🥀 Chapter 06 | Kematian Pertama

29 Maret 2016
Gwangju, Korea Selatan

Changbin merapikan kemeja sekolahnya yang sedikit kusut, dan menyampirkan jas di bahunya. Dia bercermin, matanya melihat kedua telunjuknya, dengan gerakan kaku, dia menarik kedua sudut bibirnya berlawanan arah menggunakan telunjuknya ke atas. Berusaha tersenyum seperti yang dikatakan Yoora. Tidak seluwes yang Yoora lakukan, hanya sebuah garis lengkung tipis di wajahnya.

Pemuda tersebut siap untuk ke sekolah, dia menuruni tangga rumah dan mendapati Kyla sedang duduk di area meja makan dengan sebuah dokumen di tangannya. Sedangkan, keberadaan sang ayah yang masih belum nampak.

Morning, Ma.” Ucap Changbin dan tersenyum seperti yang ia lakukan di cermin kamarnya.

Kyla berniat membalas, tetapi, dia diam sambil mata yang terus melihat wajah Changbin dengan bibir sedikit terbuka.

Changbin hanya diam, dia merasa aneh ketika tidak mendapati reaksi seperti yang dikatakan Yoora kemarin.

Apa Yoora membohonginya?

Changbin mendengar suara derit kursi bergesekan dengan keramik, melihat Kyla yang dengan ekspresi sama mendekat ke arahnya. Tanpa diprediksi, Kyla membawanya ke sebuah pelukan.

Morning, too, anakku. Senyummu sangat tampan, jangan dihilangkan. Tetap seperti ini, ya.”

“Ada acara apa ini? Kalian berpelukan.” Woohyun berucap sambil turun tangga, dengan tangan yang mengancingi jasnya.

Kyla melepaskan pelukannya, mengecup pipi kanan suaminya sebagai sapaan pagi, “Uri Changbinnie tersenyum, sayang.”

Morning, Pa.”  Sapa Changbin dengan senyum yang sama bertahan.

Woohyun berjalan ke arah Changbin, meletakkan kedua tangannya di atas pundak keras anak tunggalnya, menepuknya seakan memberikan kebanggaan kecil, “Morning, too, Changbin. Ayo sarapan.”

“Kau ini kaku sekali, sayang. Kenapa tidak memujinya?” decak Kyla yang sedikit kesal dengan perbuatan suaminya. Anaknya mengalami perkembangan setelah sekian lama. Patut untuk dirayakan.

Woohyun menghembuskan napasnya lemah, “Kau tahu pasti darimana penyakitnya berasal, sayang. Jangan memintaku untuk melakukannya.”

Kyla terkekeh, “Sorry, honey. Aku terlalu bersemangat saat melihat Changbin tersenyum.”

“Apa itu salah, Mama?” tanya Changbin sambil mengoleskan selai ke rotinya. Sarapan sederhana yang selalu dikonsumsi setiap hari.

“Tidak, sayang. Tidak salah. Kamu benar-benar melakukannya dengan baik, Changbin. Mama akan menjalani hari dengan baik. Karena, anakku tersenyum. Rasanya langit sangat cerah hari ini.”

Changbin diam, matanya melihat ke luar rumah, langit memang cerah, tidak ada awan sama sekali.

Yoora tidak membohonginya.

Senyuman bisa membawa hal baik di keluarganya.

▪︎▪︎▪︎

Yoora POV

Perasaanku daritadi tidak enak, seperti ada keriasauan di hati. Tadi pagi, aku sudah merasakan sesuatu yang mengganjal di hati. Selama perjalanan ke sekolah, otakku bercabang, salah satu hal yang aku pikirkan daritadi, adalah Jiji.

Aku juga tidak tahu kenapa, aku hanya berharap kalau perasaanku hanya sebuah perasaan yang berakhir sia-sia, semoga saja tidak terwujud. Aku mendengarkan guru Sejarahku mengajar dengan berat hati.

Jiji akan baik-baik saja, bukan?

Aku tidak mendengar penjelasan gurunya, tidak apa-apa, aku bisa mendapatkan salinan penjelasan di akhir pelajaran, dan bisa dipelajari lagi di rumah sebanyak yang aku mau. Aku ingin segera pulang.

“Permisi, Pak. Boleh meminta waktunya sebentar?”

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ada suara yang menyela penjelasan gurunya.

“Bisa, Bu. Kim. Ada masalah apa?”

Ibu Kim, seorang wanita muda yang bekerja di bagian administrasi kesiswaan.

“Begini, Pak. Siswi kita yang bernama Lee Jiyeon meninggal dunia tadi malam. Pihak sekolah memutuskan untuk meminta perwakilan dari kelasnya untuk melayatnya sepulang sekolah. Ketua Kelas diharapkan untuk bekerja sama dengan ini. Siswa lain jika ingin melayat diluar dari perwakilan, diperbolehkan sendiri-sendiri. Ketua kelas paham?”

Aku linglung. Itu bohong, bukan?

Tidak. Jiji tidak mungkin meninggalkanku sendirian di sini. Berita ini pasti hanya lelucon belaka.

Iya, pasti.

“Paham, Bu.” Ucap Jinwoo.

“Baik, Pak. Saya permisi, pak. Terima kasih untuk waktunya.”

Aku bisa mendengar desas-desus satu ruangan kelas ini tentang kematian Jiji, mereka sama tidak percayanya denganku. Bahkan, di beberapa percakapan ada namaku tersangkut di sana.

