31. Flagellata VS Adaptasi
Jangan takut salah. Jangan takut salah.
Kalimat bermuatan tiga kata tersebut selalu jadi mantra yang super-duper mujarab dalam penyelenggaraan kehidupan Sherin belakangan ini. Jangan takut salah. Sekalinya diperbudak oleh rasa takut salah, detik itu juga Sherin telah memutuskan untuk kalah.
Terus terang saja, Sherin memang belajar banyak hal dari tugas praktik biologi beberapa hari yang lalu. Mungkin seharusnya Sherin tandai di kalender, ya, momen praktik biologi yang sudah seperti titik balik di hidupnya itu. Kenapa? Apakah Sherin sudah menjelma jadi superhero yang overpower? Menjawab pertanyaan-pertanyaan Bu Rika dengan tepat dalam satu tarikan napas?
Ya ... enggak muluk-muluk sampai segitunya juga, sih. Akan tetapi, lewat kesalahan mereka dalam proses pembuatan cangkang telur ... Sherin jadi bisa memastikan bahwa Hana Nathaniel yang selalu ia anggap sempurna itu masihlah seorang manusia. Manusia biasa, manusia yang makan nasi, manusia yang bisa lupa, manusia yang bisa berkenalan dengan gagal, manusia yang tak lepas dari kesalahan, manusia yang ... memang semanusia-manusianya manusia, manusia yang masih bertemankan dengan segala mungkin dan ketidakmungkinan, manusia yang masih perlu berperang dengan peluang dan komplemen menang-kalahnya kehidupan.
Lantas, setelah mengetahui kurang-kurangnya Hana, apakah Sherin jadi merasa lebih baik dari Hana? Tentu tidak. Sherin sadar betul, kok. Sekurang-kurangnya kekurangan Hana, jelas tetap lebih kurang kekurangannya Sherin. Fakta tadi tidaklah mengubah nasib Sherin yang masih menduduki peringkat lima besar dari bawah. Jadi, setelah mengetahui bahwa Hana bukanlah golongan alien dari Cincin Saturnus yang program otaknya sudah didesain sedemikian rupa ... Sherin akhirnya sadar bahwa segala label di dunia ini memang tidak ada yang mutlak statusnya.
Hidup itu dinamis dan berkelindan. Gurat alurnya sudah seperti benang kusut yang terjalin rumit. Rasanya sayang sekali jika Sherin hanya berfokus pada nasib buriknya di tengah segala perputaran kehidupan yang teramat cepat begini.
Sherin bisa, kok, berubah dan meningkatkan value diri! Sherin bisa! Hanya perlu lebih banyak mencoba. Coba jalan ini, coba jalan itu ... kalaupun tak kunjung sampai pada tujuan, setidaknya Sherin mendapatkan pemandangan di sepanjang jalan, daripada hanya diam di tempat dan sibuk menyalahkan kejamnya takdir yang diguratkan untuknya.
"Baik. Segitu aja materi yang bisa Kakak sampaikan untuk pembahasan enzim pada pertemuan kita kali ini. Sebelum kelas ditutup, ada yang mau teman-teman tanyakan, enggak?"
Cukup memalukan, tetapi patut Sherin sombongkan sebagai pencapaian terbesar sepanjang hidupnya ... Sherin kini mulai membangun hubungan yang cukup baik dengan orang-orang di lingkungan les maupun sekolah! Meski begitu, hal yang paling tidak terduga adalah betapa signifikannya proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang Sherin terima dari teman di tempat bimbingan belajarnya. Iya, di JAMAL alias Juara Ambis Maksimal! Tentunya bareng Hana yang memang termasuk ke dalam kategori pribadi terbuka untuk menjalin relasi dengan siapa saja.
Jangan salah! Overthinking masih sering nongol-nongol enggak jelas di kepala Sherin. Resah-resah itu belum bisa Sherin buang dari dalam dirinya. Meski begitu, beberapa hari belakangan ini ... Sherin mulai berusaha aktif di kelas. Tangan kanannya teracung dengan ragu. Semua mata teralihkan padanya hingga Kakak Tutor pun bersuara. "Oh, ya! Sherin, ya? Kenapa, Sherin? Ada yang mau kamu sampaikan?"
Aduh! Gimana, nih? Yakin mau nanya? Gimana kalau pertanyaannya un-faedah dan malah malu-maluin diri sendiri? Diketawain orang? Sherin meneguk ludah susah payah, berusaha membasahi tenggorokannya yang mendadak kering kerontang macam tak mandi berjuta abad. Satu lagi yang Sherin coba biasakan akhir-akhir ini: jadi pribadi yang lrbih impulsif! Enggak yakin sama pertanyaan yang mau diajukan? Enggak nyiapin pertanyaannya dari semalam? Halah! Skip! Yang penting, ngacung aja dulu! Soalnya, kalau udah ngacung, mau separah apa pun overthinking-nya kumat ... Sherin enggak akan membatalkan niatnya karena lebih malu lagi kalau dia tiba-tiba enggak jadi nanya. Iya, enggak, sih?
