahan itu cukup santai, sehingga pembawaan Juna dan Rara juga demikian. Tidak seformal acara pernikahan pada umumnya. Juna meninggalkan panggung sebelah kiri, menuruni anak tangga, melewati beberapa tamu. Hingga benar-benar tiba di panggung tempat Danisha sudah menunggu.

Juna melempar senyum kasual. Bersikap profesional. Meninggalkan apa pun masalah yang sedang mendera mereka, demi penampilan selaras di atas panggung. Meletakkan cue card di atas kursi kosong, Juna menyejajari Danisha. Sempat berbisik, menanyakan lagu. Danisha menjawab pendek. Ikut mengesampingkan ego.

“Selamat malam, tamu hadirin.” Danisha mulai menyapa. “Selamat menempuh hidup baru saya ucapkan kepada kedua mempelai. Semoga bahagia senantiasa dalam naungan. Semoga dengan bersama, gemuruh badai akan luruh. Semoga kalian bahagia.”

Juna terpaku, menatap Danisha dalam. Hingga alunan piano mulai terdengar. Dirinya mengakui jika terpesona melihat perempuan itu malam ini. Dalam balutan gaun yang sederhana, entah bagaimana pesona Danisha justru berkali lipat. Juna mengakui dirinya kalah. Dengan jantung berdebar, Juna mendekatkan mikrofonnya.


Aku tahu kamu lahir dari
Cantik utuh cahaya rembulan

Sedang aku dari badai
Marah riuh yang berisik

Juga banyak hal-hal yang sedih


Tepuk tangan meningkahi suara Juna yang luar biasa merdu. Dia menyanyi dengan mulus. Danisha yang baru pertama mendengar langsung—karena sebelumnya hanya tahu dari cerita Nina—cukup terkesiap. Nina tidak bohong dengan omong besarnya yang bilang jika Juna punya potensi menjadi penyanyi terkenal.

Danisha memejamkan mata. Menghindari tatap mata yang sejak tadi tertuju padanya. Dia tidak ingin hancur dan luruh di sini. Memulai bagiannya.


Tapi menurut aku kamu cemerlang

Mampu melahirkan bintang-bintang

Menurutku ini juga

Karena hebatnya badaimu
Juga karena lembutnya tuturmu

‘Tuk perjalanan ini
Mari kita ketuk pintu yang sama
Membawa amin paling serius
Seluruh dunia ....


Di salah satu sudut ruangan megah itu, Yasmin tersenyum getir. Terasa sesak bagaimana dirinya menyadari Juna menatap penuh cinta pada perempuan yang ingin sekali Yasmin gantikan posisinya.

Danisha membuka mata, dirinya terlalu hanyut jika hanya mendapati gelap dan ternyata wajah Juna justru membayang jelas.


Bayangkan betapa cantik dan lucunya
Gemuruh petir ini

Disanding rintik-rintik yang gemas
Dan merayakan
Amin paling serius seluruh dunia

Jeda sesaat untuk gemuruh tepuk tangan. Danisha menoleh, menemui sepasang mata teduh itu. Suara sendunya kembali terdengar.

            
Aku tahu kamu tumbuh dari
Keras kasar sebuah kerutan

Sedang aku dari pilu
Aman yang ternyata palsu

Juga semua yang terlalu baik


Yang tak semua orang tahu, Juna sedang membiarkan dirinya terjebak dalam tatapan itu. Meski dia tahu setelah ini dirinya akan lebih hancur dari kemarin. Apa pun itu, Juna akan terima, asal dia bisa memiliki sebentar. Meski ilusi dan perempuan ini tidak tergapai, tapi entah bagaimana terasa sedikit menyenangkan.

            
Tapi menurut aku kamu cemerlang
Mampu melahirkan bintang-bintang

Menurutku ini juga
Karena lembutnya sikapmu
Juga sabarmu yang nomor satu


Tepuk tangan yang lebih keras mengiringi lagu yang juga berakhir. Juna memaksa dirinya kembali ke realita. Keduanya membungkuk. Lalu dengan gerakan tanpa bisa ditolak, Juna memberi pelukan singkat pada Danisha sebelum lebih dulu menuruni panggung.

Dia kembali ke Rara yang menatapnya penuh takjub. Perempuan itu memberi tepuk tangan kecil ketika Juna kembali ke sebelahnya.