“Binnie,” bisikku, aku bisa mendengar suara dehaman dari belakang setelah dua detik kemudian. Aku tidak mempermasalahkan seberapa lama dia membalasku.

“Apa bisa menemaniku ke atap sekolah di jam istirahat?”

Aku tidak berharap banyak dari pemuda ini. Tapi, hanya pemuda ini yang bisa kuminta pertolongannya sekarang.

“Tentu, Yoora.”

▪︎▪︎▪︎

Author POV

Changbin menuntun Yoora menuju rooftop, dengan sebelah tangan mengenggam sekotak susu coklat Yoora. Siswa pindahan Vancouver itu membawa Yoora duduk di tempat biasanya, menelisik raut Yoora yang tidak seperti biasanya.

Untuk pertama kalinya, Changbin melihat Yoora tidak menampilkan senyumannya.

Kedua manik biru itu tampak berair, hidungnya merah dengan pipi putih yang terikut sewarna. Changbin membawa matanya melihat lebih jauh, kedua tangan Yoora meremas White Cane-nya dengan erat, sampai buku-buku tangannya memutih terang.

“Hiks ....”

Changbin mendengar suara dari bibir Yoora, saat ia melihatnya kembali, Yoora menggigit bibir bawahnya, menahan isak tangis.

“B ... Binnie.” Suara Yoora tercekat oleh isakan yang tertahan terdengar di telinga Changbin.

“Ya, Yoora?”

“A ... hiks ... apa ada orang di sini? Selain kita. Hiks ....”

Changbin mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut atap sekolah yang tidak tertutup, sehingga mereka bisa melihat langit langsung, “Tidak ada, Yoora.”

Tepat di saat itu juga, Yoora menguraikan air matanya, membiarkan bulir-bulir tersebut mengalir ke pipinya deras. Dia tidak bisa menahannya lebih jauh lagi. Sudah dua jam dia menahan isak tangisnya, tidak lagi untuk sekarang.

Sesak.

Sedih.

Kecewa.

Yoora tidak sanggup untuk mendeskripsikan perasaannya, untuk berbicara saja sudah tidak sanggup lagi. Jiyeon benar-benar meninggalkannya untuk selamanya.

Berita mengejutkan dirinya.

Kenapa? Kenapa harus sekarang? Yoora tidak bisa menjalani hari dengan baik lagi tanpa Jiyeon.

Kenapa dunia begitu tega merengut nyawa seseorang yang begitu baik dengan cepat? Batin Yoora dengan isak tangis hebat.

Changbin hanya membisu, mendengar setiap kali suara isak tangis itu terdengar, Yoora menampakkan sisi lemahnya pada Changbin. Kata Mama, seseorang yang menangis perlu untuk dihibur. Changbin harus berbuat apa?

Apakah ada sesuatu yang bisa dia lakukan?

Tanpa disadari, Changbin terikut merasakan sesuatu dalam dirinya, dia tidak suka melihat wajah Yoora yang menangis seperti ini.

“Bahkan, sebuah pelukan bisa menenangkan orang yang sedang gelisah, Binnie. Indahnya perlakuan kecil yang terasa sulit untuk dilakukan.”

Changbin memikirkan kalimat yang diucapkan Yoora.

Tangannya dengan gemetaran terangkat ke arah kepala Yoora. Changbin tidak tahu alasannya, tetapi dia ingin menepuk kepala Yoora pelan, mengusap surai rambut hitam lurus itu dengan lembut.

Hanya kepingan dari keinginannya yang menginginkan Yoora untuk tersenyum seperti biasa.

Changbin tidak lagi berpikir keras, melupakan kebiasaannya yang mencari tahu darimanakan pemikiran ini datang, alasan logis seperti apakah yang harus ia gunakan untuk melakukan hal ini.

Changbin melihat tangannya yang semakin dekat dengan kepala Yoora, entah kenapa sampai di sini, dia tidak bisa lagi menggerakkan tangannya lebih jauh.

Dan, dia menarik tangannya kembali.

Siswa baru itu melihat telapak tangannya sendu, bolak-balik melihat Yoora yang menangis dan telapak tangannya. Pada akhirnya, Changbin hanya bisa menemani Yoora tanpa melakukan apa-apa.

Tujuh menit kemudian, Yoora menarik napasnya tersendat, efek terlalu banyak menangis.

“Binnie,” Yoora menghapus air matanya, mengusap hidungnya pelan, “Jiji meninggal dunia. Kenapa secepat ini? Kami baru saja merencanakan perjalanan panjang setelah mataku bisa melihat kembali.”

Changbin mendengar semua ucapan Yoora, perkataan Jiyeon kemarin menghantui dirinya.

“Ketika aku meninggal nanti, gantikan posisiku menjadi temannya, matanya, pelindungnya. Maukah kamu, Changbin?”

Changbin memposisikan dirinya menyamping, melihat Yoora secara keseluruhan.

“Aku kehilangan teman baikku, Binnie. Dia adalah temanku sejak kecil.”

“Aku akan menjagamu, Yoora.”

▪︎▪︎▪︎

Our Tomorrow | Chapter 06 | Kematian Pertama
Done

︎▪︎▪︎▪︎

Halo, maaf telat update. Biasanya di jam lima sore, bukan?

Aku tadi terlilit masalah kecil. Sudah selesai, kok. Makanya buru-buru update, biar kalian tidak kehausan.

Bagaimana dengan chapter hari ini?

Alurnya memang lambat, ya.

See ya ^^

▪︎▪︎▪︎

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top