Bagian 4 ~ Raya dan Aditya ~

Senja yang menghiasi langit, kini sedang menemani seorang pria yang tengah duduk di dalam mobil yang menepi di sebuah taman. Beberapa kali ia memainkan ponselnya dengan raut wajah gelisah, sesekali melirik jam di pergelangan dengan cemas. Menunggu kedatangan seorang wanita yang telah membuat janji padanya hari ini.

“Apa Raya lupa, ya? Tapi kenapa susah dihubungi? Aku, kan, jadi cemas.”

Aditya merogoh saku dan mengeluarkan dua lembar tiket menonton. Jam tayang yang tertera pun sudah lewat hampir satu jam. Namun, hal itu sudah tidak peting lagi, dengan keberanian dan perasaannya yang cemas, Aditya memutuskan untuk datang ke rumah Raya dan berniat untuk menjemput wanita itu.

Sampai di daerah kompleks perumahan Raya, Aditya tak sengaja melihat sosok wanita tersebut tengah tertawa lepas sambil berdiri di belakang sepeda yang dikendarai seorang pria asing. Aditya memutuskan untuk mengikuti diam-diam hingga tiba di depan rumah Raya, Aditya menepikan mobilnya tak jauh dari sana.

Banyak pertanyaan yang bersarang di kepala pria itu. Terlebih, saat Raya justru masuk ke rumah yang ada di sebelah rumahnya.

“Siapa laki-laki itu?” gumam Aditya begitu penasaran. Ia bahkan memutuskan untuk menunggu lebih lama lagi.

Tak lama kemudian, dari kejauhan Aditya kembali melihat Raya yang keluar dari rumah tersebut, dan kembali masuk ke rumahnya. Setidaknya ia memastikan bahwa Raya baik-baik saja, rasa gelisahnya pun berubah jadi lega. Meski sepertinya janji hari ini gagal. Aditya memutuskan untuk segera pergi dari sana, berharap Raya memang lupa untuk mengabarinya.

Baru saja ingin menyalakan mobil, ponsel miliknya berdering. Panggilan masuk dari Raya tertera di layar. Sempat ragu mau menerima panggilan itu atau tidak. Namun, hatinya yang masih sedikit berharap mengalahkan keraguan itu. Aditya pun menggeser tombol hijau tersebut.

“Dit, maaf, ya. Aku lagi ada urusan tadi, dan gak bawa hape, maaf ya, Dit.”

Suara Raya terdengar gelisah dan merasa bersalah.

“Gakpapa, santai aja, Ray. Aku ngerti, kok.”

“Gak bisa santai, pasti kamu nunggu aku kelamaan, ya?”

“Gakpapa, udah, kamu istirahat aja. Besok kita masih bisa ketemu dikerjaan, kan?”

“Gak bisa gitu, ih. Kamu di mana sekarang?”

“Lagi di jalan, kenapa?”

Serlok sekarang, aku bakal susulin.”

Aditya hanya bisa mengembuskan napasnya, rasa khawatir sekaligus senang menjadi satu. Dalam hal lain, setidaknya perjanjian mereka hari ini tidak benar-benar gagal. Namun, ia juga khawatir akan kondisi wanita itu.

“Jangan diem aja, dong. Aku bakal marah kalau gitu.”

“Gak perlu, aku jemput kamu aja gimana?” tawar Aditya.

Raya sebenarnya tak enak hati, hari ini dia benar-benar ceroboh, bisa-bisanya lupa soal janji menonton dengan Aditya. Padahal jadwal itu sudah ia tentukan, pasti pria itu merasa kecewa padanya sekarang. Namun, siapa sangka Aditya malah menawarkannya untuk dijemput.

Raya pun mengiyakan tawaran Aditya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan angka tujuh. Setidaknya ia masih bisa menepati janji ajakan Aditya meski jamnya sudah terlewat. Wanita itu berpikir jika nanti ia harus meminta maaf secara langsung pada pria tersebut.

“Maaf, ya, Dit, sekali lagi,” ucap Raya ketika sudah ada di dalam mobil. Aditya hanya tersenyum kecil.

“Gakpapa, santai aja,” jawab Aditya dengan tenang.

“Kalau gitu, kali ini aku yang traktir, deh.”

Keduanya sama-sama tertawa, menikmati perjalanan malam yang begitu ramai dengan lampu-lampu. Tujuan mereka kini ke taman kota yang menyajikan area pasar malam. Rasanya susah seperti kencan saja, tetapi Raya cukup senang datang kemari.

Ah, apa aku nanti ajak Faren ke sini juga, ya. Itung-itung tuh anak lumayan kelamaan di negara orang, batin Raya ketika melihat suasana pasar malam yang begitu ramai.

“Kamu suka?” tanya Aditya tiba-tiba.

“Suka! Kita main itu, yuk!”