Thankyou, Danisha dan Juna. Wow. Such a great performance, guys! Barusan romantis sekali. Ini kalau nggak tahu mereka sahabatan, bisa salah paham nih.” Kemudian menyenggol lengan Juna pelan, melempar candaan. “Nice try, Juna. Habis gini bisa ya MC sambil nyanyi di kondangan. Hemat ongkos jalan.”

Dibalas dengan tawa renyah dari Juna. Acara berlanjut. Danisha sudah menuruni panggung. Juna baru melepas sudut matanya dari Danisha setelah tahu ke mana dia melangkah; pada seorang lelaki yang sudah dipilih oleh perempuan itu.

***

“Beneran tadi nggak deg-degan?”

Sepulang dari acara, Juna nebeng Rara. Kebetulan rumah Rara searah dengan restoran tempat para sahabatnya bertemu. Danisha sebenarnya yang mengundang. Juna sudah bisa menebak apa yang ingin disampaikan perempuan itu. Pastilah kabar gembira yang sebenarnya tidak ingin Juna dengar.

Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. “Waktu nyanyi tadi?”

“Iya. Yakin cuma sebatas sahabat?”

“Mana mungkin bisa lebih? Orang dia udah punya calon kok.”

“Tapi gue sebagai perempuan, kok ngelihat Danisha ada rasa sama lo ya?”

“Ngawur.” Juna tertawa. “Udah ditolak gue.”

“Karma nih?” seringai Rara. Dia tahu sedikit track record lelaki ini.

“Ya anggaplah gitu.” Juna sedang tidak ingin menjelaskan apa-apa.

Tak lama, mobil Rara berhenti di depan restoran ternama. Juna berterima kasih dan bergegas keluar. Dia sudah terlambat setengah jam dari jam janjian.

Sialnya. Danisha masih mengenakan dress yang tadi. Membuat jantung Juna kebat-kebit menahan debaran supaya tak terdengar yang lain. Yang membuat Juna lega adalah fakta jika Dewa tidak ada di sana. Ke mana? Mana Juna tahu.

Oh ya, di meja besar itu juga ada Yasmin. Setelah menyalami semua orang, Juna duduk di dekat Yasmin tanpa diminta.

“Bareng siapa tadi?” Nina bertanya.

“Rara.”

“Rara yang mana? Baru ya?!” Nina kelepasan dan kena pukul di paha oleh Vian. Sontak membuat Nina menoleh ke Yasmin. “Eh, maaf, kebiasaan ngebully Juna sih.”

Juna mendecak. “Rara yang biasa jadi partner MC.”

Nina menyatukan kedua belah telapak tangan. Mengarahkannya ke Yasmin sebagai bentuk permintaan maaf terdalam dari hati. Kalau yang lain sudah kebal dengan candaan Nina, dia takut kalau Yasmin akan menganggap bercandanya ini kelewatan.

“Iya, tadi lihat kok. Rara cantik banget ya.”

Mengabaikan konteks kalimat, Juna sedikit berseru kaget. “Eh, kamu ada di resepsi tadi? Kok aku nggak lihat?”

Yasmin tersenyum tipis. “Nggak nyangka ya suara kamu bagus banget.”

“Tuh, apa gue bilang!” Nina refleks menggebrak meja. Vian terlambat menghalau tangan Nina. “Ini laki satu apa sih yang nggak bisa? Oke, selain melahirkan ya.”

“Mas Dewa belum dateng?” Juna mengalihkan. Sudah bosan dirinya dijadikan topik pembicaraan. Kebiasaan memang si Nina ini. Orangnya jelas-jelas ada di sini, ikut duduk dan mendengarkan, tapi lagaknya seperti Juna tidak ada dan bebas dikata-katai.

Danisha sejak tadi banyak diam dan membiarkan sahabat-sahabatnya merusuh. Sedang dirinya terus-terusan menatap ponsel.

“Kenapa, Dan?” Vian ikut menyadari raut cemas di wajah Danisha.

“Mas Dewa belum ngabarin.”

Juna menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut.

“Emang tadi pamitnya ke mana?” Vian bertanya lagi, lebih hati-hati.

“Anaknya masuk rumah sakit.”

Oh, jadi udah punya anak? Duda? Duren lebih tepatnya.

Nina yang memegang janjinya untuk bersikap biasa, melontarkan satu pertanyaan. “Anaknya sakit apa?”

“Belum tahu.”

“Semoga nggak apa-apa.”

