Chapter 9 - Oukha

Oukha tidak mendapatkan cukup perhatian dari ibunya sejak lahir. Padahal ia lahir hanya selisih beberapa menit dengan kakaknya, Azkhar. Namun, kakaknya itu mencuri semua perhatian dari ibunya, membuatnya merasa tidak berharga. Sejak kecil, ibunya selalu menyuruhnya mengalah pada Azkhar dalam banyak hal. Padahal dirinya juga ingin diperhatikan dan dilimpahi kasih sayang.

Hal tersebut memengaruhi selera wanita Oukha. Ia menyukai wanita yang memujanya, yang centil dan bergairah. Sedangkan putri Naz bernama Ruby tidak seperti itu. Ruby memang cantik, tapi tidak sesuai seleranya. Gadis itu berkarakter kuat dan mempunyai pesona seorang ratu, bahkan sebelum dinobatkan.

Tidak heran jika Oukha tidak tertarik sama sekali pada Ruby. Ia malah ingin mengerjai putri Naz yang akan menjadi ratu pendampingnya itu untuk melihat seberapa kuat mental gadis tersebut, pada awalnya ....

Setelah memboyong Ruby ke istana baru di ibu kota Kerajaan Ezze, Oukha sengaja menaruh putri Naz itu di kamar yang jauh darinya, dekat dengan kamar pelayan di sudut istananya yang luas. Ia ingin membuat Ruby merasa terhina.

Akan tetapi, Oukha lupa jika Putri Naz memang dibesarkan dengan sederhana. Ruby tidak merasa terhina diperlakukan seperti itu.

Tahu apa yang Ruby lakukan ketika Oukha berpura-pura tidak mengacuhkannya? Ia berkomunikasi baik dan berkenalan sendiri dengan seisi istana; mulai dari kepala pelayan, dayang-dayang, tukang kebun, pelayan, prajurit penjaga, hingga bangsawan yang hilir mudik juga beberapa jenderal perang yang tersisa setelah penaklukan Tzaren.

Tahu-tahu saja seluruh istana mengenal Ruby dan Ruby mengenal mereka, padahal Oukha sendiri hanya mengenal beberapa orang yang menurutnya berguna. Gadis itu bahkan tidak masalah makan di dapur bersama para pelayan karena Oukha melarang putri Naz makan di ruang makan keluarga raja.

Awalnya Oukha kesal melihat Ruby yang tidak terpengaruh akan perlakuannya dan malah memiliki popularitas tersendiri di istananya. Namun, Oukha tidak berhenti di situ.

Oukha mengundang wanita-wanita cantik dari seluruh penjuru kerajaan dan membuat istana tampak seperti rumah pelacuran. Diperintahkannya Ruby untuk menontonnya menikmati satu persatu wanita-wanita tersebut tanpa menyentuh Ruby sama sekali.

Selesai dari pesta hina itu, Ruby berkata padanya, "Apakah ada yang paling membuat Yang Mulia senang? Mungkin kita bisa mendaftarkannya menjadi selir. Kebetulan istana selir sudah diperbaiki."

Ruby membuat Oukha frustrasi ... sangat frustrasi! Ia malah menjadi terobsesi untuk membuat Ruby sedih dan menderita. Seharusnya mudah menaklukkan gadis itu, tapi justru Oukha merasa dirinyalah yang dipermainkan.

Hingga ketika Oukha akan berangkat menghadiri pesta pernikahan Tarkh di Kerajaan Tzaren, ia memberikan tugas sulit untuk Ruby dengan keyakinan jika gadis itu akan menyerah dan menangis padanya.

Tugas itu adalah: menjadi pengganti Oukha sementara selama ia pergi dan juga berarti menghadapi dewan penasihat raja. Terdengar mudah, padahal tidak bagi seorang gadis muda seperti Ruby yang bahkan belum mendapat pelatihan seorang ratu.

Kerajaan Ezze adalah salah satu kerajaan yang konservatif dan tidak mudah menjadi wanita di sana. Wanita-wanita Ezze dibesarkan dengan nilai bahwa mereka lebih hina dibandingkan pria. Sebagian bahkan menganggap wanita tidak lebih dari sebuah barang yang patuh dan dapat diperjualbelikan. Tidak heran rumah bordil tumbuh subur di Ezze, apalagi dengan paras wanita-wanitanya yang terkenal cantik.

Keberadaan seorang ratu yang mengambil alih posisi raja, meski hanya sementara, bagaikan sebuah aib untuk para lelaki Ezze. Seakan-akan tidak ada lelaki yang pantas diserahkan tanggung jawab itu.

Oukha yakin para bangsawan Ezze akan mempersulit Ruby.

