Lembar 130
Langit Joseon yang perlahan menggelap, menutupi jalanan di hadapan Changkyun. Dan tak lama setelahnya, mereka pun sampai di sebuah Kuil yang berada di gunung tersebut. Tampak begitu sepi dari luar, dan keadaan yang gelap cukup menyulitkan mereka untuk melihat keadaan di sekitar.
"Ayo, cepat, cepat." ujar si pria yang kemudian berjalan mendahului Changkyun menuju pintu masuk.
Namun mata tajam Changkyun menangkap sesuatu, dengan gerakan cepat dia menarik baju si pria yang kemudian terlempar ke belakang sedangkan dirinya sendiri menggunakan pedangnya untuk menghentikan anak panah yang hampir mengenai pria tersebut.
Pasangan suami istri itu tampak terkejut, sedangkan si bocah yang masih berada di punggung Changkyun tampak bersembunyi dengan takut. Changkyun kemudian mengarahkan tatapan tajamnya ke tempat di mana anak panah itu berasal.
"Kami adalah penduduk desa yang tengah mencari perlindungan." lantang Changkyun dan beberapa saat kemudian, pintu Kuil terbuka.
"Kau tidak apa-apa?" si wanita membantu suaminya untuk berdiri.
"Terima kasih. Berkat Tuan Muda, aku tidak terluka." ujar si pria yang tak di perdulikan oleh Changkyun di saat pandangannya hanya tertuju pada siluet yang tampak keluar dari dalam Kuil.
Ketegangan di wajah Changkyun perlahan memudar ketika ia mendapati beberapa Biksu lah yang keluar dari dalam Kuil, dengan salah satu di antara mereka membawa busur panah yang ia duga sebagai pelaku pemanahan sebelumnya.
Keempat Biksu itu pun berjalan ke halaman menghampiri mereka, dan saat itu pula si pria langsung menghampiri para Biksu tersebut.
"Biksu, kami datang kemari untuk mencari perlindungan. Aku mohon lindungi kami." ujar si pria yang terlihat memohon kepada seorang Biksu yang terlihat paling tua di sana.
"Apa kau penduduk desa di kaki gunung ini?" si Biksu bertanya.
"Ye, ye. Benar, kami adalah penduduk desa di kaki gunung."
"Kenapa datang selarut ini?"
"Ada beberapa hal yang harus kami urus sebelum pergi, sehingga kami datang selarut ini."
"Kalau begitu, cepat masuk ke dalam!"
"Ye, ye. Terima kasih, terima kasih." ujar si pria sembari beberapa kali membungkukkan tubuhnya dan kembali menghampiri keluarga kecilnya.
Changkyun kemudian menurunkan bocah yang sedari tadi bersembunyi di balik punggungnya, namun bukannya menjauh, bocah itu justru memegangi pakaiannya dan bersembunyi di belakang kakinya.
"Ayo, kita masuk." ujar si pria yang menarik bocah tersebut, namun si bocah malah menggeleng.
"Ada apa denganmu? Di luar sangat berbahaya, kita harus segera masuk ke dalam."
Si bocah kembali menggeleng dan melihat hal itu, Changkyun pun menarik bahu bocah tersebut dan sedikit menjauhkannya. Membuat keduanya saling bertemu pandang.
"Masuklah ke dalam."
"Tuan tidak masuk?"
"Aku akan menyusul nanti, pergilah lebih dulu bersama ayah dan ibumu."
"Ayo."
Si bocah pun pada akhirnya menurut dan ikut pergi bersama dengan kedua orang tuanya meskipun ia yang tampak berat untuk meninggalkan Changkyun yang kemudian kembali berhadapan dengan para Biksu di hadapannya.
"Tuan muda tidak ingin masuk ke dalam? Jika ku perhatikan, sepertinya Tuan Muda ini bukanlah penduduk setempat." ujar si Biksu.
"Aku hanya sekedar bersinggah."
"Begitu rupanya, jadi Tuan Muda adalah seorang pengembara."
Changkyun tak memberi respon, merasa tak ada yang perlu ia jawab namun sebaliknya. Ada hal yang harus ia tanyakan.
"Jika Biksu berkenan, mohon jawab pertanyaanku."
"Jika aku bisa, maka aku akan memberikan jawabannya kepada Tuan Muda. Katakanlah!"
"Apa yang terjadi dengan para penduduk? Kenapa para perampok itu membunuh semua orang?"
