Tiga Puluh Sembilan
Aku tidak membawa banyak barang pribadi untuk diletakkan di ruangan baruku di kantor. Lebih ke persiapan mental saja. Memang tidak akan ada yang berani bicara di depanku, tetapi aku yakin hampir seisi gedungakan menggosipkan kedatanganku kembali ke tempat ini, lengkap dengan spekulasi versi mereka. Namun, itu belum seberapa jika dibandingkan dengan pergulatan emosi karena berada di tempat yang sama dengan Yudistira sepanjang hari.
Syukurlah dia sudah kembali ke rumahnya, sehingga aku tidak perlu bertemu dengan dia juga di rumah Ibu selepas kantor. Yudistira pulang ke rumahnya sehari setelah percakapan kami di meja makan saat membicarakan hasil tes kehamilan. Dan kabar bagusnya, tamu bulananku datang dua hari kemudian. Aku belum pernah sebahagia itu saat melihat noda di pakaian dalamku saat terbangun di subuh hari. Rasanya plong, seperti beban yang menghimpit dada yang membuatku sulit bernapas mendadak terangkat. Aku tidak perlu khawatir lagi dengan kemungkinan punya anak di luar nikah karena kesalahan yang kubuat dengan Yudistira.
Aku mengangkat kepala saat mendengar ketukan yang diikuti munculnya tubuh Shinta, sekretarisku, dari balik pintu yang terkuak. Senyumnya mengembang. "Ibu mau makan siang di luar, atau saya perlu pesan makanan untuk Ibu?"
Sudah lima hari aku masuk kantor, dan biasanya aku memang memintanya memesan makan siang untuk kumakan di ruangan. Ada begitu banyak fail yang harus dipelajari untuk mengetahui progres pekerjaan di divisi perencanaan, tempat Bapak menempatkanku sekarang.
"Hari ini biar saya makan di luar saja," kataku. Sepertinya aku butuh suasana yang berbeda. Tumpukan berkas lumayan membosankan setelah beberapa hari tanpa jeda. "Kamu boleh istirahat makan siang sekarang."
"Terima kasih, Bu." Shinta berbalik menuju pintu dan meninggalkan ruanganku.
Aku kemudian mengeluarkanpouchdari dalam tas, mengisinya dengan dompet dan ponsel sebelum ikut keluar. Aku bermaksud makan di salah satu restoran yang ada di bawah, jadi tidak perlu membawa tas kerja yang ukurannya lumayan besar.
Aku langsung menyesali pemilihan waktuku yang tidak tepat, saat melihat orang yang berdiri di depan lift khusus eksekutif yang kutuju. Padahal lima hari pertama di kantor awalnya sudah sangat bagus. Aku hanya bertemu Yudistira di hari pertama saat Bapak mengumpulkan para direktur untuk memperkenalkan aku, walaupun sebenarnya kegiatan itu tidak perlu, karena tidak ada orang baru yang belum aku kenal di antara semua orang yang hadir di situ.
Terlambat untuk berbalik karena ketukan sepatuku di lantai membuat ketiga orang yang ada di depan lift menoleh.
"Kay...!" Senyum Risyad yang ramah spontan mengembang. Dia mengulurkan tangan begitu aku sampai di depan mereka yang sudah sepenuhnya berbalik membelakangi lift. "Aku mau tanya gimana kabarmu, tapi lihat kamu makin cantik dan segar gini, aku tahu kamu pasti baik-baik saja. Selamat kembali ke Jakarta."
"Terima kasih." Aku membalas senyumnya sambil menjabat tangannya, berusaha untuk melihat ke arah Yudistira.
"Mau keluar makan juga? Kalau gitu bareng aja," ajaknya enteng. "Aku mampir ke sini mau ngajak Yudis makan bareng, tapi katanya ada janji makan siang yang lain sama Jerry." Risyad menunjuk asisten Yudistira yang ada di situ bersama mereka.
"Kay biasanya makan di kantor," Yudistira mendahuluiku menjawab.
"Ya sudah, kalau gitu kita makan di gedung ini aja. Iya kan, Kay?"
"Yang gue maksud di kantor itu, di ruangannya. Kenapa lo nggak gabung sama gue aja?"
"Makan sama kolega lo? Makasih, tapi nggak usah. Kayak gue kurang kerjaan aja. Lagian, yang gue ajak itu Kay, bukan lo yang harusnya jawab."
Risyad benar, bukan Yudistira yang harus membuat keputusan untukku. Aku tidak suka caranya menjawab mewakili aku, seolah dia berhak melakukannya. "Aku mau makan soto ayam di bawah. Kalau kamu juga suka, kita bisa makan sama-sama." Biasanya aku tidak makan siang dengan orang yang belum aku kenal baik kalau tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Aku sudah kenal Risyad karena dia pernah ke Malino, tapi hubungan kami tidak seakrab itu. Kurasa aku mau makan bersamanya untuk menunjukkan kepada Yudistira kalau aku tidak harus melakukan apa yang dia katakan.