Karena itu Oukha berlama-lama di Tzaren setelah pernikahan, mengira Ruby akan semakin tersiksa dengan tambahan waktu bepergiannya. Meskipun ketika tinggal di Tzaren ia harus menghindari kakaknya, Khrush, yang menyebalkan itu.

Oukha benci sekali pada Khrush, selalu menganggap dirinya bocah. Ia tidak terima hal itu! Sebentar lagi dia akan berusia dua puluh tahun! Dia sudah dewasa! Yakin dirinya bahkan lebih dewasa dibandingkan kakaknya itu yang masih merasa di atas angin. Padahal kondisi Oukha sekarang jauh lebih berkuasa dan lebih kaya.

Setelah sekitar lima hari di Tzaren, Oukha memutuskan kembali ke Kerajaan Ezze melalui laut sempit. Perjalanannya yang melelahkan itu memakan waktu lebih dari seminggu. Ia kemudian terkejut saat mendapati barisan rakyat yang mengular menuju istananya. Begitu turun dari kereta kuda, Oukha bergegas memasuki istana dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Di sana, di singgasananya yang terletak di aula besar istana, Ruby duduk dengan punggung tegak menerima pengaduan rakyat. Bangsawan-bangsawan Ezze yang selalu mendebat Oukha dan memandang tidak suka sejak kali pertama kedatangannya, terlihat duduk dengan tenang di kanan-kiri Ruby, ikut mendengarkan keluhan rakyat.

Saat itu ... Oukha merasa seperti seorang rakyat jelata yang sedang memandang seorang ratu yang agung.

***

Di ruang santai keluarga raja, Oukha mondar-mandir gelisah menunggu Ruby selesai dengan pengaduan rakyat terakhir di hari itu. Ia menolak istirahat meski merasa lelah.

Ketika akhirnya Ruby muncul di penghujung hari, Oukha langsung mengonfrontasi gadis itu tentang bagaimana caranya menghadapi kekolotan Kerajaan Ezze.

"Ezze memandang rendah wanita, ya itu benar. Tapi saya adalah putri Naz. Saya tidak memerintah di sini. Saya mengayomi mereka, bertindak bagai seorang ibu yang melayani rakyatnya seperti seorang anak dan selalu meminta pendapat para bangsawan dewan penasihat yang sebelumnya sering Yang Mulia abaikan. Mereka senang sekali diberi banyak kesempatan juga kepercayaan yang tidak Yang Mulia berikan," terang Ruby.

Oukha tertegun mendengarnya. "Apakah kau selalu bersikap sabar dan berjiwa besar seperti itu?"

Ruby tersenyum miring. "Tergantung situasi. Saya bisa bersikap seperti apa pun untuk bertahan hidup. Sedari awal, mengapa Yang Mulia berusaha menguji kesabaran saya?"

Oukha tertawa kecil.  "Kau tahu ... kau itu seperti dinding besi yang kokoh, padahal kau hanyalah seorang putri Naz. Jadi aku ... ingin sekali melihatmu menangis dan berlutut padaku."

Setelah kalimat tersebut, untuk pertama kalinya Oukha melihat wajah muak Ruby yang mengerikan.

Oukha terdiam sejenak. Bukannya marah karena seseorang berani memasang ekspresi seperti itu di depan raja, ia justru tertawa beberapa saat kemudian. Tawa yang makin lama makin keras.

"Hahaha! Aku sudah salah langkah selama ini. Tidak ada gunanya membuat permusuhan denganmu."

"Saya tidak merasa Anda memusuhi saya, Yang Mulia." Ruby kembali menyunggingkan senyum dengan cepat.

"Topeng yang bagus." Oukha mengangguk-angguk, menuangkan wine dari botol ke gelas kristal lalu mendorongnya ke arah Ruby. "Minum, minumlah. Di Tzaren kami memulai pertemanan dengan saling menuang wine."

Ruby melakukan hal yang sama dengan Oukha lalu mengambil gelas yang disodorkan sang raja. "Saya penasaran apakah Yang Mulia sudah menuang wine untuk saudara-saudara Yang Mulia?"

Mulut Oukha terangkat sebelah, membentuk sebuah cibiran. "Kau pengamat yang baik."

"Saya rasa itu dibutuhkan untuk menjadi seorang ratu."

"Aku yakin kau akan menjadi seorang ratu yang luar biasa. Tapi harus kukatakan di awal, kau bukan tipeku. Aku tidak akan pernah mencintaimu."

Ruby menyesap wine di gelas tersebut. Ia tidak pernah merasakan minuman beralkohol selama di Kota Suci Verhalla. Namun, ia bisa mengontrol ekspresinya agar tidak terlihat seperti pertama kali mencoba. "Tidak masalah. Haruskah saya berkata jika saya tidak mencintai Yang Mulia juga agar Yang Mulia merasa tenang?"

