Chapter 70 - Munculnya Raja yang Bersembunyi
"Akhirnya kita bertemu, Putri Kleih."
Seorang wanita muda dengan rambut gelap menyapa sang putri. Ia mengenakan zirah mewah dan sebuah mahkota kecil sambil menaiki seekor kuda putih besar yang juga memakai zirah.
Putri Kleih merasa tidak pernah bertemu dengan wanita di hadapannya. Ia mencoba menerka-nerka siapa wanita yang mampu memimpin prajurit sebanyak itu. Buah pikiran membawanya pada satu kesimpulan.
"Ratu Ruby ...."
Ruby yang saat itu memakai zirah khusus ratu tersenyum semakin lebar.
"Tangkap hidup-hidup sang putri dan jenderalnya!" perintah Ruby.
Dengan sedikit perlawanan yang tidak berarti, kesatria elite Tzaren dibantai oleh pasukan tanpa lambang yang dibawa Ruby. Mereka pun menurunkan Putri Kleih dan Jenderal Kanan Tzaren dari kuda lalu merantai keduanya.
"Yang ... Mulia ... hidup—"
Perkataan salah satu kesatria elite Putri Kleih terputus begitu satu tebasan pedang memenggal kepalanya. Tangannya yang mengarah pada sang putri langsung terkulai lemas.
Putri Kleih tertegun melihat pembantaian di hadapannya. Seorang kesatria yang selama itu tidak begitu ia hiraukan, mendadak menjadi begitu berarti setelah dirinya tergugah oleh kesetiaan kesatria pengawalnya.
Ruby menggerakkan kudanya melewati barisan prajurit tanpa lambang. Ia menyipitkan matanya, berusaha melihat titik-titik hitam di kejauhan yang menandakan ada banyak prajurit yang berada di medan perang.
Seorang prajurit tanpa lambang dengan aksesori yang menunjukkan pangkat tingginya pun menggerakkan kudanya mendekati sang ratu. "Apakah Yang Mulia ingin melihat keadaan di sana? Saya akan mengirimkan prajurit untuk melihat apakah di sana sudah aman untuk dikunjungi," ucapnya.
"Baiklah. Kirim seseorang. Aku ingin melihat keadaan di sana ... Jenderal."
***
"Tangkap sisanya!" seru Thony yang menjadi komandan di barisan utama pasukan Ratu Ruby.
Saat itu, sebagian besar prajurit Tzaren telah terbantai ketika mereka yang tadinya hampir menyudutkan musuh, justru berbalik dikelilingi oleh musuh. Sebagian kecil lainnya lantas ditangkap hidup-hidup entah untuk tujuan apa. Kehilangan komandan utama dan indikasi kekalahan telah menjatuhkan moral prajurit Tzaren dengan cepat.
Eris mengirimkan regu tersendiri untuk mengejar Putri Kleih dan Jenderal Kanan yang kabur. Tzaren belumlah usai jika keturunan kerajaan tersebut masih hidup.
Akan tetapi, yang kembali dari arah perkemahan Tzaren adalah kepulan debu di sepanjang cakrawala, tanda dari banyak barisan kuda sedang mendekat ke arah mereka.
"Siapa lagi itu? Apakah pasukan Innist? Tidak mungkin Tzaren masih memiliki pasukan sebanyak itu, bukan?" batin Eris sambil mengirimkan beberapa prajurit berkuda untuk berlari ke depan, mengumpulkan informasi tentang pasukan apa yang sedang bergerak mendatangi mereka.
Eris lantas memberi perintah pada prajuritnya untuk berjaga-jaga dengan merapatkan barisan.
Tidak lama kemudian, tiga prajurit berkuda yang tadi dikirimkan Eris, kembali pada sang jenderal.
"Lapor, Jenderal. Itu adalah pasukan berkuda yang beberapa dari mereka mengusung bendera militer Kerajaan Aritoria."
"Aritoria?" Kening Eris berkerut.
Siapa pun tahu jika Kerajaan Aritoria tidak memiliki banyak pasukan. Kekuatan militer mereka terletak pada tentara bayaran di sana dan jika membutuhkan tambahan pasukan, mereka akan menyewa prajurit dari kerajaan lain. Lantas, bagaimana Aritoria memiliki pasukan berkuda sebanyak itu?
