I'm Fine (Really?)
Aku hanya bisa mendengus dengan perasaan tak terima. Pagi ini buruk sekali. Orang itu mengembalikanku dalam kondisi masih sangat berantakan akibat kecelakaan kereta kuda. Setidaknya kembalikan aku saat sudah diobati kek. Ini malah ku jadi menonjol ditengah banyak orang yang panik karena terbangun dalam kondisi berdarah-darah, mana sepertinya sempat mati pula.
Ya salahku juga sih melakukan hal konyol ini.
"Kau baik-baik saja, Tuan?"
Aku tak punya pilihan selain mengangguk. Apa mereka tak bisa lihat kepalaku bocor dan badan biru semua? Aku lagi-lagi menghela nafas panjang. Memegangi kepala seolah sakit sekali. Memang sakit sih, namun karena sudah sering mengalami hal yang seperti ini bahkan lebih, jadi sekarang biasa saja.
"Ah bawa ke rumah sakit...rumah sakit" mereka membopongku ke sebuah rumah sakit kecil di kota. Aku hanya bisa mengikuti alur ketika mereka mulai memperban dan mengobatiku. Aku harus terus pura-pura seperti manusia biasa agar tak terjadi masalah.
Karena pada kenyataannya aku memang bukan manusia. Aku bisa dibilang mayat hidup. Bukan...bukan zombie ataupun ghoul. Ku tak butuh makan yang aneh-aneh untuk hidup dan masih bisa beraktivitas seperti manusia kebanyakan. Namun dibilang Undead pun mungkin kurang tepat. Karena jantungku masih berdetak. Walau ku sudah mati berkali-kali dan dihidupkan kembali berkali-kali.
Ku tatap jendela rumah sakit dengan perasaan kosong. Pantulan jendela yang kulihat sesuai sekali dengan hatiku. Kosong, mati, tak ada cahayanya sama sekali dimataku. Ku tak mengerti jalan pikiran orang itu kenapa menghidupkan aku yang tak punya semangat hidup ini.
Walau sebenarnya dibilang tak punya semangat hidup juga tak tepat. Lebih tepatnya ku tak mengerti kenapa aku dihidupkan lagi.
Ngomong-ngomong, percobaanku menabrakkan diri ke kereta sepertinya gagal. Berarti penyebab ku berakhir seperti ini bukanlah ditabrak kereta karena ku tak menemukan apapun yang kucari.
"Fine... kau baik-baik saja?"
Sebuah suara mengagetkanku. Suara bernada rendah namun lembut yang terdengar familiar akhir-akhir ini ditelingaku. Gadis itu muncul lagi. Dengan wajah panik berlari kepadaku dengan sepatu dan payung yang basah karena diluar memang hujan.
"Kau tahu darimana aku disini, Asha" kataku menyipit. Ku tak mengerti kenapa dia selalu saja menemukanku. Semoga saja dia tidak menstalkerku. Aku tak ingin dia tahu kenyataan kalau aku berbeda. Karena itu peraturan yang diberikan bosku.
"Tadi ku tak sengaja melihatmu di depan rumah sakit. Kau tahu kan kalau aku sering kesini" kata Asha dengan wajah yang teramat polos.
Baiklah aku menyerah. Asha tak berbohong, karena dari raut wajahnya terlihat jelas kalau dia adalah orang yang tak berbakat berbohong.
"Kau tak pa-pa? Ku dengar kau ditabrak kereta kuda"
"Hum..."ku hanya mengangguk. Memalingkan muka kembali ke jendela.
"Kau tak mencoba sengaja menabrakkan diri kan?" tanyanya lagi dengan nada serius.
Aku meliriknya. Wajahnya tampak curiga. Kemudian ku kembali membuang muka.
"Itu bukan urusanmu, Asha. Toh ku mati tak ada yang peduli" kataku datar.
Sebuah cubitan mendarat dipipiku. Membuatku menatapnya dingin.
"Apa-apaan kau" protesku sembari mengusap pipiku. Karena kaget kurasakan badanku sakit semua karena gerak reflek.