Oukha tersenyum. Ia senang tidak salah memilih putri Naz. Gadis itu cocok untuk mendampinginya. Bukan sebagai sepasang kekasih, tapi lebih kepada partner untuk memimpin sebuah kerajaan besar seperti Ezze.

Oukha menyesap anggur yang tadi dituang Ruby dan wajahnya mendadak berubah serius. Ia tengah memikirkan sesuatu cukup lama. Pandangannya menyapu ruang santai keluarga raja yang identik dengan warna merah itu. Ruby hanya diam, menunggu dengan sabar. Lalu pandangannya kembali pada Ruby, satu-satunya orang di ruangan tersebut.

"Aku akan jujur padamu. Aku mempunyai sebuah rencana, Ruby. Ini akan menjadi pertaruhan besar dengan segala yang kita punya sebagai taruhannya."

"Mengapa Yang Mulia membeberkan hal tersebut pada saya?"

"Karena aku yakin kamu akan ikut serta ... dan jujur saja, bantuanmu sangat kuperlukan."

Ruby mengangkat alisnya sebelah, menyatakan ketertarikannya. "Saya merasa tersanjung Yang Mulia membutuhkan bantuan saya. Jadi apa yang hendak Yang Mulia katakan?"

Oukha berdeham. Tampak ragu lalu akhirnya mencondongkan kepalanya pada Ruby dan berkata pelan, "Aku ingin menjadi Maharaja, Ruby. Berkuasa atas semua kerajaan di daratan ini."

"Maharaja? Mengapa tiba-tiba ...."

"Sejak dulu aku menginginkan hal itu. Mimpi paling liarku! Jauh sebelum Kak Tarkh memulai perang." Suara Oukha makin meninggi. "Kami, Tzaren, merupakan bangsa yang paling hebat! Bangsa yang terbaik! Kerajaan Tzaren adalah kerajaan tertua di daratan ini. Sudah seharusnya bangsa kamilah yang memimpin seluruh kerajaan yang ada!"

"Ah ...." Mata Ruby tampak berbinar. "Tapi tampaknya kakak-kakak Yang Mulia akan menghalangi."

"Aku tahu itu. Aku harus menyingkirkan mereka. Kakak-kakakku yang bodoh ... mereka tidak pantas berada di atasku!" Oukha melotot dengan ekspresi kejam. "Seharusnya ini mudah. Seandainya Kak Tarkh tidak membagi-bagi kerajaan dan tetap menjadi maharaja, aku hanya tinggal menyingkirkan saudara-saudaraku. Tapi sekarang ... Ck! Aku harus memulai dari bawah."

"Yang Mulia akan menyerang kerajaan-kerajaan lain seperti yang Raja Tarkh lakukan dulu?"

"Ya. Aku sudah mempersiapkannya sejak lama. Pion-pion sudah pada tempatnya, tinggal menunggu perintah untuk bergerak. Tapi tetap saja masih banyak kekurangan."

"Kalau begitu Yang Mulia akan memulai dari mana?"

"Dari dirimu, Ruby. Apakah kau tahu permainan catur?"

Ruby mengiakan.

"Kau adalah ratu yang kubutuhkan. Seorang raja memiliki pergerakan terbatas, tapi tidak dengan ratunya."

Ruby terlihat memikirkan sesuatu. "Lantas apa yang dapat saya lakukan untuk Yang Mulia sehingga Yang Mulia memilih saya dibanding wanita lain?"

"Syarat dari Kak Tarkh jika ingin mendapatkan jatah wilayah kerajaan yang takluk adalah dengan menjadikan salah satu putri Naz sebagai ratu. Awalnya aku pikir putri Naz mana pun bisa menjadi ratuku, toh aku tinggal menjinakkan mereka. Tapi kemudian aku mengubah rencanaku ketika melihatmu, Ruby. Saat satu persatu putri Naz diberikan pada saudara-saudaraku, putri-putri Naz itu memandangmu seakan meminta tolong meski sebenarnya kau pun tidak berdaya. Jelas mereka bergantung dan memercayaimu.

"Aku membutuhkan para putri Naz saat mereka menjadi ratu untuk memuluskan rencanaku. Dan bantuanmu dibutuhkan untuk menggerakkan mereka sesuai rencana. Itulah sebabnya aku ingin membuatmu bertekuk lutut padaku. Tapi aku sadar, hanya membuang-buang waktu untuk membuatmu patuh. Lebih baik aku bekerja sama denganmu."

Ruby terdiam. Tidak menyangka adik-adiknya akan dilibatkan dalam rencana Oukha yang ambisius dan tidak pasti hasilnya itu. "Saya tidak yakin saya ingin adik-adik saya terlibat."