Setelahnya hening. Juna juga tidak mengerti dengan situasi ini. Mungkin Vian yang teramat peka itu juga bisa merasakan bahwa ada dinding tak kasat mata di tengah mereka. Dan dinding itu yang menciptakan adalah Juna. Semua berawal dari kebodohannya.

Coba malam itu dia tidak khilaf mencium Danisha, pasti malam ini meja akan penuh obrolan seperti biasanya. Dirinya juga tidak akan mendapat tatapan dingin dari Danisha. Semua akan baik-baik saja kalau Juna bisa menjaga perilaku. Tapi, nyatanya, dia harus rela ditatap seperti itu oleh Danisha; menggigil dan merasa kehilangan pada waktu yang bersamaan.

***

Dengan sarung yang membungkus kedua bahu, Mas Rizki mengekori Juna yang baru pulang. Pukul berapa ini? Berani-beraninya pulang lewat tengah malam. Untung Juna bukan anak perawan. Jadi Mas Rizki tak perlu mengomel seperti emak-emak berdaster yang memakai banyak rol di rambut.

Juna berjengit kaget saat merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Hampir saja terjengkang.

Allahuakbar! Kira-kira dong, Mas! Gue kaget nih!”

“Emang suara kaki gue nggak kedengeran?”

“Kagak.”

Njir, lo bikin serem aja.” Mas Rizki mengibaskan tangan. Ingat dengan tujuannya menemui Juna. “Tadi siang dicariin.”

“Siapa?”

“Perempuan, bawa batita.”

“Iya. Siapa?”

“Cantik.”

“Mas, mending besok deh. Gue beneran udah capek dan ngantuk. Kalau mau ngajak berantem, besok gue ladenin. Janji.” Juna memasang wajah nelangsa agar dikasihani.

Mas Rizki menempelkan telunjuk di bibirnya sendiri. “Dasar ya tukang MC, nyerocos aja. Bentar, gue jelasin dulu.”

“Buruan.”

“Batitanya tuh mirip sama lo. Gue kira itu perempuan dateng ke sini mau minta tanggungjawab lo karena udah—”

“Mas, gue nggak pernah ngapa-ngapain anak orang ya!”

“Iya, makanya dengerin dulu. Sabar kenapa.”

Juna menarik napas. Menyandar di daun pintu kosnya. Tipis sekali sabarnya kalau sudah menghadapi bapaknya si Kembar ini.

“Namanya Sarah.”

Seketika tubuh Juna menegak, matanya membeliak. “Sumpah demi apa, Mas?!”

“Kok lo horor gitu?”

Juna menggamit kedua lengan Mas Rizki. Menggoyangkannya. “Kenapa lo nggak telepon gue dari tadi, Mas?!”

“Ya lo sibuk. Nggak mau ganggu gue.”

“Mbak Sarah titip pesan apa buat gue?”

“Nggak ada. Dia cuma minta nomor lo aja. Kebangetan banget sih, kakak sendiri nggak dikabarin kalau ganti nomor.”

“Yakin?!” Dengan suara yang kembali meninggi. Mengabaikan ujung kalimat Mas Rizki.

Mas Rizki menggaruk leher. “Mana tadi yang katanya capek, ngantuk?”

“Itu seriusan kakak gue ‘kan, Mas?” Memastikan sekali lagi.

“Anaknya mirip lo gitu kok. Kecuali kalau emang anak lo ya.”

“Sembarangan. Dia keponakan gue, Mas.”

“Oke. Sekian pesan yang bisa hamba sampaikan.” Mas Rizki menaikkan sarung hingga sebatas kepala. Menguap lebar. “Mohon undur diri.”

Sebelum benar-benar enyah dari depan kos Juna, Mas Rizki mendapat hadiah pelukan dan kecupan di atas sarung yang ada di kepalanya.

“Jijik, Jun! Woy!”

“Makasih, Mas, makasih banyak!”

Entah dengan tujuan apa Mbak Sarah mencarinya, tapi bukankah itu pertanda yang bagus? Setelah lima tahun mereka putus komunikasi, ini pertama kalinya Juna dicari oleh anggota keluarganya.

Juna tak sabar menunggu pagi segera tiba.

***

Baper nggak pas Juna nyanyi sm Danisha? Wkwkwk

Buat tim shipper junanina dan junavian, maafkan daku~~

Rabu, 18/09/2019
Revisi: 23.12.2021

NB: maaf juga buat tim JunaYasmin. Kapal kalian tyda akan pernah berangkat 😭🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top