Chapter 7

Hela napas dulu, Zeyeng 😂

Happy reading!

-------

Di kota ketiga, keadaan Satya tiba-tiba memburuk. Reza bisa membaca situasi saat lagu keenam, Satya lebih sering mengarahkan mikrofon ke penonton. Sementara dirinya memejamkan mata sambil mengatur napas. Selain berkeringat, wajah itu juga pucat. Maka, begitu lagu keenam selesai, Reza naik cepat ke atas panggung. Mendekat ke Satya. Bertanya soal kondisi.

Satya menjauhkan mikrofon dan mengangguk sebelum Reza melontarkan pertanyaan. "Lanjut. Gue masih sanggup."

"Masih empat lagu lagi, Sat. Yakin bisa?"

Dibalas dengan anggukan.

Reza sadar tempat. Tidak mungkin dia mengomel di atas panggung. Sambil menahan gemas, Reza kembali ke tempat semula. Masih terus mengawasi Satya. Ini bukan yang pertama. Satya pernah begini. Memaksakan diri meski tubuhnya nyaris tumbang. Sebegitunya tidak ingin membuat penonton kecewa. Padahal fans Satya rata-rata pengertian, jadi mereka pastilah maklum kalau tiba-tiba Satya menyudahi konser di tengah jalan.

Setengah jam yang cukup menegangkan bagi Reza akhirnya berakhir. Begitu Satya selesai memberi kalimat penutup, Reza bergegas menghampiri. Menggamit satu lengan Satya. Taksi sudah menunggu di dekat tenda backstage. Reza tahu apa yang harus dilakukan.

Satya menyandar lelah di bangku penumpang. Memejamkan mata. Napasnya memburu. Tapi masih cukup sadar ketika Reza sibuk menelepon seseorang.

"Lo telepon siapa?"

"Bini lo. Siapa lagi. Nggak mungkin Nyai Marlina. Gue lapor kalo anaknya sakit, bisa disembelih gue."

Sontak Satya mencekal tangan Reza. "Nggak usah, Ja. Matiin."

Reza menurut. "Lagian nggak diangkat kok."

Taksi melaju ke rumah sakit terdekat. Satya hanya butuh infus semalam. Meski untuk benar-benar pulih, cukup lama. Tapi mungkin karena terbiasa dengan mobile yang tinggi, tubuh Satya cukup toleran. Besok siang mereka menuju ke kota keempat.

Menutup gorden di salah satu bilik IGD, Reza menarik kursi dan duduk. Satya sudah tidur setelah dipasang infus dan disuntik. Saran dokter tadi Satya harus opname paling tidak sampai lusa. Tapi tanpa perlu Satya protes, Reza sudah meminta kelonggaran pada dokter.

Menatap wajah lelah Satya dengan prihatin, Reza tetap terjaga. Dia bisa tidur besok pagi ketika sampai di hotel.

***

Sebelum turun dari mobil, Kana mencepol rambut panjangnya. Mengenakan masker dan topi hitam. Serta baju dan celana yang senada. Serba gelap. Layaknya 'seragam' para seleb jika sedang melakukan penyamaran. Meski Kana bukan selebriti seutuhnya, karena wajahnya tidak muncul di layar kaca setiap hari, tapi setidaknya menikah dengan Satya membuatnya sedikit kecipratan status selebriti.

Beberapa langkah mendekati pintu stadion, Kana mendadak jerih. Yakin dia sanggup bertahan di antara lautan manusia? Bagaimana kalau dia kena senggol? Parahnya, kena pelecehan seksual. Bahkan hanya membayangkan saja, Kana sudah takut. Segala kegarangannya lenyap. Dia jadi menyesal menolak Lala yang ingin ikut.

Lalu bagaimana? Dia sebenarnya bisa putar balik dan pulang sekarang-mumpung belum telanjur masuk. Toh, Satya tidak tahu kalau dirinya datang. Kemarin-kemarin lelaki itu hanya bilang soal konser ini, dan Kana bilang tidak bisa datang. Tapi, Reza bilang kalau ini konser spesial bagi Satya.

Hari ini persis lima tahun Satya debut. Lelaki itu memang tidak bilang. Mungkin takut Kana datang karena terpaksa.

Baiklah. Demi Satya, dia melanjutkan langkah. Melewati lorong pintu. Lantas gemuruh penonton menyambutnya. Kana pusing harus melangkah ke bagian mana. Apa perlu dia telepon Reza saja? Sehingga dia bisa mendapat pengawalan khusus untuk mendekat ke panggung.

Satya sudah berdiri di tengah panggung. Entah bicara apa, Kana tidak bisa mendengar karena di sekitarnya penuh jeritan. Mana aneh-aneh pula.

"I LOVE YOU, BANGSAT!"

"JADIKAN AKU MADUMU, MAS!"

"SATYAAAA! JADIKAN AKU YANG KEDUA!"

"SATYA! LAMAR AKU!!"

"SATYA, AKU JOMBLO LHO!"