"Aku akan memberikan kalian hadiah. Kalian bisa memegang kata-kataku."

"Hadiah?"

"Ya. Sesuatu yang tidak bisa diberikan raja-raja mereka: kebebasan. Kalian akan kuberi kebebasan, apakah kembali ke Kota Suci Verhalla atau hidup nyaman di daerah yang kalian sukai. Status dan harta tidak akan menjadi masalah saat keinginanku tercapai. Berlaku juga untukmu, Ruby. Kau bahkan tetap bisa menjadi ratuku."

"Saya rasa risikonya tidak sebanding, Yang Mulia." Ruby tetap bergeming, masih tampak keberatan. Jika dirinya seorang, ia tidak akan sulit mengatakan 'ya'. Namun, jika sudah menyangkut adik-adiknya ....

Oukha tersenyum licik dan memandang Ruby lekat-lekat. "Percayalah. Kau akan mengubah pendirianmu itu. Sudahkah kau dengar kabar adik-adikmu yang lain?"

Ruby mengangkat alisnya sedikit dan menegakkan posisi duduknya. "Yang Mulia tahu kabar mereka? Bagaimana dengan pernikahan adik saya, Taaffeite?" Nada suara yang penuh semangat tidak bisa disembunyikan Ruby dengan baik.

"Yah ... Ratu Taaffeite tampak sehat. Tentu saja Kak Tarkh memperlakukannya dengan baik. Dia hampir kehilangan nyawanya berkali-kali demi gadis itu. Tapi ...." Oukha pun menceritakan insiden di pernikahan Tarkh.

"Aku tidak menghabiskan waktuku di Kerajaan Tzaren dengan sia-sia. Aku mencari informasi. Kau tahu ...." Oukha menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi berukir halus dengan bantalan empuk berwarna merah. "Sebelum jatuh hati pada Ratu Taaffeite, Kak Tarkh memiliki tunangan. Seorang gadis bangsawan, anak bendahara kerajaan yang ambisius. Putri itu juga memiliki sifat ambisius seperti ayahnya. Kurasa ia masih belum menyerah akan Kak Tarkh. Adikmu, Ratu Taaffeite, berada dalam bahaya. Dan aku yakin dia tidak secakap kamu dalam mengatasinya."

Jantung Ruby berdetak keras. Ia menarik napas panjang setelah jeda keheningan yang singkat, mengembalikan kendali dirinya lagi. "Jika hanya itu yang menjadi masalah, saya akan memperingati Raja Tarkh secara langsung."

Oukha tertawa. "Kau tidak senaif itu kan? Kau kira hanya adikmu di Tzaren saja yang berada dalam masalah."

Ruby menegang.

"Aku mendengar desas-desus kabar adik-adikmu yang lain yang belum kucek kebenarannya. Tapi ada satu kabar yang sudah kubuktikan. Mari kita mulai dari tetanggaku, Jenderal Sirgh di Kraalovna."

"Apa terjadi sesuatu pada Phi?"

"Oh. Nama gadis itu Phi?"

"—Sapphire."

"Ah ya, ya .... Gadis itu ...."

Wajah Ruby merah padam mendengar penjelasan Oukha. Tangannya bergetar meraih gelas kristal di atas meja. Padahal ia sudah tidak ingin menyeruput wine itu tapi sensasi wine tersebut sangat dibutuhkan untuk menenangkan perasaannya.

"Apakah berita itu benar? Biadab itu ... maksud saya Raja Sirgh, benar-benar melakukan hal tersebut?"

Oukha senang melihat reaksi Ruby. "Aku memiliki banyak mata-mata, termasuk juga di istana Kraalovna. Dari mata-mata itu aku tahu beberapa pihak yang mau diajak bekerja sama melawan Jenderal Sirgh. Aku sudah mengincar laki-laki sialan itu sejak ia mencari muka pada Kak Tarkh."

Oukha membiarkan Ruby menenangkan diri. Ia dapat melihat api membara di mata putri Naz tersebut yang menatap nyalang pada gelas kristal. Mungkin gadis itu melihat pantulan Sirgh pada wine yang sudah nyaris habis dan berharap dapat menelan sang mantan jenderal bulat-bulat.

Tidak lama kemudian Ruby mengangkat kepalanya, menatap Oukha dengan pandangan penuh tekad. "Jika Yang Mulia bisa mempertemukan saya dengan Sapphire dan membuktikan kebenaran itu, saya akan dengan senang hati berpartisipasi pada rencana Yang Mulia."

Oukha tersenyum lebar. "Tenang saja. Aku bisa mengaturnya."



***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top