"Ah ... ratuku sudah datang," cetus Thony yang berkuda dengan santai ke arah Eris.
Eris menoleh pada Thony. Melihat Thony meninggalkan barisan utama untuk mendatanginya, berarti apa yang datang bukanlah ancaman. "Apakah ada hal yang perlu kuketahui?"
Thony membuka helm besinya lalu tersenyum pada Eris. "Nanti kau juga akan tahu. Kau tidak akan menikmati pertunjukan kalau mendapatkan bocoran akhir dari ceritanya."
"Aku benci kejutan," gerutu Eris.
Benar saja, apa yang datang adalah prajurit berkuda yang mengusung bendera kuning dengan lambang militer Kerajaan Aritoria. Di tengah-tengah pusat prajurit itu ada satu kuda besar berzirah yang dinaiki seseorang yang juga berbadan besar dan memakai zirah mewah dengan banyak ornamen. Zirah orang di tengah itu menunjukkan dominasi yang diikuti dengan kemewahan.
Di samping kanan orang berzirah mewah, ada seorang wanita mungil yang tampak kontras dengan prajurit di sekelilingnya. Si wanita memakai mahkota dan baju zirah yang mewah pula, tapi tidak menunjukkan kepraktisan untuk digunakan di peperangan.
Di sebelah kiri orang berzirah mewah terdapat satu gerobak berjeruji besi yang ditarik dua ekor kuda. Di dalam jeruji besi ada dua wanita berambut merah yang kedua tangannya dirantai dengan rantai dari besi hitam.
Begitu kedua baris pasukan besar bertemu, infanteri di barisan utama pasukan Ratu Ruby mendadak terbelah, mempersilakan jenderal mereka, Eris, untuk lewat bersama Thony.
Eris dan Thony pun mendatangi si wanita mungil bermahkota yang tidak lain adalah Ruby, ratu yang menjadi penyatu semua prajurit dari berbagai bangsa di sana.
"Saya tidak menyangka Yang Mulia akan membawa begitu banyak prajurit entah dari mana. Apakah untuk bala bantuan? Mengapa saya tidak diberi tahu tentang pasukan itu?" cetus Eris.
Ruby tersenyum. "Karena jika kau tahu aku masih memiliki kartu lain, kau akan mengorbankan pasukanku lebih banyak lagi."—Dan aku perlu menyimpan prajuritku yang paling setia untuk menjadi kekuatan militer terbesar di daratan ini, di saat prajurit bangsa lain babak belur dalam perang.
Eris memberi tatapan penuh selidik pada sang ratu. Namun, yang ditatap masih memakai topeng seorang wanita yang menyunggingkan senyum polos. Akhirnya ia hanya balas tersenyum miring. Matanya lalu menoleh pada pria berbadan besar dengan zirah mewah di samping Ruby.
"Dan siapakah dia?"
"Perkenalkan. Jenderal dari Aritoria," jawab Ruby.
"Ha .... Ternyata jenderal yang dianggap paling tidak berguna di seantero daratan ini. Apakah semua prajurit itu bawahanmu, Jenderal? Ataukah tentara bayaran? Mengapa kau baru datang di akhir? Apakah karena prajurit Aritoria takut mati?" celetuk Eris yang terdengar kasar, tapi memang seperti itulah semua orang di daratan sana memandang Jenderal Aritoria.
Kerajaan Aritoria terkenal akan produksi tentara bayaran kelas atasnya sekaligus terkenal pula akan prajurit kerajaan yang tidak becus sampai-sampai harus bergantung pada tentara bayaran.
Mendengar perkataan frontal Eris, Jenderal Aritoria justru tertawa keras.
"HAHAHA! Mau bagaimana lagi. Aku memang terkenal seperti itu. Kami terlambat karena harus menyerang wilayah Tzaren. Apakah Ratu tidak memberitahumu?" balas Jenderal Aritoria dengan santai. Ia tidak ingin menjelaskan lebih lanjut jika sebagian tentara bayaran sebenarnya adalah prajurit kerajaan pula, sementara prajurit kerajaan yang tampil di publik hanyalah prajurit bangsawan atau prajurit kelas rendah. Biarlah kerumitan militer Aritoria hanya diketahui orang-orang di dalam bangsa mereka saja.