"Tuan Muda pasti sudah mendengar sedikit cerita tentang desa di kaki gunung ini. Entah apa yang sebenarnya mereka inginkan, mereka selalu datang di malam-malam tertentu dan membunuh siapapun yang mereka lihat."
"Tidak adakah informasi yang lebih jelas lagi tentang identitas dari mereka?"
Si Biksu menggeleng lemah. "Mereka datang secara tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba. Aku sudah menyarankan agar para penduduk tinggal di sini sampai keadaan aman, namun beberapa dari mereka memilih untuk pulang pada siang hari dan kembali saat malam datang. Tapi tak banyak yang bisa kembali kemari, ini sangat memprihatinkan."
Mata Changkyun tiba-tiba memicing tajam dengan ekor mata yang bergerak ke samping, merasakan pergerakan asing yang berada di dalam kegelapan.
"Masuklah ke dalam!" ujar Changkyun dengan nada bicara yang terdengar lebih tegas dari sebelumnya.
Dan melihat sikap Changkyun yang tiba-tiba menjadi was-was, keempat Biksu tersebut saling bertukar pandang sejenak.
"Adakah masalah?"
Changkyun mengembalikan pandangannya kepada keempat Biksu tersebut. "Masuklah ke dalam dan jangan keluar apapun yang akan terjadi."
"Yo...."
Belum sempat ada seorang pun yang bergerak dari posisi mereka, perhatian mereka teralihkan oleh segerombolan bandit yang keluar dari dalam hutan dan masuk ke halaman Kuil. Hal itu sontak membuat keempat Biksu tersebut terkejut, berbeda dengan Changkyun yang terlihat masih tenang meski tatapan matanya yang kembali menajam.
"Sepertinya ramai sekali di sini." ujar salah satu bandit yang berjalan paling depan, Changkyun pun kemudian berbalik dan berhadapan langsung dengan para bandit tersebut.
Si Biksu tua kemudian melangkah maju, berdiri sejajar dengan Changkyun. "Ada keperluan apa sehingga Tuan-tuan singgah di tempat kami?"
"Aku hanya ingin memastikan keberadaan para penduduk yang telah kau culik."
"Apa yang Tuan maksud? Kami tidak pernah melakukan apa yang baru saja Tuan tuduhkan."
"Cih, bicaramu benar-benar membuat kepalaku pusing. Apa sekalian saja ku bakar mereka beserta Kuil ini, bagaimana?"
Si bandit tersebut tertawa dan di sahuti oleh tawa dari para anak buahnya yang semakin membuat para Biksu itu khawatir karna semua warga berada di dalam Kuil.
"Bawa mereka masuk!" ujar Changkyun tak terlalu keras, namun juga tak berbisik.
"Bagaimana dengan Tuan Muda?"
"Cukup bawa mereka semua masuk dan jangan cemaskan apapun."
"Aku akan membantu di sini." ujar si Biksu muda yang membawa busur panah di tangannya.
"Tidak ada yang akan tinggal, kalian semua masuklah!" tandas Changkyun tak menerima penolakan.
"Mohon agar Tuan Muda berhati-hati." ujar si Biksu tua yang kemudian membimbing para Biksu lainnya untuk segera masuk ke dalam Kuil.
"Ya! Biksu, mau kenama kalian? Aku sedang bertamu, tapi kenapa malah meninggalkan kami begitu saja? Apa itu sopan, eoh?" lantang si bandit yang di tujukan sebagai sebuah lelucon.
Si ketua bandit tersebut memberikan isyarat kepada para anak buahnya yang kemudian berdiri mengepung Changkyun yang tinggal seorang diri di tengah halaman.
"Siapa di sini? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?" ujar si ketua bandit yang memperhatikan Changkyun dengan tatapan mengintimidasinya.
"Jika kau ingin bertamu, seharusnya kau memiliki etika terlebih dulu." sarkas Changkyun dengan pengucapan yang tenang.
"Cih, di lihat dari caramu menggunakan mulutmu. Sepertinya kau memang bukan penduduk sini."
"Bos, dia memiliki pedang yang bagus."
"Ikat kepalanya juga terlihat mahal."
"Lihatlah kain yang dia pakai, itu terlihat sangat mahal. Dia pasti bukan orang sembarangan." ujar para bandit itu bersahutan dan membuat pimpinan bandit tampak mempertimbangkan sesuatu dengan perhatian yang tak luput dari Changkyun.
"Jadi, siapa sebenarnya kau ini?" tanya si ketua bandit kemudian.
