Chapter 1 - Memburu Pemburu

"Mengerti, Chipper!"

Letnan Kolonel Eugene Bollevar menutup gagang telepon kuno berwarna hijau yang tergantung di dinding. Ia bergegas menghadapi sekelompok pemuda di belakangnya. "Prajurit, malam ini kita berburu predator! Mereka sampai di Duck Avenue dalam 10 menit!"

Suara gaduh terdengar dari atas meja penuh dengan senjata yang sedang disusun. Dua dekade lalu mereka masih tiga ratus orang, satu dekade lalu jumlah mereka jadi seratus. Lima tahun lalu masih lima puluh orang dan sekarang tinggal tiga puluh. Bollevar berencana untuk membawa delapan orang saja bersamanya dan tentu saja Shaheed Singh akan ikut.

"Shaheed?!" serunya mencari-cari pemuda berkulit gelap dengan hidung besar itu. Bollevar berjalan sampai ke ruangan lain dimana ada dapur dan meja makan. "Ada yang lihat Shaheed?"

"Sekarang maghrib, dia sedang sholat." Kata seorang koki berambut pirang yang sedang memasak telur mata sapi. Pada saat yang sama, Bollevar melihat di sebuah ruangan dekat toilet ada seseorang sedang duduk di atas karung goni menghadap ke suatu arah. Sholat, sepertinya di kota yang selalu gelap ini, sholat menjadi alasan untuk masih menengok jam.

"Katakan padanya untuk bersiap!"

Tanpa menunggu jawaban dari orang-orang di ruang makan, Kolonel Bollevar melanjutkan ke ruangan lain dimana terdapat peralatan elektronik yang rumit dan sebuah rak di dinding dipenuhi tabung kimia.

"Jangan berisik, dong. Sekalipun hanya dia yang muslim di sini, tapi hormati dia." Seorang perempuan paruh baya menggunakan jas lab pada Kolonel Bollevar. Rambut brunettenya mulai menjelma menjadi uban, dan kecantikannya mulai dilengkapi keriput. Tidak pernah melihat sinar matahari dalam waktu lama membuat wajahnya berjerawat.

"Mana berserk call yang katamu sudah diperbaharui itu? Kepala peternakan keluar malam ini," tagih pria yang harusnya sudah menikmati masa pensiun itu. Dia tidak pernah habis pikir kenapa para vampir itu tidak menduduki Cox pada waktu dia masih muda dan kuat dulu, sehingga dirinya bisa lebih puas menghajar mereka.

Prof Burns menunjukkan sebuah tabung dengan suntikan berisi cairan berwarna biru. Ukurannya relatif kecil, sekurus jari telunjuk profesor itu. "Ini lebih kuat daripada versi sebelumnya. Kalau dulu hanya bisa membuatmu membengkokkan rel kereta, yang ini bisa membuatmu melempengkan kapal perang."

"Berlebihan." Namun Kolonel Bollevar mengumpulkan tiga tabung itu dan memasukkannya ke dalam tas yang terikat pada paha kakinya.

"Tidak berlebihan, itu memang barang bagus maka sulit dibuat. Aku berhasil membuatkan tiga tapi tidak mau membuat lebih dari itu. Kau pasti akan memakainya terus-terusan kalau tidak dibatasi, tubuhmu bisa rusak."

"Cerewet."

"Ini demi kebaikanmu, Eugene. Ingat, 10ml untuk sekali pakai dalam 24 jam. Tubuh manusia tidak kuat menelan dua drugs sekaligus."

"Aku bukan manusia. Aku Eugene Bollevar." Kolonel itu angkat kaki dari laboratorium.

"Ayo jihad!"

Shaheed baru saja keluar dari bilik sholatnya saat Kolonel melintas. Pemuda berkulit gelap itu langsung ditarik Kolonel menuju gudang senjata, dan si koki tidak perlu lagi menyampaikan pesan Kolonel.

Keluar dari markas dengan senjata lengkap, mereka menurunkan goggle berkaca hijau di dahi mereka. Dengan menggunakan spray light-bender yang disemprotkan ke seluruh tubuh masing-masing, sosok mereka jadi tidak terlihat. Kolonel bergerak paling depan memimpin pasukannya. Saat mereka bergerak, tampak ada asap yang tertinggal seakan ada uap air yang bergerak di sepanjang gorong-gorong.