Melihat Jenderal Aritoria tidak terusik akan perkataannya membuat Eris menyipitkan mata. Apakah dia bodoh atau masa bodoh dengan sindiranku?
"Ah. Aku kurang awas dengan yang terjadi di selatan karena sibuk berperang di sini. Kalau begitu, senang bertemu denganmu, Jenderal." Eris mengulurkan tangan.
Jenderal Aritoria itu membalas jabat tangan Eris. "Senang bertemu denganmu juga, Jenderal," balas Jenderal Aritoria sambil menatap lekat-lekat pada Eris.
Eris mendapati tatapan ramah Jenderal Aritoria berubah menjadi tatapan kejam seorang predator dalam sekejap. Tangannya pun dicengkeram kuat seperti dirinya yang mencengkeram dengan kuat.
"Ia bukan orang biasa," batin Eris.
"Jadi itu Putri Kleih dan Jenderal baru Tzaren?"—Suara Thony memecah ketegangan yang diciptakan dua jenderal bawahan Ruby. Ia mendekati gerobak berjeruji besi.
Pandangan Eris beralih pada dua tahanan dalam gerobak berjeruji besi di samping Jenderal Aritoria sambil melepas jabat tangannya.
Putri Kleih di dalam gerobak berjeruji melirik tajam ke arah Thony lalu pandangannya beralih ke tempat lain, mencoba tidak peduli akan sekelilingnya.
Melihat pemimpin musuh telah ditangkap, Eris menyerukan seruan kemenangan.
"Tzaren telah kalah! Kita menang!"
Mendadak Padang Rumput Sungai Qharta dipenuhi sorak-sorai kemenangan dari puluhan ribu prajurit yang ada di sana. Keberhasilan mereka menumpas musuh yang sudah berulang kali mereka lawan di berbagai kesempatan itu memberikan rasa lega yang menyenangkan. Luka-luka di tubuh terasa kebas, tertutupi euforia suka cita. Sebagian dari mereka berteriak keras, merasa diri mereka luar biasa setelah menjadi pemenang perang. Sebagian lainnya menangis, karena akhirnya mereka bisa membalas dendam dan terhindar dari kemusnahan perang besar yang bertujuan menghabisi bangsa pihak yang kalah itu.
Di tengah hiruk pikuk suara para prajurit, Thony mendatangi Ruby dan memberikan surat kecil yang tergulung.
Ruby menerima potongan kecil kertas tersebut lalu membukanya untuk membaca isinya yang sangat ringkas.
Dia telah datang.
Wajah Ruby berubah datar. Ia meremas kertas di tangannya. "Bagaimana persiapan kita?"
Thony berusaha menjawab dengan suara yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan di tengah suasana bising di sekitar. "Mereka akan menyesuaikan waktu kedatangan dengan kedatangan kita."
Sorot mata Ruby berubah tajam. Ia mengeraskan rahangnya lalu memanggil semua komandan di sekitarnya.
"Bersiaplah! Kita kembali ke ibu kota Bielinca!"
***
Iring-iringan puluhan ribu prajurit disambut meriah di ibu kota Bielinca. Para penduduk tumpah ruah ke jalan-jalan, mulai dari luar gerbang hingga ke daerah pusat ibu kota. Mereka menyirami para prajurit pemenang perang dengan lemparan bunga beraneka ragam dan warna. Mereka juga melempari telur-telur hingga sayuran-sayuran busuk ke arah barisan tahanan perang yang berjalan kaki dengan rantai di tangan dan kaki mereka, rantai-rantai itu tersambung antara tahanan yang satu dengan yang lain.
Ruby berkuda di bagian paling depan dengan pakaian formal kesatria wanita berwarna putih yang berpotongan tegas, mengesankan wibawanya. Ia disusul para petinggi militer di kesatuan pasukan gabungannya yang juga telah melepas zirah mereka untuk diganti dengan pakaian formal kesatria. Para petinggi militer yang tersisa hingga saat itu adalah Jenderal Eris dari Kraalovna, Thony dari Kesatuan Tentara Bayaran Aritoria, Jenderal dari Bielinca, Jenderal dari Aritoria, dan Mayor Jenderal dari Kraalovna.