"Aku masih peduli. Jangan bilang begitu" katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku terdiam. Tak tahu kenapa, aku tak pernah suka dengan perasaan setiap dia berwajah seperti itu. Tapi perasaan itu segera kutepis jauh-jauh. Kau mengharapkan apa dari gadis bodoh ini Fine. Kau itu sudah mati, kau tak perlu bersikap seolah punya hati seperti manusia kan.
"Berhenti menatapku seperti itu" kataku menghela nafas panjang. "Masih banyak yang perlu kau pikirkan daripada mengurus manusia sepertiku" tambahku sengaja merendahkan kata manusia.
"Tapi kau temanku" katanya menatapku dalam. "Kau sudah menyelamatkan hidupku, jadi kali ini aku ingin menyelamatkanmu dan membuatmu kembali baik-baik saja seperti namamu" katanya dengan senyum hangat.
Aku membuang muka. Percuma saja bicara dengan gadis yang dipenuhi cahaya ini.
Kembali ku menatap hujan di balik jendela. Awan gelap dan rasa dingin ini merupakan paduan yang sangat pas dengan kematian. Mungkin jatuh dari gedung tanpa dilihat seseorang adalah bunuh diri yang pas dengan suasana seperti ini. Atau mati gantung diri ditengah ruangan yang gelap kemudian disinari cahaya petir saat ditemukan terdengar cukup menarik.
Benar-benar pikiran yang teramat gelap. Bagi semua orang sudah dipastikan ku sudah sinting dan butuh diberi pengobatan spiritual. Atau sekalian saja di exorcism karena dikira kerasukan setan.
Baik-baik saja seperti namaku...huh
Nama pemberian orang (?) itu sama sekali tidak cocok untukku yang sekarang hanya bisa berpikir untuk mati. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Sang Penjaga Batas Hidup dan Mati saat memberiku nama itu. Apanya yang baik-baik saja dengan diriku yang tak bisa mengingat apapun bahkan namaku selain ingatan tentang percobaan bunuh diri.
Benar, yang bisa kuingat setelah ku mati hanya itu. Sepertinya di masa lalu ku adalah orang yang sangat putus asa dan suicidal. Namun aku tak tahu bunuh diri macam apa yang berhasil melenyapkan nyawaku dan mengantarku ke tempat itu.
Karena itu aku terus melakukan ini. Walaupun ku mati berkali-kali untuk mengetahui kematian macam apa yang telah mengakhiri hidupku. Siapa tahu aku bisa kembali mengingat semuanya.
Dan pulang ketempat yang seharusnya.
******
"Aku cukup yakin kalau aku sudah mati. Kenapa kau suruh aku hidup lagi?"
Pria yang mengaku sebagai penjaga tempat yang sepertinya adalah batas hidup dan mati itu hanya tersenyum kecut menatapku. Kemudian kembali mengurus kertas di depannya lalu mengembalikannya keatas meja. Menghela nafas panjang.
"Matimu bermasalah bocah. Kau datang dari pintu khusus orang-orang mati bermasalah, dan kau tak ingat apapun. Makanya kusuruh kau hidup kembali" kata pria itu kemudian mengambil sebuah buku di rak lemari di belakang meja kerjanya. Terlihat judul di sampul bukunya adalah 'Tutorial Membuat Kontrak'
"Tinggal antar aku ke akhirat saja kenapa harus repot?" tanyaku tak mengerti.
Pria itu mendengus keki "Ya mau gimana lagi bocah. Tugasku ya begini" sungutnya mendekatiku.
Aku kaget ketika ia mencengkram leherku seolah ingin mencekikku. Kurasakan leherku panas dan sangat tidak nyaman. Mau apa dia?
Ia membacakan kata-kata yang seolah seperti mantra. Beberapa saat kemudian ia melepaskan tangannya dariku. Menatapku dalam sekali.
"Mulai sekarang kau asistenku" katanya datar. "Bantu aku sebagai asisten Dewa Kematian"
Sebentar, dia juga Dewa Kematian? Penampilannya benar-benar tak cocok untuk itu. Karena sepengetahuanku Dewa Kematian identik dengan hitam dan tengkorak. Sementara dia dari rambut dan pakaiannya serba kelabu dengan sepasang mata hetero yang berwarna aneh. Satunya keemasan, dan satunya lagi ungu. Serta sesuatu yang tampak seperti sayap transparan di punggungnya.
