42. Hipokampus VS Memori

Lah? Tiba-tiba banget? Sherin langsung inisiatif berhenti memainkan air hujan. Anak perempuan itu beranjak memperbaiki posisi duduknya, berdeham singkat untuk meredam suara yang jadi cempreng karena habis menangis dengan brutal, kemudian bersidekap menghadap Algis, siap mendengarkan apa yang akan anak lelaki itu katakan. "Ada apa, nih? Kenapa baru sekarang? Dadakan kayak tahu bulatn Mang Aheng biar engagement-nya bagus, gitu?"

"Enggak gitu, dong." Algis melotot kesal. Ocehan Sherin merusak suasana aja. Feel sendu dari hujannya jadi enggak dapet lagi, nih! Algis mendengkus. "Ya udah kalau enggak mau tahu. Enggak rugi juga kalau gue enggak ngasih tahu."

Sherin balas melotot. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang, berniat menambah intimidasi agar Algis jadi segan. "Eh, enggak bisa gitu, dong! Tadi tuh refleks aja meragukan keputusan lo buat nyerita ... kan, biasanya juga suka mengalihkan topik pembicaraan. Kenapa harus basket? Nanti juga tahu. Makanya ikut nonton tanding nanti, yuk! VVIP, lho! Blah-blah-blah!"

Algis ngakak lagi gara-gara Sherin beraksi meng-impersonate seorang Algis yang emang hakikatnya nyebelin abis. "Muka gue enggak ngeselin kayak gitu, ya, kalau ngomong. Enggak usah terlalu dibuat-buat, deh! Menggiring opini publik aja, lo."

"Lho, fakta itu! Gue mencontohkan sebagaimana fakta yang ada!" Sherin melambaikan tangan satu kali, sudah cukup lihai menghindari permainan verbal Algis yang selalu sukses menyetir kepentingan partai ... eh, salah. Maksudnya menyetir topik perbincangan. Sebelum menikung tajam ke arah yang tidak semestinya, lekas-lekas Sherin kembalikan ke jalan yang benar. "Jadi kenapa? Ada apa di basket?"

"Ada Gisa."

Sherin nyaris memuntahkan kerupuk seblak yang baru ia masukkan ke dalam mulutnya. Eh, kaget! Demi apa? Gisa? Itu nama cewek, kan, ya? Bukan plot twist? Barangkali Gisa itu singkatan dari nama Ginanjar Saputra? Enggaklah! Gisa ini cewek tulen, kan, ya. Anjay! Seorang Algis punya cewek yang bikin dia semangat main basket? Sherin hendak menertawakan nasib anak perempuan bernama Gisa itu, tetapi tambahan keterangan Algis berikutnya sukses menyumpal mulut Sherin.

"Gisa, adik kembar gue."

Meski begitu, Sherin kembali melotot, kaget luar biasa. Lah, lah, lah ... selama ini, Algis punya kembaran? Cewek, pula? Gisa-Algis? Lucu amat!

Di hadapannya, Algis menahan hasrat untuk mencolok kedua bola mata Sherin yang tak henti membulat setiap kali Algis melontarkan suatu pernyataan mengejutkan. Melotot, normal, melotot, balik normal lagi. Udah kayak lampu tumblr yang nyala-mati-nyala-mati. Dalam hati, Algis bersyukur keberadaan seblak bikin Sherin lebih anteng buat dengerin ceritanya secara lengkap terlebih dahulu, enggak berniat motong sedikit pun. Jadilah Algis lanjut nyerita. "Kalau lo ngira gue manusia paling gila basket, berarti lo belum pernah kenalan sama Gisa. Dialah definisi semaniak-maniaknya orang yang maniak terhadap basket. Gue latihan enam jam sehari? Enggak ada apa-apanya dibanding Gisa yang bisa seharian semalaman, bahkan sempat ketiduran di lapangan gara-gara rebahan habis latihan sendiri. Untung aja, sebagai kakak kembar yang baik, gue inget itu anak belum pulang ke rumah. Jadilah gue jemput ke lapangan."

Demi mendengar kalimat narsis seperti biasanya, Sherin langsung manyun. Bibirnya asyik mencibir pengakuan sepihak dari Algis. Meh, meh. Iyain aja, kasihan.

Cerita masih berlanjut. "Tapi gue ... sebetulnya udah lalai sebagai seorang kakak. Suatu hari, karena kelalaian gue ...." Algis tersenyum tipis. Alisnya terangkat, seakan terbiasa mengantisipasi robohnya pertahanan di dalam sana. "Gisa kecelakaan. Enggak begitu parah, tapi dia jadi enggak bisa main basket lagi. Gue udah membunuh mimpinya, Sherin."

Ya ampun ... Sherin melongo tak percaya. Demi apa, sih? Sherin enggak tahu bentuk spesifik dari kelalaian yang dimaksud Algis itu kayak gimana ... tapi nyeseknya sampai sini, Coy! Sherin enggak kebayang gimana cara Algis berdamai dengan segala sesal yang disimpan masa lalunya. "Is she okay with that?" tanya Sherin dengan hati-hati.

"Yes, she is. But I'm not. Inget, enggak, waktu gue maksa balas budi pas lo bangun dari koma gara-gara nyelamatin gue?"

