Tiga
**
Pernikahan berlangsung sakral. Ayana meminta agar Langit mewujudkan keinginannya untuk menikah seperti konsep pernikahan yang dia inginkan, berkonsep outdoor. Hal itu disetujui oleh Langit. Ayana tampil memukau dengan gaun internasional berwarna putih dengan head piece bunga. Riasan wajah flaw less menjadikan dia semakin memesona.
Kedua keluarga terlihat sangat bahagia. Sementara senyum tak lepas dari kedua mempelai. Sesekali Langit tampak berbisik ke telinga Ayana. Perempuan itu menanggapi dengan tawa dan cubitan kecil di lengan Langit.
Sarah mendekat mengucapkan selamat kepada keduanya. Sementara menurut Sarah, Anya menyusul.
"Dia masih dalam perjalanan."
Rekan kerja Ayana itu memang belakangan ini sering bolak-balik pergi ke kampung halamannya di Makassar. Konon sang ayah sedang sakit.
"Aku harap kalian bahagia. Langit, mungkin kamu baru mengenalku, tapi Ayana sudah banyak cerita tentangmu. Aku percaya kamu orang baik yang bisa membuat dia bahagia," ucap Sarah saat selesai menjabat tangan Ayana.
"Sure! Thank you sudah percaya!"
Sarah dan suaminya kembali membaur dengan para undangan. Meski pestanya sangat private, tetapi kemeriahan tetap terasa.
"Kamu cerita apa aja ke teman kamu soal aku?" tanya Langit sambil tersenyum kembali menyambut uluran tangan undangan.
"Jangan bilang soal aku dulu yang sering bolos sekolah."
Ayana mengulum senyum mendengar ucapan pria di sampingnya.
"Ah ... sudah pasti jatuh martabat aku, Ay!" tuturnya lagi.
"Ish, apaan sih! Siapa juga yang cerita seperti itu," balas Ayana seraya mengulas senyum ketika beberapa rekan arisan mamanya siap berpose bersama dia dan Langit.
"Syukurlah ... jadi apa yang kamu ceritakan ke teman kamu tentang aku?"
Kembali Langit menyambung pembicaraan setelah rombongan rekan arisan mama mertuanya meninggalkan tempat itu.
"Aku bilang kamu teman yang baik!"
"Are you really? Kamu bilang aku baik?"
"Langit! Jangan kayak anak kecil deh!"
"Terus kamu nggak bilang kalau aku cowok paling digemari gitu dulu di SMP?"
Ayana menoleh ke arah pria itu, sejenak dia menatap Langit yang tengah menyambut uluran tangan beberapa rekan kerja papanya. Perempuan langsing itu mengakui bahwa Langit dari dulu hingga saat ini masih seperti dulu. Lucu, rendah hati, mudah bergaul, dan tampan tentu saja!
"Sstt, jangan tatap aku seperti itu. Nanti aku khilaf!" bisikan Langit membuat pipi Ayana semakin merona.
"Nggak usah ge-er! Aku cuma heran, bisa juga kamu serius di hadapan klien papamu."
"Kamu belum tahu, kan? Gimana aku memimpin rapat?"
"Rapat direksi?"
Santai pria itu menggelengkan.
"Rapat ibu-ibu PKK," balasnya.
Tawa Ayana berderai lepas tanpa dia sadari. Suaranya cukup bisa mengalihkan perhatian beberapa undangan sekaligus keluarga mereka.
"Mereka kelihatan cocok sekali,kan, Pa?" Astrid menatap suaminya kemudian memalingkan pandangan ke putrinya yang tengah bersanding di pelaminan.
Andi mengangguk.
"Sebelumnya dia nggak pernah tertawa lepas seperti ini." Pria berkemeja batik berwarna cokelat itu menarik napas dalam-dalam. "Mas Ari, kenapa nggak sejak dulu aja anak-anak kita ditunangkan ya? Kenapa harus melewati jalan panjang," tutur Andi kepada sahabatnya yang duduk semeja.
Pak Ari tertawa kecil.
"Mungkin memang harus melewati itu semua, Mas Andi."
"Mbak Astrid, belum apa-apa saya sudah mikirin cucu. Kira-kira nanti cucu pertama kita laki-laki atau perempuan ya?" celetuk Fenita dengan mata berbinar.
"Mama, baru saja mereka ijab kabul. Si Langit juga masih berada di pelaminan. Udah mikirin cucu," protes suaminya.
"Papa, kan Mama cuma ngebayangin, Pa. Betul nggak, Mbak Astrid?"
Mama Ayana menyetujui ucapan Fenita besannya. Sejurus kemudian mereka berdua sudah asyik membicarakan mimpi mereka tentang cucu dan nama yang baik bagi anak Ayana dan Langit.
**
Seperti yang terjadi biasanya, setelah menikah maka akan diikuti dengan bulan madu. Tanpa diketahui oleh keduanya, keluarga mereka telah menyiapkan tempat untuk bulan madu mereka.
Hotel berbintang empat yang berlokasi di sisi selatan Pantai Gili Trawangan adalah lokasi tepat menurut keluarga mereka untuk keduanya
"Kalian cuma tinggal packing, menikmati indahnya pulau Lombok dan pantai di sana. Belanja, makan dan ... bikin anak! Itu aja," celoteh Fenita dengan mimik muka lucu menatap pasangan pengantin baru di depannya.
Langit tertawa kecil.
"Ma, kalau soal belanja, makan itu kami nggak usah diajari. Kalau bikin anak ...."
