[03] Pelanggan yang Tersenyum
17:38
.
.
.
"Uweii akhirnya jam kerjaku selesai!" seru (name) sambil melepas apronnya. Ia menggantung apron khas Cafe Verdent itu di ruang ganti.
"Kau seperti anak kecil saja (name)," komentar Misaki, salah satu staff yang ada di sana. Ia juga melakukan hal yang sama dengan (name), melepas apron. Ngomong-ngomong Misaki ini quirkless.
"Kan aku emang masih kecil, senpai!" balas (name) dengan suara yang diimut-imutkan. Ingin rasanya Misaki lempar sepatu di lokernya ke wajah anak itu. "Kalau gitu sebaiknya kau masuk SMA bukan kerja di sini pintar!" balas Misaki sarkastik. Tidak mungkin kan dia memuji juniornya itu dengan kata-kata agung seperti 'pintar'. Nggak, gak akan. Lidah Misaki gak akan kuat.
(Name) melihat sosok lain yang bisa ia usili. Itu dia, perempuan yang sedang mengambil jaket di pojok ruangan. "Akira-senpai apa kau mau ikut ke warung soba Nenek Giko? Aku sangat lapar! Tidak ada yang mau menemaniku," ajak (name) pada salah satu staff yang dikenal paling susah diajak bicara di cafe itu. (Name) memang pemberani. Enggak sih, tepatnya gila. Kemarin dia hampir bertumbuk dengan salah satu setan kebanggaan U.A dan sekarang dengan percaya dirinya ia mengajak bicara Akira, kulkas bernyawa di Verdent Cafe.
Akira cuma menatap (name) selama tiga detik lalu mulutnya tumben sekali menjawab, "gak!". Ia memakai jaketnya dan keluar dari ruang ganti menyisakan keheningan yang payah.
"Lihat Misaki-senpai, aku berhasil membuatnya bicara menggunakan tiga huruf latin. Besok-besok aku akan membuatnya bicara dua kata." (Name) balik mengusili Misaki.
"Aaa...kau urusi saja obsesi anehmu soal jumlah huruf yang berhasil keluar dari mulut Akira, aku tak peduli, sumpah!" balas Misaki frustasi. (Name) malah tersenyum.
"Misaki-senpai ayo temani aku makan!" Lah malah diajak makan. Ini (name) antara gak bisa baca situasi atau emang gak peduli? Jelas-jelas Misaki sudah lelah, letih, lesu.
Misaki menghembus napas malas, "aku mau siap-siap kuliah."
(Name) memasang wajah sedih, "yah, aku makan malam sendirian lagi deh hari ini," ucapnya dengan nada sedih lalu menggantinya dengan senyuman. Misaki yang melihat itu luluh.
Bagaimana ya...meskipun (name) itu ngeselin, banget malah. Misaki tetap menyayangi juniornya yang satu itu. Selain karena (name) itu hidup sendiri tanpa keluarga, (name) sebenarnya orang yang baik. Cuma sifat jahilnya aja lebih menonjol. Mungkin untuk menyembunyikan rasa kesepiannya.
Misaki mengelus kepala (name) lembut, "Lusa aku akan mentraktirmu soba deh, janji!" (Name) langsung memeluk Misaki dari belakang. "Janji ya, senpai!"
"Iya, aku janji!"
°°°°°
(Name) menuju warung soba Nenek Giko dengan riang. Ia berjalan sambil melompat-lompat kecil. Tanpa tahu ada seseorang yang mengintainya dari sebuah gang sempit. Orang itu kemudian menghilang menyatu bersama kegelapan. Siap untuk melapor tentang apa yang dilihatnya kepada Sang Atasan. "Gadis yang hilang, ditemukan!"
(Name) sampai di warung Nenek Giko yang jaraknya cuma maju tujuh blok terus belok kiri dan maju tiga blok dari cafenya. (Name) heran, warung ini terlihat sepi. Biasanya dari luar pun suara pengunjung yang sedang bergurau terdengar jelas, warung ini kan selalu ramai karena masakan sobanya bener-bener mantap.
Hari ini (name) tidak mendengar apapun dari dalam. Jangan-jangan di dalam terjadi penyerangan penjahat yang di sewa oleh orang yang iri sama usaha Nenek Giko terus tidak ada pahlawan yang melindungi Nenek Giko!