Oleh karena itu, Sherin sedang coba-coba beragam metode yang bisa mengatasi segala permasalahannya. Gugup? Oke, enggak apa-apa. Cukup ciptakan jeda beberapa saat. Satu ... dua ... tiga ... berapa detik pun yang Sherin butuhkan untuk sekadar menghela napas dan membayangkan deret kosa kata yang hendak digunakan. Di saat napasnya berlangsung normal dan Sherin berhasil menggenggam erat kendali tubuhnya sendiri, Sherin berdeham singkat. "Anu, Kak. Katanya, kan, aktivitas enzim itu dipengaruhi suhu, ya. Nah, apa hubungannya, sih, Kak? Kok, bisa? Dan lagi, enzim itu menerima suhunya dari mana?"
Satu detik sejak bibirnya mengatup, Sherin langsung mengembuskan napas lega. Yeay! Satu pertanyaan berhasil ia ajukan hari ini. Bersama kurikulum Lord si Najis Algis yang program-programnya begitu rajin bikin Sherin vertigo, anak perempuan itu memutuskan untuk menargetkan minimal bisa satu kali angkat suara—entah itu bertanya atau menjawab pertanyaan—di setiap pertemuan kelas bimbelnya. Semua berawal dari pembiasaan yang dipaksa-paksakan. Target Sherin lainnya, di akhir ujian semester ini, Sherin harus mulai PDKT dengan musuh abadinya di sekolah: Bu Rika dan biologi.
Betul! Kehidupan Sherin di lingkungan tempat les JAMAL sudah mulai bisa dikatakan sebagai zona aman. Pertemanannya sehat. Tutornya interaktif. Atmosfer yang dibangun pun teramat nyaman untuk mempelajari hal-hal baru. Walau masih punya trauma, Sherin akhirnya sadar bahwa di kelas bimbelnya ini tidak mengenal cemoohan maupun tertawaan. Tutornya bahkan bilang bahwa di dunia ini, enggak ada satu pun pertanyaan bodoh, yang bodoh adalah mereka yang tak pernah mau bertanya dan mencari jawaban.
Sherin tahu, mayoritas penduduk les JAMAL masihlah mereka-mereka yang ada di SMANDATAS. Akan tetapi, Sherin rasa, mereka bisa bertindak profesional. Di kelas XII MIPA-4, mereka bisa menertawakan jawaban ngawur Sherin habis-habisan. Tapi di kelas bimbel, meski warganya masih mereka-mereka juga ... Sherin tak mendapatkan perilaku tersebut sama sekali. Mungkin ini berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan kebudayaan penduduk JAMAL. Respect!
Segala kedinamisan pasang-surut jatuh-bangun terang-gelap dan kelok-kelok persimpangan di kehidupan ini sukses mengalihkan dunia Sherin seutuhnya. Lho, sensasi macam apa, ya, ini? Kok, Sherin jadi lebih betah bertahan di keramaian? Kok, Sherin mengalami fase malas pulang karena masih pengin menghirup oksigen di habitat JAMAL yang sebenarnya sumpek-sumpek aja? Kok, Sherin jadi ketagihan menantang diri dengan ngacung-ngacung seenaknya ketika ada sesuatu yang belum Sherin pahami?
Dan hal yang paling anehnya adalah ... kok, Sherin merasa jalannya ini jauh lebih menyenangkan dari jalan ninjanya sewaktu masih jadi manusia nolep, ya?
Lho, lho, lho ... emang boleh realitas seseru ini?
Saking serunya kehidupan nyata, Sherin baru teringat dengan dunia MaFiKiBi Society ketika tugas Bahasa Indonesia selesai ia kerjakan dan Sherin sudah bersiap untuk tidur. Ah ... Sherin memang masih suka transmigrasi ke jiwa Bintang setiap kali terlelap. Sejauh ini, alurnya masih menyoroti keseruan berbagi ilmu dengan teman sekelas. Kok, konfliknya belum ketemu juga, ya? Sebelah mana?
Takut ada yang terlewatkan, akhirnya Sherin memilih menghabiskan malam Senin dengan baca kelanjutan cerita MS. Sekitar 70 menit Sherin habiskan hanya untuk lanjut membaca dari bab sebelas hingga tiga belas. Membacanya tak pernah mencapai lebih dari lima belas menit setiap babnya, tetapi kali ini ... Sherin tak henti terdistraksi dengan lamunan-lamunan panjang.
Kemarin-kemarin, ketika berperan sebagai Bintang, Sherin selalu membantu temannya yang kesulitan dalam mengerjakan tugas ataupun sekadar memahami pembelajaran. Semua itu tentu Sherin lakukan karena posisi Sherin di dunia nyata sedang ingin-inginnya membangun hubungan pertemanan yang baik dengan sesama. Sayangnya, ketika Sherin membaca karya wanderspace_ di dunia oranye itu ....
"Lho! Kok, beda?"
Bintang asli di novelnya justru bersikukuh memarahi Mat yang terlalu baik hingga tak berani mengabaikan permintaan orang lain. Semua tindakan Sherin berbanding terbalik dengan yang Bintang lakukan di novelnya.
Waduh ... apakah ini enggak akan jadi suatu masalah besar?
Sherin menyimpang dari karakter Bintang sampai sepekan lamanya.
Apakah semua akan baik-baik saja?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top