Di belakang para petinggi militer terdapat tahanan penting yang masih selamat. Mereka adalah Putri Kleih, Jenderal Kanan, dan Jenderal Kiri.
Barisan di belakang itu merupakan prajurit-prajurit berpangkat kesatria dari berbagai bangsa. Di belakang mereka adalah barisan jenis prajurit lain yang juga mengapit prajurit-prajurit tahanan perang.
Iring-iringan itu terus berjalan ke arah istana. Gerbang istana yang terbuka lebar seolah mengizinkan semua pahlawan perang tersebut untuk memasuki istana. Namun, halaman istana hanya cukup menampung pemimpin perang dan sebagian prajurit kelas kesatria.
Thony segera turun dari kuda agar ia dapat membantu sang ratu untuk turun. Keempat pemimpin militer lainnya pun ikut turun dari kuda-kuda mereka.
Di depan pintu istana, berdiri Perdana Menteri sementara Bielinca yang dulunya merupakan pemimpin Kubu Orang Beriman, Aixen, bersama para bangsawan Bielinca yang tersisa setelah pembantaian bangsawan besar-besaran di kerajaan mereka. Ia mendatangi Ruby dengan wajah teduhnya yang nyaris selalu tersenyum.
"Salam keberkahan bagi Anda, Yang Mulia. Selamat atas kemenangannya," ucap Aixen.
"Terima kasih, Tuan Aixen. Bagaimana keadaan di istana?"
Aixen berdeham. "Akhir-akhir ini sedikit ... kacau, Yang Mulia."
Ruby tersenyum miring. "Tentu saja dia akan berbuat semaunya. Bagaimana keadaan adikku?"
Aixen terdiam sejenak. Kedua alisnya bertaut ketika melanjutkan kata-katanya. "Yang Mulia sudah ditunggu di aula singgasana istana. Silakan ikuti saya." Ia tidak menjawab pertanyaan Ruby. Ia malah menundukkan kepalanya lalu membalikkan badan dan berjalan perlahan.
Ruby dan pemimpin perang lainnya lantas mengikuti sang perdana menteri. Para tahanan penting pun ikut dibawa sambil dikawal dua puluh orang kesatria dari empat bangsa pemenang perang. Mereka memasuki istana megah Bielinca, menyusuri lorong-lorong istana yang panjang dan dicurahi sinar matahari utara yang hangat, lalu sampai di sebuah pintu ganda besar yang terukir rumit.
Kedatangan mereka segera diumumkan ke ruang aula singgasana, tempat pemimpin Bielinca menemui para tamu atau rakyat. Kemudian pintu ganda aula singgasana dibuka, sebuah ruangan besar yang di langit-langitnya digantungi beberapa bendera Kerajaan Bielinca dan bendera Kerajaan Ezze pun menyambut rombongan Ruby.
Di dalam aula singgasana telah hadir banyak bangsawan perwakilan dari berbagai bangsa yang singgah di istana Bielinca untuk menanti hasil perang. Mereka tersebar di seluruh penjuru aula. Di ujung seberang pintu masuk utama aula terdapat panggung singgasana pemimpin Bielinca dengan beberapa singgasana yang bersepuh emas.
"Ah! Itu dia ratuku! Selamat datang, Ruby!" seru suara riang dari arah singgasana raja.
Rombongan Ruby terus berjalan hingga sampai ke depan panggung singgasana. Ekspresi mereka terlihat tajam, tapi tidak tampak terkejut.
Ruby amat mengenal pemilik suara itu. "Kau terlihat sehat, Oukha," ucapnya sambil tersenyum ramah.
Di singgasana Raja Bielinca saat itu, duduk seorang pemuda berambut merah yang tersenyum riang tanpa beban. Ia memakai baju kebesaran Raja Kerajaan Ezze dengan mahkota emas yang dipenuhi batu rubi merah, senada dengan warna rambutnya. Kakinya bersilang sementara badannya bersandar malas pada sandaran singgasana raja.
"Bagaimana kabarmu, Lazuli?" Ruby lanjut bertanya sambil mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan. Di sana terdapat adiknya yang merupakan Ratu Kerajaan Bielinca, sang tuan rumah, yang justru duduk di kursi pendamping raja.