Gak, gak mungkin! Ia sudah lelah dengan kesialan ini. Sobanya kemarin tumpah dengan tidak elit, dan dia gak mau produsen soba terbaik di Jepang (baca: Nenek Giko) ikut lenyap dari peradaban. Gak bisa! (Name) gak terima!
(Name) memutuskan masuk ke dalam warung. Syukurlah tidak ada jejak darah dan tanda-tanda terjadinya kekerasan rumah tangga di dalam. Malah meja dan kursi tertata rapi seperti tidak ada orang yang mengunjungi. Tunggu—.
Tidak ada orang yang mengunjungi!
Perasaannya berubah tak enak. (Name) langsung menerobos dapur. "Nenek apa kau di dal—AAAAAAA!!!"
"AAAAAAAA!!!"
"Kenapa kau ikut teriak?" tanya (name) setelah berhenti teriak.
"Karena kau teriak. Terus kenapa kau berteriak?" Orang di dapur itu balik bertanya.
"Karena kau tidak berteriak."
"Kau bodoh ya?"
"Enggak. Mana Nenek Giko?" tanya (name) santai.
"Dia sakit, jadi aku menggantikannya," jawab gadis itu yang tak lain adalah Hirako, anak Nenek Giko.
"Dih...sehebat apa skill memasak sobamu sampai bisa mengambil alih dapur suci ini?" tanya (name) bersungut-sungut. Hirako langsung emosi. Ia meremas centong di tangannya sampai bengkok.
(Name) menyentuh tangan Hirako, dan mengambil centong itu. "Aku ke sini mau makan soba buatan Nenek Giko. Tapi malah kau yang ada di dapur. Pasti masakanmu gak enak makanya orang-orang pada gak datang."
Jleb!
Tadi siang sudah ada tujuh korban keracunan makanan di warung ini. Gak keracunan sih, rasanya aja yang memang menjijikkan sampai ada yang mual.
(Name) menatap gadis itu. "Siapa kau?" tanyanya angkuh. Ini sih ngajak bertengkar namanya!
"Harusnya aku yang bertanya begitu, bodoh! Siapa kau berani menerobos dapur?"
"Aku pelanggan. Tapi aku gak mau makan masakanmu!" jawab (name) telak.
Jleb!
Hirako sudah menampung dua panah tajam di dadanya dari dua perkataan (name) sebelumnya. Kalau bisa mungkin ia sudah muntah darah.
"Aku Hirako, anak pemilik warung ini. Kau benar, masakanku payah. Makanya gak ada orang yang datang sejak pukul 1 siang." Hirako memilih menjawab pertanyaan (name) yang sebelumnya dengan napas menyerah.
"Ibumu bisa bangkrut bodoh!" (Name) reflek memukul kepala Hirako dengan centong yang ia pegang. Hirako meringis. Yang dirasakan kepalanya lebih sakit daripada sekedar dipukul centong. Antara (name) yang mukulnya emang niat atau centongnya aja yang over power.
"Hufft...baiklah! Aku akan memasak soba untuk diriku sendiri dan membayar. Lebih baik kau naik ke atas mengurus Nenek Giko yang sakit. Aku juga akan menyiapkan soba untuk kalian berdua, setelah makan aku akan pulang," jelas (name).
Hirako mendengus, "kenapa kau seenaknya membuat keputusan begitu sih?"
"Lebih baik kau mengurus ibumu ketimbang masak di sini dan menghancurkan kepercayaan pelanggan, bodoh!" Mendengar kejulidan mulut (name), Hirako langsung naik ke lantai atas tanpa berkata apa-apa lagi. Di dadanya kini sudah ada tiga panah.
Sementara di lantai bawah (name) membersihkan dapur terlebih dahulu. Rasanya dapur ini baru saja kena banjir bandang, tepung-tepung berserakan, belum lagi toples-toples yang terletak acak, dan peralatan dapur yang digantung asal, dapur ini ambyar pokoknya. Gila aja! Si Hirako itu benar-benar payah dalam memasak. Dapur suci ini jadi ternodai.
Setelah selesai beres-beres (name) mengecek kesediaan mie yang sudah Nenek Giko buat sebelum sakit. Untungnya masih ada sisa satu baskom, sisa penjualan kemarin sepertinya. (Name) mencium mie itu, "masih wangi!". Ia tersenyum puas. Baiklah! Ia tidak perlu repot-repot membuat mie ulang. Mie ini lebih dari cukup untuk porsi tiga orang. Malah cukup untuk 7 sampai 8 orang.