"Oke. Kalian tahu aturannya. Jangan terlalu banyak berpikir. Keputusan buruk akan menghasilkan pertempuran buruk!"

"Siap, Kolonel!"

"Sasaran kita di sebuah rusun di Duck Avenue. Pemimpin predator kali ini adalah Norvam, dulu dia adalah manusia jadi untuk ukuran vampir, dia punya otak. Jangan remehkan dia. Maju!"

Mereka keluar melalui pintu saluran air yang mengarah ke sungai, berikutnya hanya terlihat jejak-jejak sepatu basah berlarian keluar melompati tanah berkerikil. Mereka tidak berlari ke Duck Avenue, mereka menggunakan pelontar tali untuk berayun di antara gedung-gedung tinggi terbengkalai. Goggle yang mereka gunakan dapat mendeteksi panas di sekitar mereka, dengan demikian saat berayun mereka tahu dimana posisi teman yang sudah tak berwujud itu sehingga tidak saling bertabrakan.

Dulu ada film yang berjudul "Spiderman". Papan poster filmnya masih terpasang pada sebuah mall runtuh yang sedang mereka lewati sekarang. Walau poster film terakhir yang tayang lebih dari dua dekade lalu sudah tercabik-cabik angin dan hujan dan warnanya meluntur, namun mereka masih tahu apa itu spiderman.

"Orang-orang dari 200 tahun lalu bakal iri dengan kita kalau mereka tahu siapa saja bisa jadi spiderman sekarang. Hehe ..." celetuk Ryan.

"Tapi aku iri dengan dunia 200 tahun lalu dimana vampir hanya berkilau saat terkena matahari." Tukas Hardy.

"Kalian berdua diam, dan fokus pada operasi. Jangan sampai semua kacau gara-gara obrolan tidak penting kalian!" Tegur Shaheed pada mereka berdua.

"Iya, iya. Aku hanya ingin membuat suasana sedikit santai, jangan terlalu tegang." Setelah itu Ryan tidak bicara lagi.

Kolonel Bollevar sampai duluan di puncak atap apartemen mewah Duck Avenue. Para vampir membiarkan perumahan di sini hancur namun pohon-pohon yang tumbuh di tepian jalan raya tidak tersentuh sama sekali. Di beberapa tepian jalan terdapat mobil yang terbakar atau terbalik. Bangkai anjing tergeletak di jalan raya dengan lidah terjulur, perutnya terbuka dicabik sesuatu yang ganas.

Seorang anak kecil berlari demi nyawanya, di belakangnya dua orang vampir berjaket hitam melesat sambil tertawa melengking. Kolonel memberi isyarat agar seseorang menyelamatkan bocah itu. Ryan segera melesat turun dari atap apartemen. Karena tidak terlihat, dengan mudah dia bisa berayun mendarat ke punggung seorang vampire dan menggorok lehernya menggunakan pisau perak. Setelah pisau perak itu dihujamkan menembus jantungnya yang beku, vampir itu berubah menjadi arang dan abu.

"Kita sedikit terlambat."

Kolonel menemukan sebuah gedung rumah susun yang kaca jendelanya sudah ditutupi papan kayu sampai rapat, pintu utama rusun itu terbuka lebar. Ia memberi isyarat dengan tangannya agar lima orang berkeliling Duck Avenue untuk mencari warga yang telah berhamburan keluar jalan. Kemudian dia bergegas mendekati rusun itu dan menyuruh dua orang masuk dari pintu utama.

Kolonel sendiri masuk melalui pintu atap apartemen yang bobol setelah dia tendang knopnya. Baru saja pintu terbuka, sudah ada seorang vampir yang menunggunya. Vampir itu menyeringai bengis menunjukkan gigi taringnya yang kekuningan, namun menyadari tidak ada siapapun di balik pintu, dia pun tertegun.

Dengan cepat Kolonel Bollevar melompat ke bawah anak tangga, sambil mendarat di tubuh vampir itu, dia menghujamkan pisau peraknya ke jantung vampir tersebut. Dari luka di dadanya, vampir itu menggeliat terbakar hingga menjadi arang dan debu atau abu.

