12 | Tamu Tak Terduga
SINA terpaku di tempatnya. Napasnya tertahan dan ia lupa berkedip. Netra cokelatnya terfokus pada objek di hadapannya kini. Alih-alih merespons kehadiran ketiga sosok di muka pintu sana, gadis kelas delapan SMP itu justru menutup pintu rumah dalam satu gerakan saja. Lantas berlari menuju kamar Fahim.
“Kak Fahim!” Tanpa meminta izin si pemilik kamar, Sina langsung masuk. Mengguncang kasar tubuh Fahim yang tengah bergelung di atas tempat tidur. “Bangun, Kak! Buruan! Kak Fahim bangun! Cepetan, di luar ada tamu.”
Fahim menggelihat kecil. Padahal tadi ia sudah mewanti-wanti Sina agar tidak mengganggunya. Karena harus bangun malam, Fahim jadi butuh waktu untuk tidur di siang hari. Namun, Sina malah mengacaukan acara tidur siangnya. “Ya suruh masuk aja. Atau bilang aja Umma-nya lagi pergi,” ujar Fahim tanpa berminat membuka mata.
“Lihat dulu. Ayo, Kak! Buruan, ih! Ya ampun ...” Sina menarik paksa lengan Fahim, hingga sosok itu kemudian terduduk dengan mata setengah terpejam. Sina kasihan melihatnya, tetapi ia paling tidak bisa menerima tamu. Terlebih itu laki-laki.
“Iya, bentar. Pusing ini ...”
“Cepetan, Kak. Kasihan itu nunggu di luar.”
“Makanya kan disuruh masuk.” Fahim turun dari tempat tidur. Lunglai, ia berjalan menuju pintu utama. Namun, tak harus sampai membuka pintu, ia sudah menemukan tamu yang Sina maksud sudah duduk di ruang depan.
“Alif? Hamzah?”
“Kalian, ada tamu tapi kok enggak disuruh masuk, sih?” Sabrina datang dengan gelas berisi air minum. Sementara matanya memberi isyarat kepada Sina, agar membantunya membawa beberapa stoples camilan di dapur. Ia baru pulang dari pengajian saat melihat ada tamu di depan pintu rumahnya.
“Sina, tuh, Umma. Bukannya disuruh masuk, malah heboh sendiri.” Fahim mendudukkan diri di antara si kembar saat Hamzah menepuk sofa di sampingnya sebagai kode.
“Berdua aja?” Fahim bertanya. Matanya melirik Sabrina yang kembali bangkit guna menyusul Sina, yang entah kenapa lama sekali, padahal hanya membawa camilan untuk disuguhkan.
“Sama Muhyi juga. Ke kamar mandi dulu dianya,” jawab Alif.
“Aku enggak nyangka kalau Muhyi ternyata payah. Masa perjalanan dari Bogor ke sini aja mabok?” Hamzah meloloskan komentar. Ia terkikik kecil setelahnya.
“Seriusan?”
“Enggak usah ghibah.” Muhyi menyela. Laki-laki yang kini mengenakan sweater putih polet hijau itu berjalan dari arah dapur. Dengan senang hati ia membantu Sabrina membawa satu stoples besar berisi keripik pisang. Sementara di belakangnya Sabrina membawa camilan yang lain. Sina entah menghilang ke mana.
Tawa kecil Fahim lepas begitu saja. Wajah Muhyi terlihat pucat pasi memang. Pasti perjalanan yang ada membuat teman baiknya itu cukup tersiksa.
“Sekarang udah baik-baik aja?” Alif melempar tanya saat Muhyi mendudukkan diri di sampingnya. Melihat perhatian yang Alif beri untuk Muhyi, jujur membuat hati Fahim yang beberapa hari ini terasa dingin menjadi begitu hangat. Entah apa yang dilewatinya selama seminggu ini sehingga hubungan ketiga teman sekamarnya itu menjadi jauh lebih baik.
“Emang siapa yang enggak baik-baik aja?”
“Tuh, tutup stoples!” gerutu Alif. “Nih anak dikarungin boleh, enggak, sih, Him?” tanyanya berlanjut.
“Kalau enggak salah, karung bekas beras ada banyak, kan, Umma?” Sambil tertawa-tawa Fahim melempar tanya pada Sabrina. Berniat menggoda Muhyi juga.
Sabrina yang hendak bangkit sesaat terdiam. Tawa lepas Fahim baru kali ini dilihatnya. Terlihat begitu bebas tanpa beban. Keceriaan yang kembali terbit setelah sempat tenggelam, membuat Sabrina tersenyum pula.
“Ada, ‘kan, Umma?” Fahim kembali bertanya saat tak didapatnya respons dari Sabrina.
“Ada di dapur. Mau Umma ambilin?”
Jawaban Sabrina kontan membuat Muhyi merengut. Alif, Hamzah, dan Fahim tertawa di tempatnya.
Sabrina terkekeh kecil seraya bangkit. “Muhyi-nya tinggi, kayaknya karung juga enggak bakalan muat,” lanjutnya.