"Hah?" aku mengernyitkan dahi. Tak mengerti.
"Maksudmu?"
"Kau menjadi asistenku. Mengurus kematian dan keputusasaan sambil memperbaiki dimana salahnya kematianmu" katanya kemudian kembali duduk.
"Singkatnya, kau akan kuhidupkan kembali dan membantu pekerjaanku membawa roh orang yang mati kepadaku dan kau akan terus kuhidupkan sampai kau berhenti berpikir untuk mati"
Syarat yang melelahkan. Aku kan sudah mati kenapa harus menurutinya.
"Ya sudah. Aku tak mau mati. Jadi bisakah kau membatalkan kontrak ini?" kataku malas.
Pria itu mengernyitkan dahi. Terlihat sedikit jengkel dengan kata-kataku.
"Tak semudah itu, Bocah. Aku tahu isi hatimu" tunjuknya keki. Iapun kembali berdiri. Mendekatiku lagi dengan satu tangan terlipat, lalu tangannya yang lain mengeluarkan cermin dan memperlihatkannya ke wajahku.
Kutatap wajah yang terpantul di cermin itu. Terlihat sosok pemuda berambut merah dengan mata merah yang tampak suram dan terlihat asing. Ada yang aneh disini. Apa ini benar-benar aku? Kenapa rasanya ada yang salah?
Selain itu disekitar leherku juga ada yang janggal. Terlihat ada tiga garis merah yang melingkari leherku dan tiga garis merah lagi yang memotong garis itu secara vertikal.
Apa ini yang dibuatnya tadi? Kontrak kah? Terlihat terlalu simpel untuk sebuah tanda kontrak.
"Aku sedikit mengubah wujudmu agar tak terjadi kehebohan kalau kau hidup lagi dan menanamkan tiga syarat dilehermu. Kalau kau ingin dibawa ke akhirat kau harus menghapus tanda itu dengan menyelesaikan syarat dariku" katanya dingin.
"Syarat?" aku mengernyitkan dahi bingung. Pria itu mengangguk.
"Satu, ingatanmu harus kembali"
"Dua, selesaikan apa yang menjadi penyesalanmu di dunia tanpa ketahuan kalau kau sudah mati oleh manusia hidup. Kalau kau ketahuan bisa bermasalah"
"Tiga, kau harus menemukan kebahagiaanmu dan berhenti berpikir untuk mati"
"Kau mengerti?" katanya mengakhiri syaratnya.
Entah kenapa syarat itu terasa merepotkan. Namun aku hanya bisa mengangguk. Toh aku tak bisa dibawa ke akhirat untuk sekarang dan aku tak tahu harus melakukan apa setelah tahu hal itu.
"Bagus. Sebagai awal kontrak kita, kau bisa panggil aku Grey. Kau ingat namamu?" tanyanya. Ah sesuai sekali dengan penampilannya.
Aku mencoba mengingat apa yang dia minta. Hasilnya nihil. Ku tak bisa ingat apapun selain keinginanku untuk mati. Padahal ku sudah berpikir keras untuk mengingatnya. Aku menggeleng.
Wajah pria itu seketika tampak miris. Sorot matanya tampak mengasihani dan rasanya tidak menyenangkan. Ia kembali menghela nafas panjang.
"Ya sudahlah, kau kupanggil Fine saja" katanya melipat tangan.
"Fine? Kenapa tidak nama asliku saja?" tanyaku tak mengerti. Ku yakin dia tahu nama asliku. Dia kan punya dataku.
Ia memiringkan kepalanya. Mengangkat bahunya.
"Karena kau lebih cocok dengan nama itu"
Aku mengernyitkan dahi. Jelaskan padaku bagian mana dari nama itu cocok denganku. Apa dia mengejekku atau bagaimana? Penjaga bernama Grey itu benar-benar aneh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top