Kolonel merayap turun dengan hati-hati, melompat dari pegangan tangga ke level di bawah. Sol sepatunya nyaris tidak terdengar saat dia menapak, waspada menyusur setiap lantai dari para vampir yang sedang menikmati mangsa atau yang sedang berdiri tidak jelas. Dari lantai dasar terdengar suara jeritan vampir yang berakhir menjadi debu dan arang. Shaheed dan Hardy sudah mulai beraksi.

Tidak setiap hari mereka ada pada saat para vampir menyerang manusia yang bersembunyi dalam gedung. Bila terlalu sering, para vampir itu bisa memikirkan cara untuk melawan mereka, lebih baik dadakan di waktu yang tidak terduga.

Sebuah pintu di lantai empat terbuka lebar, keluarlah seorang vampir berambut platinum. Berjalan elegan, ia menyeka darah yang belepotan di sekitar mulutnya dengan sapu tangan.

Kolonel Bollevar sangat hafal pada vampir itu. "Norvam ..."

"Kau menikmati perburuan kita, Marja?" tanya vampir berambut platinum itu sambil melipat sapu tangannya lalu menyelipkan ke balik jas hitamnya.

Seorang vampir perempuan muncul dari balik pintu. Menggunakan korset merah muda yang sangat seksi, rambutnya yang pirang berkilauan. Vampir perempuan itu menyeka darah segar di tepi mulutnya dengan jari tengah lalu menghisapnya. "Mmm ... kurasa ini juga akan menjadi hobiku, kakak. Menjadi vampir itu memang menyenangkan, imajinasi masa kecilku jadi nyata!"

Vampir berambut platinum itu tersenyum sudut. "Benar, adikku. Sesungguhnya manusia itu sangat rentan terhadap kematian. Tanpa peralatan dan inteligensi, manusia tidak beda dari semut yang dengan mudahnya mati terinjak. Tapi dengan menjadi vampir, kita memiliki kekuatan yang membuat kita jadi lebih kuat. Makhluk terbaik di dunia adalah manusia yang berevolusi menjadi vampir!"

"Kakak ribet sekali, aku hanya ingin beraksi seperti film-film di televisi. Ini keren!" vampir perempuan itu tertawa nyaring.

"Masih banyak mangsa di luar sana. Gunakan Salvador kalau kau ingin mencari lebih banyak lagi. Jangan lupa elus belakang telinganya agar dia senang."

"Aku lebih suka menghisap darahnya. Bolehkah?" ada gairah yang menyala di kedua mata ungu Marja.

"Kau tahu dia peliharaan kesayanganku. Aku akan menabokmu bila sampai dia mati." Norvam menaikkan sudut bibirnya lalu mendekati pinggiran lantai rusun dan mengintip ke bawah. Kedua matanya memincing saat melihat ada potongan tangan terbakar lalu menjadi debu dan tertiup angin.

Kesenangan berakhir; piknik telah terusik.

"Aku ingin darah gadis kecil, kakak. Bayi kalau bisa. Aromanya beda dari manusia dewasa yang sudah bau." Vampir centil bernama Marja berjalan ke ruangan lain untuk mencari yang diinginkannya. Kedua bokongnya memumbul kenyal saat ia melangkah.

"Marja, pulanglah." Tegur Norvam. Setidaknya dua temannya telah dibunuh, ada teroris di sini!

"Kenapa mendadak sekali, kakak?" vampir cantik itu tidak jadi membuka pintu ruangan berikutnya dan kembali pada kakaknya dengan mulut manyun merajuk. "Aku masih ingin bermain."

"Ada Hantu di sini." Dengan waspada, Norvam melihat ke segala arah.

Kolonel Bollevar mencoba untuk tidak menimbulkan gerakan sekecil apapun yang bisa membuat uap putih keluar dari tubuhnya sebagai bentuk pelepasan energi. Bila diam, tidak akan ada yang tahu keberadaannya. Ia harus bersyukur vampir hanya bisa mencium darah, bukan merasakan suhu tubuh manusia.