"Aku, adalah orang yang akan mengambil nyawa kalian. Malam ini!."
"Bedebah!"
Satu kata yang membuat semua orang menarik pedang mereka dalam waktu yang hampir bersamaan dan segera mengarahkannya pada Changkyun yang masih mempertahankan sikap tenangnya.
"Kita lihat berapa harga dari kepalamu itu, bocah. Habisi dia!"
Semua orang serempak menyerang Changkyun dalam waktu bersamaan. Changkyun menahan tiga pedang sekaligus menggunkaan pedangnya yang masih terbungkus dengan sarung dan menendang beberapa orang yang hendak menyerangnya dari arah lain.
Setelahnya dia menarik tangannya yang memegang pedang dan segera menggunakannya untuk memukul lawannya satu persatu dengan bantuan kakinya, namun dia yang kalah jumlah membuatnya merasa kesulitan. Tepat saat itu dia menarik keluar pedangnya dan memulai pertarungan serius dengan para bandit yang menyerang secara berkelompok tersebut.
Changkyun melompat mundur setelah seseorang berhasil menggores lengannya, namun tak ada waktu baginya untuk sekedar melihat keadaan lengannya karna dengan cepat para bandit itu kembali menyerangnya.
Untuk beberapa waktu, pertarungan berlangsung sengit. Changkyun beberapa kali hampir terkena serangan brutal dari para bandit tersebut, dan di saat situasi semakin sulit. Saat itu pula bantuan datang padanya.
Entah dari mana datangnya mereka, kedua Bangsawan muda tiba-tiba melibatkan diri dalam pertarungan tersebut. Mata Changkyun memicing ketika ia berdiri saling memunggungi pemuda asing yang datang bersama seorang wanita muda, dan mereka tidak lain adalah Hwaseung dan Hwajung yang tidak sengaja melihat keributan ketika mereka hendak bersinggah.
"Perlu bantuan, Tuan?" ujar Hwaseung sembari sekilas melirik Changkyun di saat kedua punggung mereka yang saling bersentuhan.
"Tidak perlu." jawab Changkyun dengan angkuhnya.
"Sombong." cibir Hwaseung, namun setelahnya mereka justru bertarung bersama melawan para bandit tersebut.
Sesekali Changkyun mencuri pandang terhadap dua orang asing yang kini melibatkan diri dalam pertarungannya yang sebenarnya bukanlah masalah besar baginya, namun yang bisa ia lihat hanyalah Hwajung di saat ia hanya bisa mendapati sosok Hwaseung dari belakang.
Pertarungan yang setiap waktu menjatuhkan korban, satu persatu para bandit itu terkapar di tanah tanpa ada bantuan yang datang pada mereka. Dan saat tak sengaja berpapasan dengan Hwaseung, saat itu pula Changkyun mampu melihat wajah Hwaseung yang membuat batinnya tersentak.
Matanya sempat membulat, seakan ia baru saja melihat sesuatu yang mustahil hingga dia kehilangan konsentrasinya pada pertarungan yang membuatnya membiarkan sebuah pedang hendak menghunus punggungnya. Namun dalam keterdiamannya, dia memindahkan pedangnya ke tangan kiri dan langsung menghunuskannya ke perut bandit yang hendak menyerangnya tersebut.
Matanya mengerjap ketika tubuh bandit tersebut menyandar pada punggungnya dengan pedangnya yang masih menancap di perut bandit tersebut. Dia kemudian mengarahkan pandangannya kepada Hwaseung dengan tatapan tak percaya ketika ia benar-benar melihat wajah Hwaseung dengan sangat jelas.
"Hyeongnim." gumamnya.
Seseorang tiba-tiba saja menghampiri Changkyun dari depan dan hendak menebasnya, saat itu pula Changkyun menarik pedangnya dan menghalau serangan lawannya dan kemudian menendang perut bandit tersebut hingga terpental ke belakang. Dengan cepat ia kembali menjatuhkan pandangannya kepada Hwaseung yang masih terlibat pertarungan.
"Hyeongnim......" lantangnya yang terdengar sedikit emosional dan menarik perhatian dari pasangan kekasih yang masih melanjutkan pertarungan.
Hwaseung memicingkan matanya ketika mencuri pandang ke arah Changkyun yang datang padanya sembari menebas para bandit yang tersisa. Dia merasa sangat tidak asing dengan wajah pemuda yang semakin mendekat ke arahnya, hingga jarak keduanya yang benar-benar hampir terputus. Mata Hwaseung melebar, menunjukkan reaksi tak percayanya dengan apa yang saat ini di lihat olehnya.