(Name) langsung membuat kuah soba, merebus mie, dan menyiapkan tempura udang. Ia memasak semua mie yang ada. Rencananya sih (name) mau makan tiga porsi, dan sisanya untuk keluarga Nenek Giko. Siapa tahu mereka ketagihan dengan masakan (name). Terus (name) direkrut jadi cucu angkat Nenek Giko. Mantep banget sih itu!
Di sela-sela memasak ia mendengar pintu utama terbuka. Ia mencium bau-bau datangnya pelanggan. (Name) mengintip dari jendela dapur yang membatasi antara dapur dan ruang utama. Ia dapat melihat tiga anak remaja yang memakai seragam sekolah U.A masuk ke dalam warung. Kenapa anak-anak U.A suka sekali sih berkeliaran di sekitar sini? Kalau lihat seragam U.A (name) rasanya alergi dan teringat pada bule jejadian sambat yang satu itu.
"Permisi apa ada orang?" seru yang rambut merah.
"Sepertinya ada, soalnya dapurnya bunyi kok," timpal yang rambut kuning.
"Tapi tumben warung Nenek Giko sepi?" tanya yang rambut hitam heran.
(Name) melepas ikat rambut di kepalanya membiarkan rambut berwarna (h/c) itu terurai. Ia menutup panci rebusan dan keluar dari dapur. Ia menghampiri anak-anak U.A itu kemudian menunduk.
Murid-murid U.A lumayan terkejut melihat seorang anak gadis menggunakan pakaian tradisional jepang keluar dari dapur. Anak itu cuma memakai bawahan hakama dan atasan kosode.
"Ano...aku ingin minta maaf. Nenek Giko sedang sakit jadi warungnya tidak buka. Kalian bisa mengunjungi warung ini setelah Nenek Giko membaik," jelas (name).
"Tapi tulisan di jendela tertulis buka," balas Si Rambut Kuning, normal tapi cukup savage.
Dengan kecepatan kilat ala ninja hattori (name) buru-buru membalik kertas yang ada di jendela menjadi 'tutup'. "Sekarang sudah tutup," ucap (name) mantap sambil mengacungkan jempol.
"Itu karena kau baru saja menggantinya." Salah satu dari ketiga anak itu memukul dahinya. "Lagipula kelihatannya ada seseorang yang memasak di dapur," tambah anak itu.
"Aku sedang memasak untuk Nenek Giko," jawab (name), gadis itu tak lagi menunduk, kini ia berdiri dengan tegap menghadapi tiga lelaki tinggi, yang kalau dilihat dari jauh bisa bikin orang salah paham. "Gadis itu sepertinya sedang dipalak oleh berandalan SMA!"
Anak yang berambut kuning memasang ekspresi terkejut. "Loh! Bukannya kau pelayan di Verdent Cafe?"
(Name) juga terkejut. Oh ia ingat, tiga orang ini sering datang ke cafe juga. Serombongan kadang dengan Si Jabrik Gila.
"Kau dipecat ya?"
"HAAAH?"
"Apa yang kau katakan Denki bodoh!" Orang yang berambut merah langsung menjitak seseorang yang bernama Denki itu.
"Jam kerjaku sudah selesai sejak pukul lima tahu!" sungut (name).
"Ooh...maaf maaf!"
"Sudahlah, lebih baik kalian pulang, kalian tak akan mendapatkan apapun di sini," usir (name). Setelah ketahuan kalau dia bukan pelayan di warung Nenek Giko sifatnya malah berubah.
"Gadis ini berubah, padahal tadi cara bicaranya lembut sekali," batin anak yang rambut hitam.
"Aku mau melanjutkan memasak, nanti sobanya jadi gak enak lagi, daaaah anak-anak kelaparan!" ucap (name) sebelum menghilang ke dalam dapur.
Tiga orang itu keluar dari warung dengan pasrah. Mana diusir dengan cara tidak elit pula. Anak-anak kelaparan katanya! Untungnya tiga orang itu penyabar. Coba Bakugou ada di situ, warung itu bisa jadi tempat pembunuhan.