Ingin rasanya Kana mencari sumber suara dan menjambak habis rambut mereka satu per satu. Mencabik-cabik mulut laknat yang-

"RAYYYA!!!"

Kali ini suara penonton lelaki. Melupakan emosinya, Kana menoleh ke panggung. Lagu sudah terputar. Satya mengawali. Ini memang lagu duet mereka berdua-yang sialnya meledak di pasaran. Lagu yang sering diputar di mana-mana. Membuat Kana senewen setengah mati. Belum termasuk mendengar pendapat orang-orang yang bilang jika duet mereka sempurna. Iya. Memang sempurna. Terus apa? Kana harus apa?!

Begitu tiba di bagian nada kosong, Satya bermonolog. "Ngomong-ngomong, ada kabar yang cukup sedih tapi membanggakan. Besok Rayya mau berangkat ke Filipina. Ada label di sana yang tertarik buat bikinin Rayya lagu. Dua tahun ya, Ya?"

Rayya mengangguk.

"So proud of you, Ya. Makasih udah nemenin perjalanan karir gue. Saling dukung. Susah seneng bareng. Banyak momen-momen yang nggak bisa dilupakan. Dan, ya, sampai ketemu dua tahun lagi."

Lagu berlanjut di bagian Rayya. Penonton pun terhipnotis. Tapi tidak dengan Kana yang berdiri seperti orang bodoh, menatap bergantian dua orang di atas panggung yang saling melemparkan tatapan berbeda.

Di akhir lagu, Satya merentangkan tangan. Rayya merapat. Memenuhi panggilan. Saling memeluk erat. Rayya bahkan terlihat menyeka mata.

Satya mundur. Satu tangannya naik untuk mengusap kepala Rayya. Menenangkan. Seakan tidak cukup tenang, Rayya memeluk Satya sekali lagi. Hanya sebentar, Rayya sadar jika terbentur durasi.

Apakah berhenti di situ?

Seakan dua pelukan belum cukup, Rayya mendaratkan satu ciuman di bibir Satya. Sekilas. Lengah sedikit maka akan melewatkan momen itu.

Detik-detik yang tertangkap oleh Kana. Seketika membuat dirinya hancur di tempat. Logika sudah meneriakki agar lekas pergi, tapi hati memaksa kakinya untuk tetap tinggal beberapa saat. Satya sudah menyanyikan lagu berikutnya. Kejadian remeh barusan sudah terlupakan. Sementara kepala Kana justru memutar ulang. Berkali-kali. Hingga dadanya terasa sesak. Dia tidak ingin ada di sana.

Sedikit terhuyung, Kana berbalik. Jarak pintu stadion tiba-tiba terasa lebih jauh. Di belakangnya, gemuruh penonton semakin gila. Entah apa yang Satya katakan di depan sana. Kana tidak dengar. Kana tidak peduli. Kana sungguh tidak ingin tahu.

Tubuhnya tersentak dengan napas memburu. Matanya membelalak. Langit-langit ruang tengah menyambut. Perlahan dia bangun. Mengatur napas. Mimpi buruk itu datang lagi. Bukan hanya sekali.

Mimpi buruk yang sialnya sungguhan pernah terjadi.

Mengusap wajah. Menunggu hingga denyut jantungnya kembali normal. Kana baru sadar jika tertidur begitu saja di sofa karena kelelahan. Sementara Lala tidur di sofa berbeda. Pukul berapa sekarang? Kana mencari keberadaan ponselnya. Pukul duabelas lewat.

Membawa serta ponselnya, Kana beranjak. Dress panjang masih melekat di tubuhnya, meski dia yakin make up di wajahnya sudah berantakan. Tadi selepas pemotretan, Kana harus menghadiri acara peluncuran butik.

Meletakkan ponsel di meja, Kana urung melangkah ke kulkas, dia kemudian hanya terduduk di salah kursi. Menghela napas dalam-dalam. Menimbang sesaat. Dia mencoba men-dial nomor satu.

Nada tunggu keempat, teleponnya diangkat.

"Halo?"

"Kok lo yang angkat?"

"Mohon maaf, Nyonya Satya yang Budiwati. Baginda Satya sudah tidur. Besok pasti ditelepon balik. Tungguin aja."

"Satya ...." Kana menggigit bibir. "Baik-baik aja, 'kan?"

"Baek kok, baeek. Hahaha."

"Pastiin dia nggak kelewat capek. Pastiin juga minum vitamin. Kalau balik-balik suami gue sakit, gue kempesin lo."

"Tumben." Sama sekali tidak gentar oleh ancaman itu. "Lo kesambet apa?"

"Habis mimpi buruk barusan. Mungkin kesambet di mimpi."

"Oh ya? Mimpi apa?"

"Lo kawin sama Lala."

"Mulut lo emang udah rusak filternya ya. Nyesel gue angkat."

Telepon ditutup sepihak. Hingga layar mengembalikan tampilan semula. Ada potret Kana yang menjadi wallpaper. Jemari Kana bergerak ke galeri. Membuka folder kamera. Mencari foto dirinya dengan Satya di antara ratusan foto.