Sebentar. Sherin yang sudah terbawa perasaan jadi terpaksa melotot sebal karena Algis masih saja salah paham. "Iiih! Udah gue bilangin berapa kali juga. Gue enggak niat nyelamatin lo, ya! Geer, lo! Ngerasa sespesial itu, ya, sampai ngira ada orang yang mau mempertaruhkan hidupnya demi keselamatan lo doang? Bjir! Males banget. Waktu itu, gue mana tahu ada lo di tengah jalan."

Algis mengangkat bahu, sama sekali tak terusik dengan penyangkalan Sherin yang sejatinya memang jujur dari lubuk hati paling dalam. Algis malah meletakkan telunjuknya di depan bibir Sherin. "Ssshh. Udah, enggak apa-apa. Intinya, gue cukup trauma pas itu, keinget sama kecelakaan Gisa. Lo inget juga, kan, kalau gue bilang gue enggak suka berperan jadi antagonis? Betul! Jadi diri sendiri emanglah penting, tapi gue enggak mau terbebani sama rasa bersalah. Apakah gue balas budi buat dapetin maaf dari lo? Bukan. Gue balas budi karena gue pengin memaafkan diri gue sendiri. Waktu kejadian sama Gisa juga begitu. Gue balas budi dengan cara menggantikannya untuk jadi bintang di lapangan."

Demi mendengar pernyataan panjang yang terlontar dari lambe Algis, Sherin mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mencerna maksudnya. Tak lama kemudian, Sherin meringis kecil. "Waduh ... berat juga. Terus gimana? Gisa terima gitu aja?"

"Enggak. Dia selalu nanyain, apakah itu emang betul-betul mimpi gue?"

"And your answer ...."

"... is a yes," pungkas Algis, "karena mimpiku adalah mewujudkan impiannya."

Bjir, sepertinya Sherin jadi teringat mimpi Mama untuk mendirikan klinik atau rumah sakit yang dikelola keluarga. Senyap menyergap. Aduh! Sherin tepok jidat. Bisa-bisanya ia malah membolos ke Kedai Seblak Abah di saat masih berlangsung jam pelajaran begini. Nanti Sherin ketinggalan pelajaran, dong? Sherin merengut, lantas meregangkan badannya untuk mengusir pegal yang hinggap. "Oh, ya, Gis. Lo dari mana aja tadi, hah? Kenapa enggak sekolah? Padahal gue sukses banget, tahu, presentasinya."

"Ya elah," cibir Algis. Anak laki-laki itu pasang mode bimoli alias bibir monyong lima senti. "Gue tadi kesiangan, anjir. Baru bangun jam sembilan, terus ngebut ke sekolah. Eh, malah nemu orang yang udah males idup di tengah jalan."

Hah? Siapa, tuh? Kok, kayak kenal. Tangan Sherin refleks mencubit lengan Algis pakai kekuatan tenaga dalam sampai anak lelaki itu meringis dan meminta ampun berulang kali. Sherin mendengkus penuh intimidasi. "Enggak usah mancing-mancing, ya. Urusin ketek lo yang baunya brutal itu, sana! Gara-gara kesiangan, pasti jadi enggak mandi sebelum ke sini."

"Exactly."

"Ew!"

"Haha ... mau balik ke sekolah, enggak?"

Sherin terdiam untuk sesaat. Tampangnya jadi serius. "Lo gimana, Gis? Gara-gara gue, lo juga jadi ketinggalan pelajaran ...."

"Halah. Gue mah bodo amat." Algis menggaruk ketiaknya dengan santai, tidak ada jaim-jaimnya di depan Sherin. "Yang penting enggak skip latihan. Kan minggu depan udah masa-masa tanding. Lo jadi ikut nonton, kan ... tiket VVIP, lho. Paling depan, dah!"

Tuh, kan, nyebelin. Topiknya balik lagi ke sana. Sherin berdecak malas. "Berisik!"

Perhatikan mereka teralihkan pada ponsel di saku seragam Algis yang merambatkan getaran. Ada telepon masuk. Mamanya Sherin. Selintas, Algis melirik Sherin terlebih dahulu. Kenapa mamanya enggak langsung menghubungi Sherin, ya? Apa karena ponselnya sedang tidak aktif? Atau malah ditinggalkan di kelas begitu saja? Tak mengindahkan raut bertanya-tanya yang ditunjukkan Sherin, Algis langsung mengangkat panggilan Mama. "Halo, Tante ... selamat siang."

"Algis ... apa kamu lihat Sherin seharian ini, Nak?"

"Oh ...." Lagi, Algis melirik Sherin yang tak dapat mendengar suara Mama di seberang sana. Bahkan, anak perempuan itu tak memiliki ide bahwa yang menelepon Algis adalah mamanya sendiri. "Iya, Tante. Sama aku. Maaf, tadi ...."

"Boleh tolong antarkan dia pulang, Algis?"

Kekhawatiran tersirat dari nada keibuan tersebut. Algis mengerjap-ngerjap tak mengerti. Lho ... mamanya Sherin enggak marah karena Sherin diajak bolos sama Algis? Bukannya disuruh balik ke sekolah, kenapa Algis malah disuruh beliau buat nganterin Sherin pulang ke rumah? "Baik, Tante. Sebentar, ya."

Setelah panggilan terputus, Algis menarik pergelangan tangan Sherin. "Sher, Mama minta kamu pulang."

Sherin melongo total. Hah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top