"Baik, Kak. Kulihat Kakak membawa kemenangan. Seperti yang bisa diharap dari Kak Ruby," balas Lazuli dengan suara serak seperti habis menangis. Bawah matanya menggelap dan ia terlihat lemah, tidak seperti dirinya yang biasa.
Kondisi memprihatinkan Lazuli membuat Ruby mengepalkan kedua tangannya. Ia lalu menoleh ke arah kiri raja. Terdapat seorang wanita yang ia kenal dengan baik pula di sana, seorang wanita yang dulu tidak ia sangka akan duduk di kursi samping raja. Jika kursi di sebelah kiri raja diperuntukkan untuk ratu, maka kursi di sebelah kanan dari arah raja diperuntukkan untuk penerus takhta, anak tertua, atau ... selir tertinggi.
"Apa yang kau lakukan di sana ... Ellise?"
Kepala dayang Ruby, Ellise, duduk di kursi sebelah kanan raja. Gadis tersebut memakai gaun mewah khas Ezze yang berwarna merah. Sebuah mahkota kecil menghiasi rambut peraknya yang tersanggul dengan rapi. Kepala dayang yang kebenaran tentangnya telah diketahui Ruby dari beberapa orang, membuat Ruby tidak terkejut lagi saat itu.
Ruby teringat kembali percakapannya dengan Eris dan Thony saat mereka berbincang di ruang kerja Ruby di kastil Kota Ancarol.
"Ah ... hampir saja aku lupa menyampaikan padamu, Yang Mulia Ratu. Aku punya berita tentang seorang dayangmu."
Ruby menoleh. "Dayangku? Yang mana?"
"Kepala dayangmu sekaligus penghubung antara dirimu dan Putri Freyja: Ellise."
Ruby lantas menegakkan duduknya. "Ada apa dengannya?"
"Apakah kau tahu jika mata-mata yang ditanam Kraalovna di Ezze lebih dari satu? Tidak hanya pihak Raja Kraalovna terdahulu yang menanamkan mata-mata di istana Ezze, keluarga perdana menteri juga melakukannya. Meski perdana menteri dan raja terdahulu saling mengetahui siapa saja mata-mata itu, tapi kedua mata-mata tidak saling mengenal. Mata-mata raja terdahulu menjadi kepala dayangmu, sementara mata-mata dari perdana menteri menjadi orang kepercayaan Raja Oukha. Gadis itu bernama Izelle."
Ruby tidak perlu waktu lama untuk mengingat dayang bernama Izelle. Salah satu dari dua dayang yang sering berdiri di sampingnya. Hanya pada perang besar kali itu ia tidak membawa kedua dayang terdekatnya.
"Apa hubungan Ellise dan Izelle?"
"Izelle berhasil menarik perhatian dan menjadi orang kepercayaan Raja Oukha. Begitu dirinya ditunjuk menjadi dayangmu, Raja Oukha langsung memperkenalkannya pada Ellise. Raja Oukha berkata: 'kenalkan, dia Ellise. Dia adalah mata-mata Raja Kraalovna terdahulu yang akan menjadi dayang Ruby juga. Apakah kau tahu? Ellise mengatakan jika putri terakhir dari Raja Kraalovna terdahulu masih hidup! Hahaha! Menarik! Aku akan membiarkan Ruby berhubungan dengan tuan putri itu. Ellise, pastikan kau menjadi perantara mereka! Sampaikan padaku apa saja yang mereka bicarakan, rencanakan, dan lakukan! Jika pekerjaanmu memuaskanku, aku akan menjadikanmu selirku. Ah, bahkan mungkin ratuku'. Kemudian mereka bercinta tanpa peduli jika mereka sedang dilihat oleh Izelle."
Eris menutup penjelasannya dengan tertawa dingin. Ia menuang lagi anggur ke dalam gelasnya lalu kembali melanjutkan kata-katanya sambil menunjuk Ruby dengan gelas anggurnya.