"Apa kamu minta diajari sama Papa?" seloroh Ari papanya.
Mata Feni melotot ke suaminya.
"Papa! Nggak lucu!"
"Loh, kan Papa cuma tanya, Ma."
"Kamu juga, Langit! Masa iya kamu nggak tahu caranya?"
Tawa berderai keluar dari bibir Langit saat mendengar ucapan mamanya.
"Mama, kan Langit belum selesai bicara. Papa tuh yang langsung sambar aja," terangnya masih dengan tawa.
"Like father like son!" gerutu Fenita. "Sayang, kamu harus sabar sama suamimu ya. Langit memang suka becanda. Kadang ngeselin memang." Perempuan berambut sedikit ikal itu menatap Ayana. "Tapi dia baik kok."
"Iya, Ma. Ay udah tahu seperti apa Langit. Mama jangan khawatir."
"Tuh,kan, Ma. Langit nggak salah pilih menantu buat Mama juga Papa, kan?" tanyanya seraya merangkul Ayana.
Kedua orang tua Langit tersenyum mengangguk.
"Udah, Ma. Mama jangan khawatir soal Langit lagi. Nanti jantung Mama kambuh terus nginep lagi deh di rumah sakit. Mama nggak mau, kan?"
Fenita tersenyum. Langit adalah anak tunggal. Fenita pernah beberapa kali hamil, tetapi keguguran. Bagi perempuan itu, Langit adalah karunia besar dari Tuhan untuknya.
Memiliki riwayat penyakit jantung membuat dia harus ekstra menjaga pikiran positif. Maka saat tahu putranya telah menemukan pasangan yang cocok dan dia juga tahu latar belakang keluarga menantunya membuat Fenita tenang.
**
Ayana dan Langit kompak mengikuti keinginan keluarga mereka. Berbulan madu demikian pesan orang tua Langit ndam Ayana. Namun, tentu saja hal itu tidak terjadi. Karena di Lombok mereka sepakat tinggal di kamar berbeda meski satu hotel. Jika pagi hingga sore, mereka akan berjalan-jalan menghabiskan waktu menikmati indahnya pantai dan setiap sudut pulau itu. Sama sekali tidak ada kemesraan layaknya pengantin baru.
Sore itu mereka tengah menikmati indahnya pantai dengan menghabiskan waktu berdua ditemani cahaya sunset. Hotel berbintang empat yang mereka tempati berlokasi di sisi selatan Pantai Gili Trawangan.
'Kamu suka senja?" tanya Langit memecah sunyi.
Ayana mengangguk.
"Langit, kamu ngerasa aneh nggak?" tanya Ayana menatap sebentar ke pria di sampingnya kemudian kembali memandang pantai.
Langit tengah asyik memetik gitarnya pelan menambah romantis suasana.
"Aneh kenapa?" tanyanya menatap sekilas lalu kembali ke gitar.
"Pernikahan kita."
Pria itu terkekeh.
"Mungkin aneh. Iya, seperti di novel-novel yang sering kamu baca itu, kan? Awalnya mereka terpaksa, akhirnya karena terbiasa semua bisa dijalani."
Perempuan memakai blouse putih dengan celana berwarna senada sebatas lutut itu menarik bibirnya singkat. Lagi-lagi dia tidak menyangka Langit masih mengingat hobinya.
"Lalu menurutmu apa kisah kita akan berakhir seperti itu? Seperti kisah di novel-novel itu?"
Pria yang mengenakan kemeja berwarna sama dengan istrinya itu menatap lekat.
"Menurutku? Hanya menurutku? Kalau kamu tanya hanya menurutku maka aku jawab bisa. Nggak tahu kalau Mas Anang," candanya.
"Langit! Aku lagi serius!"
"Oke, Ay. Aku jawab serius. Aku bisa, tapi jika hanya aku tentu kisah itu nggak sempurna, kan?"
"Bukannya kesempurnaan itu memang nggak pernah ada?" Ayana menatap matahari yang perlahan kembali ke peraduan.
"Kesempurnaan itu tergantung dari mana kita memandang, Ay."
"Maksudmu?"
"Seperti matahari itu. Terlihat beberapa indah ketika kita menatap dari sini, tetapi tentu akan tampak biasa jika kita berada di tengah kota dengan kemacetan yang luar biasa."
"Di sini kita bisa menikmati lukisan Tuhan dengan sempurna. Karena hati dan pikiran kita tenang. Tidak dikejar-kejar oleh setumpuk deadline pekerjaan. Kamu bisa tahu kan rasanya macet saat senja? Kendaraan bahkan tidak bergerak, tepat ketika matahari terbenam? Apa kamu kamu bisa merasakan indahnya?"
Ayana menoleh memindai wajah suaminya lalu menggeleng.
"Nggak bisa, kan?" tanya Langit menatapnya.
Kembali dia menggeleng.
"Begitu juga hidup, Ay. Kebahagiaan, kesempurnaannya itu ada di hati. Standar sempurna dan bahagia itu nggak bisa diartikan sama untuk setiap orang."
Ayana kembali menatap lurus. Matahari sudah tinggal sedikit di ujung cakrawala, kemudian perlahan menghilang.
"Kamu bijaksana juga ternyata."
"Itu bakat terpendamku. Aku memimpikan bisa jadi sekelas Mario Teguh, tapi apa daya hanya sekelas Mario Bros," kelakarnya santai.
Ayana tertawa seraya mencubit lengan Langit.
"Kita balik yuk! Aku mau mandi."
"Oke!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top