"Kim, Changkyun?" gumamnya tak percaya. Dia segera mengakhiri pertarungan dengan menendang satu musuhnya yang tersisa dan terperangah ketika telah berdiri berhadapan dengan Changkyun di saat para musuhnya telah tumbang, dan hal itu menciptakan kebingungan di wajah Hwajung yang menyaksikan kedua orang di hadapannya.
"Hwaseung Hyeongnim?" ujar Changkyun masih tak percaya jika yang berada di hadapannya kini benar-benar kakaknya yang telah lama meninggalkannya, begitupun dengan Hwaseung yang tampak tak ingin mempercayai hal ini.
Hwaseung pun segera berjalan mendekati Changkyun dan berdiri tepat di hadapannya.
"K-kau, Kim Changkyun? Adikku?"
"Y-Ye." ujar Changkyun dengan suara yang sedikit gemetar.
Hwaseung sempat terdiam, merasa tak percaya jika pemuda yang berada di hadapannya kini benarlah adik kecilnya, Kim Changkyun. Perlahan senyumnya melebar dengan mata yang tiba-tiba terlihat berkaca-kaca. Sebuah tawa perlahan keluar dari mulutnya seiring ia yang memeluk erat tubuh Changkyun, namun semakin lama, tawanya terdengar menyerupai seseorang yang tengah menangis.
"Kau, Kim Changkyun? Benarkan? Kau bocah kecil itu? Aigoo, apa yang kau lakukan di sini?"
Hwaseung merasa senang sekaligus terharu dan hal itu tanpa sadar telah membuatnya menangis dan menepuk punggung Changkyun dengan cukup keras.
"Hyeongnim kemana saja? Kenapa meninggalkan ku begitu saja?" gumam Changkyun, di saat ia yang tak mampu membalas pelukan sang kakak.
"Apa yang kau katakan? Siapa yang meninggalkanmu? Tidak ada yang meninggalkanmu."
Hwaseung kemudian melepas pelukannya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya sembari tertawa ringan.
"Aigoo, aigoo. Kenapa aku menangis? Ini kekanak-kanakan sekali." ujarnya dan saking senangnya, dia sampai melupakan keberadaan Hwajung yang terpaku di tempatnya melihat pertemuan kakak beradik yang sama sekali tak ia ketahui.
Hwaseung kemudian kembali mempertemukan pandangannya dengan Changkyun dan menyisakan seulas senyum tipis yang sarat akan kerinduan terhadap adik kecilnya. Dia mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Changkyun, merasa bodoh karna ia tak mengenali adik kecilnya tersebut lebih awal.
"Kenapa kau sudah sebesar ini? Kau semakin mirip dengan ayah jika seperti ini."
"Hyeongnim juga mirip dengan ayah."
Hwaseung kembali menarik tangannya dan tertawa lirih dengan pandangan yang sekilas terjatuh.
"Kau benar, kau mirip dengan ibu. Dan betapa tidak beruntungnya aku karna mirip dengan bajingan itu."
Hwaseung menepuk bahu Changkyun beberapa kali dan membiarkan tangannya tetap berada di bahu Changkyun yang terlihat begitu tenang di saat ia sendiri begitu emosional di pertemuan pertama mereka setelah berpisah dalam waktu yang lama.
"Aku harap ini bukanlah mimpi. Bertemu denganmu, aku harap ini benar-benar yang terjadi."
"Jika ini adalah mimpi Hyeongnim, maka hari ini juga akan menjadi sebuah mimpi bagiku." balas Changkyun.
Hwajung berdehem untuk menarik perhatian keduanya, merasa akan menganggu jika ia membuat suara. Dan deheman kecilnya itu pun berhasil menarik perhatian keduanya dan menyadarkan Hwaseung bahwa dia tidak datang seorang diri.
"Aigoo... Sepertinya kita melupakan sesuatu." ujar Hwaseung yang sekilas bertemu pandang dengan Changkyun dan kembali mengarahkan pandangannya pada Hwajung.
"Kemarilah! Ada seseorang yang harus bertemu denganmu."
Hwajung kembali menyarungkan pedangnya dan berjalan mendekati kedua kakak beradik tersebut. Tepat saat ia menjangkau tempat keduanya, Hwaseung segera menarik tangannya dan membuatnya berdiri di sampingnya. Tepat berhadapan dengan Changkyun yang menatapnya dengan tatapan yang terkesan sayu.