"Kau, Yang Mulia Ratu Ruby, sudah dipermainkan Raja Oukha sedari awal. Dia tahu kemampuanmu. Dia membiarkanmu bersusah payah melakukan segala hal demi kebebasan, padahal kau hanya memuluskan rencana Raja Oukha tanpa sang raja meneteskan keringatnya setetes pun dan tanpa mengotori tangannya sedikit pun. Sangat tinggi kemungkinannya kau akan disingkirkan Raja Oukha setelah perang berakhir. Kuharap kau punya jalan keluar dari situasi ini. Karena jika tidak ... aku akan meninggalkanmu saat ini juga. Aku tidak akan mengikuti ratu yang lemah."
"Lama tidak berjumpa, Yang Mulia."
Suara Ellise menyadarkan Ruby dari lamunan singkatnya.
"Aku bertanya, apa yang kau lakukan di sana?" Ruby mengulang kembali pertanyaannya yang belum dijawab.
Ellise tersenyum miring. "Seperti yang Anda lihat, saya adalah selir utama Yang Mulia Raja sekarang."
"Ha .... Hidup ini memang tidak bisa ditebak, ya? Awalnya seorang mata-mata, lalu menjadi pengkhianat sekaligus pelacur, kemudian naik kasta sedikit menjadi dayang, dan sekarang merasa tinggi menjadi selir raja," balas Ruby dengan nada santai, berkebalikan dari kata-kata tajamnya.
Wajah Ellise berubah merah menahan amarah. Senyum menghilang dan ekspresinya berubah mengerikan. Ia baru saja akan membalas jika sang raja tidak lebih dulu merespons perkataan Ruby.
Oukha tertawa terbahak-bahak. "Jangan tegang begitu, Ruby. Apakah perang telah membuatmu menjadi sangat kaku? Dulu Kau tidak pernah mempermasalahkan wanita-wanitaku. Kebetulan kali ini aku menemukan wanita yang sangat ingin kujadikan selir resmiku."
Ruby kembali menoleh pada Oukha. "Sepertinya racun itu tidak separah kata tabib istana. Sejak kapan kau kembali sehat, Oukha? Mengapa kau tidak mengabari ratumu ini? Setidaknya kau bisa membantu dalam perang alih-alih berlindung di balik punggung seorang wanita lemah."
Oukha hanya mencibir sambil mengangkat kedua bahunya. "Kupikir kau sudah cukup mendapatkan bantuan dari pria tentara bayaran itu. Bukankah dia juga sudah menghangatkan kasurmu tanpa seizinku? Ah ... jangan salah sangka. Aku bukannya melarang hubunganmu. Aku hanya tidak suka jika kau bermain diam-diam di belakangku."
"Jadi kau memperalatku?" tanya Ruby tanpa basa-basi. Ia bersikap seolah-olah baru mengetahui kejadian tersebut.
"Bukankah kita memperalat satu sama lain? Kau membutuhkan kekuasaan melaluiku dan aku membutuhkanmu untuk melaksanakan segala rencanaku. Kau merencanakan banyak hal di belakangku dan aku pun merencanakan banyak hal di belakangmu."
"Apakah 'merencanakan banyak hal di belakangmu' termasuk dengan membuatku percaya jika Ellise berada di pihakku?"
Oukha kembali tertawa. "Oh Ruby ... sejak awal tidak ada orang yang berada di pihakmu. Orang-orang di sekitarmu saat ini hanya menempel denganmu karena kau adalah pasanganku, pasangan dari Raja Ezze. Bahkan kekasih tentara bayaranmu mau menjilat kakimu karena mengharapkan kenyamanan yang bisa didapat dari seorang ratu. Tanpaku, kau bukan siapa-siapa. Kau sadar akan hal itu, kan?"
"Pfft. Padahal kau sendiri yang meminta bantuanku."
Oukha terkekeh. Ia bangkit dari singgasana raja dan berdiri dengan tangan terbuka.
"Itu benar!" ucap Oukha dengan lantang. "Terima kasih atas kemenangan yang telah kau bawa untukku, Ruby! Kau benar-benar ratu yang hebat! Aku tidak menyesal telah memilihmu."
Ruby terdiam cukup lama sebelum melanjutkan. "Kalau begitu aku menginginkan hadiah yang kau janjikan. Aku ingin kebebasan untukku dan adik-adikku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top