Belum beberapa langkah mereka bertiga menjauh dari warung, (name) keluar dari warung dan memanggil mereka dengan centong melambai di tangan kanannya. "HOI ANAK-ANAK U.A YANG KELAPARAN!"
Gila tidak etis! Cuma mereka bertiga yang berseragam U.A di jalan itu, sontak semua pejalan kaki melihat mereka. Ketiga *coret*personel boy band*coret* murid itu menghadap ke belakang dan menghampiri (name) dengan langkah ganjil.
"Bisakah kau memanggil kami sedikit lebih sopan?" peringat yang rambut merah. (Name) cuma menggaruk belakang kepalanya dengan centong yang ia pegang sambil nyengir kuda.
"Anoo...begini, aku memasak soba untuk porsi delapan orang. Terlalu banyak untuk aku, Nenek Giko, dan anaknya. Jadi kalian bisa makan sisanya, lagipula terlalu sepi kalau makan di warung itu sendirian," jelas (name).
"Benarkah?" seru Denki. Anak itu langsung bersorak gembira. Mereka bertiga kemudian berpelukan. Saat mau memeluk (name) kepala mereka keburu dipentung sama centong.
"Apa sobanya gratis?" tanya yang rambut hitam sambil masuk ke dalam warung. (Name) langsung memukul kepala anak itu, masih dengan centong legendaris di tangannya.
"Kepalamu! Bayar! Buat beli obat Nenek Giko ini," balas (name) ketus. "Masa anak U.A ga punya duit," tambah (name). Kata-katanya ganas sekali belakangan ini.
"Kalian tunggu di sini, aku akan mengantarkan soba ke atas dulu," pesan (name) saat ketiga orang itu sudah duduk, kemudian menghilang ke dapur.
"Gadis itu gila ya?" tanya Denki berbisik.
"Iya, seperti kau!" balas Si Rambut Merah.
"Kirishima!!!" geram Denki. Yang namanya Kirishima cuma tertawa renyah.
"Eh dia gak bakalan meracuni kita kan?" tanya anak yang rambut hitam, masih berbisik.
"Enggak mungkinlah Sero. Aku yakin dia beberapa tingkat lebih waras dari Denki," jawab Kirishima yang kemudian dihadiahi setruman kecil dari Denki.
Tak lama yang digibahin datang. Ia membawa nampan berisi enam porsi soba. "Nenek Giko berpesan sobanya gratis untuk kalian anak-anak U.A yang kelaparan," ucap (name). "Berterima kasihlah padanya saat dia sudah sembuh nanti."
"Baiklah, terima ka—siapa namamu?" tanya Denki.
"(Surename)(name). Kalian?" (Name) balik bertanya.
"Aku Kirishima Eijiro, Dia Kaminari Denki, yang ini Hanta Sero, kami semua kelas 1 jurusan pahlawan," jelas yang rambut merah menunjuk temannya satu persatu.
"Eijiro-kun, Denki-kun, Sero-kun, selamat makan!" ucap (name) ceria kemudian menyeruput soba basah miliknya.
"Dia menyebutkan nama pertama kita!"
"Kenapa kalian belum makan?" tanya (name) mendapati tiga orang itu yang malah menatapinya. "Aku libas nanti jatah kalian, mending makan sekarang."
Ketiga orang itu langsung memakan soba buatan (name) setelah diperingati. Daripada porsinya pindah perut mending mereka langsung makan.
"Nee...ini benar masakanmu?" tanya Kirishima di sela-sela menyeruput mie.
"Hiwha henava?" jawab (name) dengan mulut penuh.
"Ini enak! Hampir seperti buatan Nenek Giko!" puji Kirishima. Denki dan Sero mengangguk setuju.
"Benarkah? Terima kasih!" seru (name) girang. Mereka melanjutkan makan soba sambil berbincang-bincang. Yang entah bagaimana mereka malah menjadi dekat.
"Aku kira kau itu orang yang menyebalkan, ternyata kau menyenangkan!" kata Sero pada (name).
(Name) cuma tertawa, "semua orang yang pertama kali bertemu denganku juga bilang begitu."
"Kau sekolah dimana (surename)?" tanya Denki. (Name) meletakkan sumpitnya. "Aku tidak sekolah. Oh, dan lagi, aku tidak suka nama keluargaku, jadi panggil aku dengan nama pertama saja. Aku kan juga memanggil kalian dengan nama pertama," jawab (name).