Jempolnya terus menggulir hingga ke dasar. Berhenti di foto-foto yang diambil dua tahun lalu. Kana menekan salah satu foto. Menggeser. Menahan senyum. Menggeser lagi. Akhirnya tersenyum.

Dia menemukan satu foto selfie ketika mereka di pelaminan. Dia hanya perlu crop bagian Lala dan Reza. Hingga benar-benar hanya menyisakan wajah mereka berdua.

Kenapa foto ini? Senyum Satya terlihat berbeda. Memang sepanjang acara, baik dirinya dan Satya selalu mengumbar senyum. Begitu pula saat sesi foto. Tapi hanya senyum formal.

Kana mengembalikan ke tampilan home. Tersenyum puas dengan wallpaper-nya yang baru.

"Lo ngapain senyum-senyum horor tengah malam begini?" Lala terbangun, heran melihat Kana nyengir di meja makan.

"Jomlo nggak akan ngerti meski gue jelasin."

Mencebikkan bibir, Lala melangkah ke dapur. "Gue laper."

"Gue nggak punya mi."

Lala menoleh tidak percaya. "Kenawhyyy? Mi itu penyelamat di saat kayak gini."

Kana tidak menyahut. Lala mendekat dengan heran. Sedikit melongok melewati bahu Kana, menyipit melihat ponsel di meja.

Lantas mencibir. "Kelakuan lo kayak jomlo dari lahir terus dinikahin pengeran berkuda poni. Tumben pasang foto berdua?"

Mengabaikan pertanyaan Lala. "Sirik bilang."

"Eh, nggak ya." Lala berkacak pinggang dengan satu tangan. "Gue mah rasional, Na. Jomlo gue berprinsip."

"Lo cuma belum jatuh cinta sampai jadi orang paling bego aja."

"Gue setuju. Cinta bikin bego. Lo buktinya."

Senyum Kana berubah pias. "Yang saking begonya, nggak bisa bedain lagi mana bahagia asli mana palsu."

"Hah? Apa hubungannya cinta sama berlian asli palsu?"

Kana menoleh, sedikit mendongak. Menatap Lala datar. "Selain cinta, mi juga bikin bego, Lala. Kurang-kurangi."

"Lo ngomong apaan sih?" Lala makin tidak mengerti.

"Mi juga bikin congek kayaknya."

***

"Lo dikasih obat banyak banget." Reza selesai menebus obat dari apotek. Satya memilih menunggu di lobi, duduk di kursi agak pojok supaya tidak terlalu mengundang perhatian.

Dalam perjalanan menuju hotel, Satya menelepon Kana.

"Pagi, Satyang."

Reza refleks menoleh, melihat wajah pucat Satya tersenyum.

"Mau sampe kapan nyengir? Itu dibales sapaannya." Reza sengaja nimbrung saat Satya sudah akan menjawab.

"Itu ngapain Bingbong, ganggu aja."

"Gue denger, Kana."

Satya menepuk pelan perut Reza, sambil bertanya ke Kana. "Kamu longgar pagi ini?"

"Nggak, ada kerjaan. Ini udah siap jalan. Nunggu Lala yang mules."

"Pagi banget? Udah sarapan?"

"Sarapan angin."

"Makanya tubuh lo selidi banget." Reza menyahut lagi.

"Keteknya Hulk suruh diem itu."

Satya terkekeh.

"Udah dulu ya, Sat. Ini Lala udah kelar."

"Hati-hati ya."

"Kamu juga." Dan terakhir. "Jaga kesehatan."

"Iya."

"Nggak mau jujur aja ke Kana? Toh, dia juga nggak akan langsung nyusul ke sini meski tahu lo sakit."

"Cuma diinfus. Nggak perlu heboh. Nanti cerita kalau udah ketemu. Lebih enak kalau ngobrol langsung."

"Bukan masalah hebohnya ya. Cuma lo emang wajib tuh bilang ke bini lo soal kondisi lo. Kasih kabar minimal. Nunggu ketemu ya masih lama."

"Ntar lo diomelin sama dia."

"Oh ya, bener juga." Reza langsung bungkam. "Bukan gue takut. Cuma sebel kalau bini lo nyap-nyapan."

Taksi merapat di halaman hotel. Setelah makan siang, rombongan akan melanjutkan perjalanan. Satya bisa tidur lagi sambil menunggu jam makan siang.

Lobi hotel cukup sepi. Satya dan Reza gegas menuju lift. Jaga-jaga saja kalau mendadak ada fans yang muncul. Satya butuh istirahat.

Lift terbuka di lantai delapan. Satya melangkah keluar tanpa firasat apa-apa. Hingga dia mengangkat sedikit wajahnya. Langkahnya kemudian memelan.

Di sana, di depan pintu kamar, berdiri Rayya yang tersenyum melihat kedatangan Satya.

***

Sudah saatnya kalian mupon dari Acid~
Hentikan love hate kalian ke dia. Kasian hati kalian 😂

Begitu jg ke Satya.
Mau sayang, tp udah benci duluan. Cem manaaaa 😭

Jumat/14.08.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top