"Salvador! Salvador!" panggil Norvam, dan seorang lelaki muncul dari dalam ruangan yang terbuka.

"Ya, master?" jawab manusia itu. Tubuhnya jangkung dengan rambut coklat yang pendek pada kepalanya. Wajahnya suram, tidak lebih mati daripada gedung-gedung terbengkalai di permukaan Cox.

"Antarkan Marja pulang. Aku mengendus hantu."

"Ya, master." Dengan patuh Salvador menjemput Marja dan mengantarnya pergi. Gadis vampir itu mungkin masih tiga belas tahun bila dia manusia, masih terlihat nakal dan lugu ala vampir. Saat berlalu melewati kakaknya, Norvam masih sempat bergurau, "jangan makan dia, Marja."

Kolonel Bollevar tetap bergeming, mencoba untuk tidak membuat gerakan. Tempat dia berdiri sekarang ini adalah penghujung tangga menuju lantai dasar. Itu berarti Salvador akan melewatinya bersama Marja. Namun pada saat itu, mungkin Marja bisa mengendusnya. Biasanya vampir bisa mengendus manusia dari jarak 30 meter kurang lebih, namun setelah menggunakan spray penghilang materi ini penciuman itu berkurang menjadi satu meter kurang. Mirip lotion anti nyamuk. Pada saat itulah Marja pasti akan menyadari ada bau manusia lain selain Salvador di dekatnya.

Sebelum itu terjadi, Bollevar mengayunkan pisau peraknya menebas leher vampir perempuan itu. Kepala gadis vampir itu berguling jatuh seperti semangka, dan bagian yang terluka mulai tergerogoti api. Wajahnya kaku, tidak sadar apa yang baru saja dia alami.

"Hantu!!" Salvador berteriak sambil menyiagakan shotgun di tangannya. Ia mundur ke sudut ruangan dengan cepat lalu memasang mata baik-baik, langkah paling tepat yang harus dilakukan saat berhadapan dengan Spectreswarm. Di sudut itu dia bisa melindungi punggungnya dengan sempurna dan bisa lebih fokus karena sisi butanya tertutupi.

Norvam keluar dari ruangan lain yang sedang diperiksanya saat Kolonel Bollevar bergerak melarikan diri. Vampir berambut platinum itu histeris saat melihat kepala adiknya terbakar hangus menjadi arang dan debu, hanya menyisakan gigi taringnya di antara butiran debu.

Wajah Norvam yang pucat itu menjadi tegang, mata ungu mudanya memeriksa setiap sudut ruangan dan melihat kelebatan uap putih di lantai atas. Itu si Hantu!

Dengan buas dia terbang ke lantai atas dan menyambar kelebatan uap putih itu. Terdengarlah suara tubuh yang berat terguling di atas tangga lalu menabrak dinding.

"Aku tahu kau di sana, manusia! Darahmu berceceran ke mana-mana!" bentak Norvam yang tidak menyadari Kolonel Bollevar sudah berada di level bawah. Dia mungkin lolos dari kejaran Norvam, namun darahnya yang menetes ke atas lantai itu terlihat oleh Salvador yang menembakkan peluru dari shotgunnya. Tembakan itu meleset, namun memberitahu Norvam dimana Kolonel Bollevar berada.

"Turun, dia turun ke bawah, master!" seru Salvador.

"Kejar, goblok! Kejar dan bawa dia padaku!" bentak Norvam.

Berat meninggalkan sudut sembilan puluh derajat yang melindungi titik butanya. Tapi bila tidak dilakukan, si Master pasti akan melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan terhadapnya. Salvador dengan hati-hati bergerak menuruni lantai, mewaspadai setiap kegelapan yang dilihatnya, dan mendengarkan setiap bunyi halus dari titik yang tak bisa dilihatnya.

Sekelebat bayangan putih melintas, Salvador segera refleks menembak sekali lagi. Tapi sepertinya peluru dari shotgunnya hanya menembus udara kosong dan melubangi dinding semen. Telinganya mendengar suara langkah menuruni tangga ke lantai dasar. Ia bisa mendengar suara bots berdecit cukup jauh darinya. Salvador memberanikan diri berlari dan berhenti sejenak di sudut sembilan puluh derajat untuk memeriksa sekelilingnya lagi.