Raya mengajak Aditya ke stan mainan lempar gelang. Mengajak pria itu seperti anak kecil yang menggemaskan. Setidaknya bagi Aditya, meski mereka gagal menonton film, tapi sekarang digantikan dengan jalan-jalan dan bermain di pasar malam tidaklah buruk. Selama itu juga dilakukan bersama dengan Raya, wanita yang bisa membuat hatinya berdebar hanya dengan melihat senyum manis dari wanita tersebut.

Keduanya tengah asyik menikmati waktu bersama, Aditya benar-benar melihat sisi lain dari seorang Raya yang terkenal tegas dan perfeksionis saat bekerja. Senyuman yang begitu manis dan ceria, mata cokelat yang berbinar, serta suara lembut yang menggemaskan saat ia merengek sesuatu.

Suara ponsel terdengar dari dalam tas Raya, sebuah panggilan masuk dengan nada dering khusus, membuat ia tahu siapa yang tengah menghubungi. Senyuman Raya semakin merekah dan langsung menerima panggilan itu.

“Halo, Ren, ada apa?” sapa Raya langsung.

“Kenapa tiba-tiba gak ada di rumah?” suara Faren terdengar gelisah, tapi Raya justru tersenyum.

“Aku sedang ke luar sama teman kerjaku, Ren.” Sambil melihat ke arah Aditya.

“ke luar, ke mana? Udah jam berapa ini? Sama laki-laki atau perrmpuan?” tanya Faren yang sudah seperti bapak-bapak yang menginterogasi anak gadisnya.

“Apa, sih? Kayak bapak-bapak aja, deh!” Raya sedikit kesal.

“Buruan, video call!”

Meski sedikit kesal dengan sikap Faren yang satu ini, tetapi Raya tetap mengiyakan permintaan Faren untuk menerima panggilan video. Kamera pun di arahkan pada wajahnya dan juga Aditya. Faren yang melihat itu sedikit terkejut. Namun, pria itu menahan rasa penasarannya dan mencoba menutupinya dengan wajah pura-pura kesal.

“Aku lagi sama dia, kenalin, dia Aditya temen kerja aku di restoran,” ucap Raya memperkenalkan Aditya pada Faren.

“Oh, laki-laki, jangan macam-macam sama Raya, ya!”

“Apa, sih, Ren!”

Setelah itu Faren tertawa kencang, membuat Raya salah paham dengan arti tawa dari Faren.

“Ya udah, aku matiin, ya. Sebentar lagi aku pulang, kok.”

“Oke. Hey kamu siapa tadi? Aditya? Langsung antar Raya pulang dengan selamat, ya! Dan satu lagi, jangan mau pacaran sama Raya, kasihan kamunya entar nyesel.”

“Fareeeeen!”

Raya semakin kesal dengan ucapan Faren, sedangkan pria itu malah tertawa tak karuan. Raya sudah tahu akan seperti ini, ia jadi menatap sungkan ke arah Aditya. Dengan kesal ia mematikan panggilan video itu.

“Ih, nyebelin banget, sih, ini orang. Baru juga datang.”

“Memangnya tadi itu siapa?” tanya Aditya yang memang sedari tadi penasaran.

“Dia Faren, sahabat aku. Nanti, deh aku kenalin kalian secara langsung.”

Aditya hanya mengangguk seolah paham. Jujur saja, dalam hatinya masih penuh banyak pertanyaan. Raya yang ia kenal selama ini jarang berinteraksi akrab dengan siapa pun, ternyata mempunyai sosok sahabat yang Aditya yakini mereka pasti sudah mengenal sejak lama. Belum lagi ia mengingat jika wajah pada layar tadi mirip dengan pria yang membawa Raya dengan sepeda. Bahkan Raya justru mengenalkan dirinya sebagai teman kerja.

“Kita pulang, yuk, Dit,” ajak Raya setelah melihat jam di pergelangan sudah menunjukkan angka sepuluh malam.

Aditya pun mengiyakan, entah kenapa perasaan pria itu sedikit terganggu dan membuatnya gelisah. Banyak pertanyaan dan pikiran yang ia rasakan saat ini tentang Raya. Sosok wanita yang bisa mendebarkan hatinya, tetapi di sisi lain, baru mengetahui fakta jika wanita itu bahkan memiliki sahabat pria lainnya.

Hal itu sempat membuat Aditya berpikir keras, jika pria itu menjadi saingan cintanya, maka ia tak akan kalah untuk merebut hati Raya. Namun, untuk saat ini Aditya memilih untuk tenang dan mencoba berpikir positif.



•••


“Jika cahaya itu kamu, maka biarkan aku menggapai cahaya itu dan menggenggamnya.” – Aditya Mahesa.

•••


Thank for reading!
(Story by: Riqha Mey)

Balikpapan, 8 April 2023
(Follow my IG: @_riqhamey02)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top