Ketiga orang itu langsung terdiam karena nada bicara (name) berubah. Intonasinya serius dan lebih terdengar seperti mengancam. Seakan-akan kalau mereka menyebut nama keluarga (name) kepala mereka akan dipenggal. Apakah (name) merupakan keturunan keluarga petinggi Yakuza?
Mereka bertiga tatap-tatapan. Aduh harus ngomong apa lagi.
"(Name) bukankah pahlawan itu keren?" Denki mencoba merubah suasana. (Name) malah tersedak mendengar pertanyaan Denki, ia kemudian meminum air yang diberikan Kirishima banyak-banyak.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sero panik.
(Name) memukul-mukul dadanya. Setelah balada tersedaknya usai ia menjawab pertanyaan Denki. "Aku tidak peduli dengan kekerenan penjahat dan pahlawan. Bagiku semua manusia sama saja," jawabnya.
"Heee???" Denki memiringkan kepalanya.
"Kenapa? itu cuma pemikiranku. Kalian bertiga bercita-cita menjadi pahlawan? Aku doakan semoga sukses," kata (name).
"Ohiya (name) mengapa kau memakai hakama?" tanya Sero berusaha banting setir topik. "Tumben masih ada orang yang memakai baju itu di zaman ini," tambahnya.
(Name) tertawa renyah yang menghangatkan hati ketiga orang itu. "Gimana ya...aku suka jadi aku pakai. Cuma itu kok," jawab (name). "Lagian tidak ada yang memprotes pakaianku. Aku cuma pakai ini di luar jam kerja sih. Soalnya saat kerja kan harus pakai seragam," jelas (name) lagi.
"Kenapa kau lebih memilih kerja daripada sekolah?" tanya Denki yang langsung digebukin sama Eijiro dan Sero.
"Pertanyaan bodoh! Itu bukan urusanmu!" Kirishima menyentil kening Denki.
"Jangan tanyakan hal sensitif begitu dasar payah!" Sero langsung nyelotip mulut Denki.
(Name) yang menyaksikan itu tertawa puas. "Tak apa aku gak marah kok. Alasanku gak sekolah lagi karena aku tidak punya biayanya. Aku tidak punya keluarga di sini jadi aku harus menghidupi diriku sendiri dengan bekerja," jelas (name) tidak sepenuhnya bohong tapi ada alasan lain yang ia sembunyikan mengapa ia tidak melanjutkan pendidikannya.
Tiga orang itu menatap (name) iba dan mengambil ancang-ancang untuk memeluk (name). Tapi mereka malah dihadiahi pukulan dengan mangkok soba. Terhitung sudah dua kali mereka dilibas (name) hari ini. Untuk Sero tiga kali.
"Hai' baiklah teman-teman calon pahlawan dari U.A sebaiknya kalian kembali ke asrama sebelum gerbang asrama kalian ditutup dan kalian tidur di semak-semak," peringat (name) sambil membereskan meja.
"Terima kasih makanannya!" ucap ketiga orang itu. "Terima kasih (name) kami akan kembali lagi!" kata Eijiro sebelum akhirnya keluar dari warung.
"Masakanmu benar-benar enak, aku menyukainya!" puji Sero, membungkuk, lalu keluar. Denki yang belum keluar mencolek bahu (name).
"Iya...iya aku tahu masakanku enak, udah balik ke asrama sana," potong (name) sebelum Denki bicara yang enggak-enggak. Dari mereka bertiga Si Denki ini nih yang paling ngaco.
"Anoo...maaf aku menanyai hal-hal aneh padamu," ucap Denki. "Besok aku datang lagi," tambahnya. Suara Denki berganti dengan derap langkahnya yang terdengar cepat.
"SIALAN KALIAN MENINGGALKANKU!!!"
(Name) yang ada di dalam warung cuma tersenyum. Ia mendapat teman baru hari ini. Dan makan malamnya tidak sepi. Ia akan berterima kasih pada mereka nanti.
•••••
Tbc.
|
|
This chapter is not too good :(
Aku cuma mau mempertemukan (name) dan tiga calon kawan bronya nanti.
Btw ini adalah perwujudan kosode dan hakama.
Dari sumber yang aku cari kosode itu atasan, hakama bawahannya.
But correct me if i'm wrong :3
.
.
Lov yah
Charriot—.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top