Muhyi merasa berterima kasih dengan pembelaan Sabrina. Namun, ketiga temannya masih saja menertawakannya. “La tudzhirisy syamatata liakhiika fayarhamahullah wa yabtaliyak. Janganlah kautunjukkan kebahagiaan atas penderitaan yang menimpa saudaramu. Jika kaulakukan itu Allah akan mengasihinya, dan akan memberikan musibah kepadamu.”
Mendengar hal itu, tawa ketiganya langsung tertahan. “Anak Kiai, apa-apa pake dalil emang.” Hamzah protes.
“Lupa diri, heh?” Alif menendang kaki Hamzah. Hamzah membalas lebih keras. Fahim sendiri mengangkat kakinya ke atas sofa dengan refleks. Takut kena tendang.
“Kayaknya yang harus dikarungin tuh kalian berdua!”
JADI awalnya tujuan mereka—Muhyi, Alif dan Hamzah—berkunjung itu sebab disuruh Kiai Muhsin untuk menjenguk Fahim. Setelah memastikan Fahim baik-baik saja, mereka harus balik ke pondok. Namun, karena kasihan kepada Muhyi jika harus kembali ke pondok dalam waktu dekat, jadi mereka memutuskan untuk menginap semalam.
Sabrina tidak keberatan sama sekali. Ia justru senang karena kehadiran ketiga temannya itu membuat Fahim kembali ceria. Kendati kebimbangan mulai menelusup masuk ke dalam hatinya, ia jadi tidak yakin kalau keputusannya menahan Fahim untuk tak kembali ke pondok itu benar. Nyatanya, Fahim terlihat jauh lebih bahagia bersama sahabat-sahabatnya.
Saat ini Fahim tengah sibuk membantu Sina. Menata piring di atas karpet yang sengaja digelar di ruang tengah untuk makan bersama.
“Kak Fahim ...” Sina memanggil nama Fahim, tetapi matanya terfokus ke arah teras depan. Tempat di mana teman-teman Fahim beserta Wahid dan Jahid tengah mengobrol. “Bener, ya ... Kak Muhyi itu hafal dua puluh juz Al-Qur’an?”
Fahim mengangguk. “Sekarang mungkin udah lebih.”
Sina menunduk. Tersipu seketika. Senyum manis tersungging di bibir tipisnya. Entah kenapa dadanya berdebar-debar tak karuan tiap kali melihat wajah itu. Begitu tampan, menawan, dan penuh pesona. Sejak pertama kali melihatnya, Sina benar-benar jatuh hati.
“Kenapa?” Melihat perubahan di raut wajah Sina, Fahim jadi menaruh curiga terhadap adik bungsunya itu.
Sina menggeleng. “Nanya aja.”
“Suka?” Tebak Fahim, agak menggoda.
Pipi Sina semakin bersemu.
“Harus jadi hafizah dulu baru boleh.” Fahim tertawa kecil melihat seberapa salah tingkahnya si Adik. Ia mencubit gemas pipi chubby Sina.
Sina mengusap-usap pipinya yang sakit. “UMMA ... Kak Fahim-nya, nih!” adunya saat Sabrina datang dari arah dapur dengan satu mangkuk besar berisi sayur.
“Kamu ini jadi usil, ya, sama adiknya?” Sabrina meletakan mangkuk di tangannya dengan hati-hati.
Fahim terkekeh. “Enggak, Umma. Itu tadi katanya Sina ...”
“Kak Fahim! Iiihhh ...” Sina meraih lengan Fahim, menahan kakak ketiganya itu untuk tak buka suara.
“Katanya apa, hm?” Sabrina malah jadi penasaran. Ia menatap Fahim dan Sina silih ganti.
“Kak Fahim, jangan bil—”
“Katanya, Sina mau jadi hafizah, Umma.”
Revisi, 20 September 2021
Bonus:
Sina: “Kak Muhyi, ngapalin Al-Qur’an susah, enggak, sih?”“
Muhyi: “Enggak terlalu.”
Sina: “Sina bisa, enggak, ya, hafal Al-Qur’an kayak Kak Muhyi?”
Muhyi: “Bisa banget. Semua orang, kalau ada niat terus ada kemauan yang kuat pasti bisa kok, hafal Al-Qur’an.”
Sina: “Hm, tetapi Sina lemah banget kalau urusan hafal-menghafal.”
Muhyi: “Ngapalinnya target jangka panjang aja.”
Sina: “Maksudnya gimana?”
Muhyi: “Pilih target paling lama. Misal, sepuluh atau dua puluh tahun. Enggak usah terburu-buru, karena yang penting itu proses menghafalnya. Percuma juga kalau hafal tapi akhirnya cuma dianggurin, ‘kan? Lagi pula, kalau targetnya panjang, sehari mungkin kamu cuma perlu ngapalin satu ayat.”
Sina: “Kalau Sina ngambil target sepuluh tahun, berarti nanti Sina hafal Al-Qur’an pas umur 23 tahun. Sebelum Sina umur 23 tahun, Kak Muhyi udah nikah belum, ya?”
Muhyi: “Lah?”
Jangan sampai enggak peluk Muhyi dan Fahim di versi cetak 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top