"Perkenalkan, ini Kim Changkyun. Adikku."
Mata Hwajung membulat sempurna, menampakkan keterkejutan di wajahnya sebelum pandangannya terjatuh pada Changkyun. Matanya sempat memicing dan melihat kedua orang di sampingnya secara bergantian dan sedikit ada rasa tidak percaya ketika ia menemukan kemiripan di antara keduanya.
"Kenapa kau terlihat bingung seperti itu? Ini adalah adikku." tegur Hwaseung.
"Bagaimana aku tidak bingung? Orabeoni tidak pernah mengatakan bahwa Orabeoni memiliki adik." protes Hwajung.
Mendengar hal itu, Hwaseung pun hanya mampu tersenyum lebar dan kembali menjatuhkan pandangannya pada Changkyun yang tampaknya bertanya-tanya tentang siapakah gadia muda yang berdiri di hadapannya tersebut.
"Changkyun-a. Perkenalkan, gadis ini bernama Shin Hwajung dan dia adalah kakak iparmu."
Changkyun terdiam, tak memberi respon dan hanya menampakkan wajah datarnya ketika bertemu pandang dengan Hwajung. Dia terkejut, namun dia bukanlah orang yang pandai untuk mengekspresikan perasaannya melalui raut wajahnya, dan hal itu pun pastinya membuat semua orang yang melihatnya akan salah paham.
"Kau tidak apa-apa?" tegur Hwajung dengan hati-hati dan setelahnya mereka melihat mata Changkyun yang sempat mengerjap sebelum pandangannya jatuh pada Hwaseung.
"Hyeongnim sudah menikah?"
"Belum, tapi cepat atau lambat aku akan menikahi wanita ini." jawab Hwaseung dengan senyum yang mengembang dan mendapatkannya tatapan mengintimidasi dari Hwajung.
"Kenapa melihatku seperti itu? Bukankah kita akan menikah nantinya?"
Hwajung langsung mencubit perut Hwaseung, namun saat itu Hwaseung menghindar sembari merintih memegangi perutnya yang membuat kedua orang di hadapannya menjadi khawatir.
"Kau terluka?" ucap Hwajung dengan nada bicara yang tampak khawatir.
"Hanya sedikit."
Perhatian ketiganya teralihkan oleh suara pintu Kuil yang terbuka, dan para Biksu yang sebelumnya meninggalkan Changkyun masuk ke dalam, kembali menampakkan diri dan berjalan menghampiri mereka.
Mereka saling menundukkan kepala satu sama lain untuk saling membalas salam.
"Atas bantuan dari kisanak sekalian, aku ucapkan banyak terima kasih." ujar si Biksu tua.
"Biksu tidak perlu sungkan, kami hanya kebetulan lewat." balas Hwaseung yang tampak mengernyit menahan sakit di bagian samping perutnya.
"Tampak nya Tuan-tuan dan Nona terluka, jika tidak keberatan. Mari, kita obati luka kalian di dalam."
"Ye, ye. Itu sepertinya bukan ide yang buruk." balas Hwaseung
"Silahkan."
Changkyun segera beralih ke samping Hwaseung dan memapah sang kakak, meski dia sendiri juga tengah terluka. Namun wajah datarnya tersebut membuatnya terlihat baik-baik saja, seakan luka sekecil itu tak mampu menyakitinya.
"Cepat bereskan jasad-jasad mereka sebelum pagi datang." ujar si Biksu tua kepada yang lebih muda yang kemudian menundukkan kepalanya.
Ketiganya pun berjalan memasuki Kuil dengan di bimbing oleh si Biksu tua yang berjalan di depan mereka. Dan malam itu, satu ikatan yang sempat memudar kembali menampakkan diri ketika sang Pangeran tersembunyi Joseon kembali di pertemukan oleh sang Pangeran Joseon yang sempat menghilangkan.
Bertemunya kembali kedua Pangeran Joseon yang tak di inginkan keberadaannya di dalam Istana Gyeongbok. Mungkinkah nasib akan berubah? Mungkinkah takdir akan berpihak kepada mereka? Mungkinkah Changkyun akan membawa sang kakak untuk kembali ke Istana, atau justru sebaliknya. Hwaseung lah yang akan membawa Changkyun pergi jauh dari Istana.
Pada siapakah Takdir itu akan berpihak sekarang?
Selesai di tulis : 04.11.2019
Di publikasikan : 11.11.2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top