Saat melihat ke atas, dia melihat sekelebat uap putih melintas lalu menghilang. Atas dan bawah. Ada lebih dari satu Spectreswarm dalam gedung ini. Adik kesayangan Masternya mati mengenaskan, dia harus bisa membunuh satu hantu, atau master akan menyita anggota tubuhnya. Entah tangan atau kaki.

Mata tidak menangkap apapun, Salvador memasang telinganya baik-baik. Ada langkah halus pada level satu meter di atasnya. Bila para Hantu itu bergerak sedikit, uap yang keluar bisa tidak ada sama sekali dan dirinya berada dalam bahaya karena tidak bisa melihat mereka.

Jari telunjuk gemetar pada pelatuk, Salvador bisa mendengar suara bots bergesek dengan pasir, tapi di mana?

Dia telah melakukan kesalahan fatal; terlalu fokus ke level atas. Saat menoleh ke sisi lain, ia merasakan embusan nafas manusia dan suara udara nafas keluar dari kerongkongan mengenai permukaan kulitnya yang berkeringat. Ya, sedekat itu. Mungkin tidak ada dua puluh senti, bahkan Salvador bisa mencium aroma tembakau terbakar dari mulut manusia di hadapannya. Detik berikutnya, dia sudah ambruk dengan perut tertusuk pisau perak.

"Ayo Shaheed!" Kolonel Bollevar berbisik, memberi isyarat agar mereka keluar dari gedung ini dan kembali ke markas. Perburuan predator sudah selesai. Selesai menuruni tangga, Shaheed memandangi Salvador yang tergeletak kejang di atas lantai, berlumur darah.

"Tinggalkan dia! Dia sudah jadi peliharaan vampir!" Kolonel Bollevar tidak menunggu lagi, meninggalkan gedung itu.

Sebentar lagi efek spray akan habis, mereka harus bergegas pulang ke markas. Itu berarti mereka harus bergerak cepat. Tapi tentu saja bergerak cepat akan membuat banyak uap putih keluar dari tubuh transparan mereka. Itulah yang ditemukan oleh Norvam dari atap apartemen. Vampir itu mengejar Kolonel Bollevar seperti roket yang meluncur. Manusia yang bergelantungan dikejar oleh vampir marah yang melompat dari gedung ke gedung.

Sejak Reynold Xabat menghilang dan dua tahun kemudian ditemukan sebagai zombi di distrik barat, mereka telah mempelajari bahwa kaum vampir telah menemukan cara untuk melawan UV-rifle. Norvam sudah pasti sedia cermin di telapak tangannya andai musuh dengan UV-rifle muncul tak terduga. Bilapun tidak ada UV-rifle, cermin itu bisa dia gunakan untuk menikmati pantulan wajahnya yang tampan. Peluru perak siap diletuskan, Bollevar menunggu saat yang tepat.

"Berani membunuh adik kecilku yang manis? Aku cabik rongga mata kalian lalu kujadikan pispot!!"

Saat mulutnya terbuka berkata demikian, Kolonel Bollevar melesakkan peluru perak ke dalam mulutnya. Baron Norvam terjungkal jatuh dari ketinggian, terpaksa harus menelan peluru perak sebesar satu ruas jari.

Norvam menangkap sebuah tiang lampu jalan lalu berjongkok di atasnya, sebutir peluru perak tertahan di antara kedua rahangnya menjadi pelampiasan kemarahan karena mangsa lepas di depan mata. Ia kembali melompat dari gedung ke gedung untuk mencari uap udara yang berkelebatan di kejauhan. Namun dia sudah kehilangan Kolonel.

Vampir berambut platinum itu meraung marah dan memukul sebuah tembok beton sampai remuk. Saat itulah dia mendengar suara besi menancap persis di atasnya dan merasakan udara bergerak terayun dari belakangnya. Dengan sigap Norvam menyambar uap putih yang baru saja lewat di sebelahnya, tangan kirinya berhasil mencengkram lengan seseorang.

Setidaknya dia berhasil menangkap satu teroris.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top