"Wah, kebetulan aku sudah lama nggak makan soto ayam," sambut Risyad. Senyumnya makin lebar.
"Pak, liftnya...." Jerry rupaya sudah berada di dalam lift yang terbuka dan menahannya untuk kami. Aku mendahului Yudistira dan Risyad masuk, langsung menuju bagian belakang untuk bersandar. "Di lantai 5, Bu?" Jerry menekan angka 5 saat aku mengangguk.
"Jangan lupa, lusa kita ngumpul di tempat Tanto," kata Risyad kepada Yudistira. "Lo kadang-kadang suka sok sibuk dan nggak muncul di grup."
"Gue beneran sibuk!"
"Nggak udah ngegas gitu. Kita semua juga punya kerjaan, tapi masih bisa mantengin grup. Baca pesan di grup itu nggak sesulit ikut triatlon sih."
Aku mendesah sebal. Seandainya saja aku keluar ruangan sepuluh menit lebih awal, atau lima menit lebih lama, aku tidak akan terjebak di di lift ini bersama Yudistira dan sahabatnya.
Untunglah aku tidak perlu menunggu terlalu lama untuk sampai di lantai lima. "Aku duluan," kataku setengah menggumam kepada Yudistira. Akan terlihat aneh di mata Risyad dan Jerry kalau kami tidak saling menegur.
"Oke," Yudistira menjawab pendek.
Aku tahu dia menjaga jarak denganku sejak kami sepakat untuk tidak membahas kemungkinan kami kembali bersama. Seharusnya itu membuatku lega, tetapi melihat sikapnya seperti ini kepadaku di depan orang lain rasanya menyebalkan. Maksudku, biasanya dia yang cerewet berbasa-basi, bukan sebaliknya membiarkan aku yang melakukannya.
"Jangan lupa lusa malam!" seru Risyad mengingatkan Yudistira sebelum menyusulku yang berjalan lebih dulu tanpa menoleh.
Aku tidak mendengar respons Yudistira.
"Kalau lagi kumat, dia biasanya memang nyebelin kayak gitu." Risyad terkekeh di sampingku. "Tapi kamu pasti lebih tahu. Jadi, kalian bertengkar?"
Aku menoleh untuk melihat wajah sahabat Yudistira itu. Pertanyaan itu di luar dugaanku. "Kenapa kamu menyangka kami bertengkar? Sikap nyebelin dia nggak harus ada hubungannya denganku, kan?"
"Aku hampir membeku di lift tadi karena sikap dingin kalian. Nggak sulit untuk baca situasinya."
"Kami nggak bertengkar." Aku ingin menutup percakapan tentang Yudistira. Apa gunanya membahas laki-laki itu dengan sahabatnya?
"Dia hanya ngambek karena nggak berhasil mendapatkan keinginannya?" Risyad sepertinya masih ingin melanjutkan pembahasan tentang Yudistira. "Dia ketebak banget sih. Tapi biarpun kadang nyebelin, dia salah satu orang paling baik yang pernah aku kenal. Aku nggak mungkin betah bersahabat dengannya sejak SMP kalau dia nggak sebaik itu."
Semua sahabat akan mengatakan hal yang sama tentang sahabatnya. Aku juga akan menggambarkan Anira seperti itu. Jadi aku tidak menanggapi pernyataan Risyad.
"Kadang-kadang, orang menyangka masalah hidup mereka berat banget, tapi sebenarnya yang mereka butuhkan hanya duduk berdua dan saling mendengarkan."
"Dean dan Anira nggak pernah bilang kalau kamu psikolog," sindirku. "Aku pikir kamu pengusaha."
Risyad tertawa lagi. "Sebenarnya dulu aku pengin jadi psikiater, tapi sekolah kedokteran kayaknya nggak bisa ditinggal bolos kalau lagi malas, jadi aku harus puas dengan sekolah bisnis. Tapi, mungkin karena obsesi, masalah orang lain selalu menarik untukku. Apalagi kalau itu melibatkan sahabatku."
"Aku nggak punya masalah dengan Yudis," bantahku defensif.
"Kalau begitu, dia yang punya masalah dengan kamu. Masalah itu kan kadang-kadang tergantung dari sudut pandang saja. Hal yang bagi kita bukan masalah, malah dianggap masalah oleh orang lain. Begitu juga sebaliknya."
"Bisa kita nggak usah membahas Yudis, kan?" aku terpaksa berterus-terang, karena Risyad mengabaikan niatku berhenti membicarakan Yudistira.
"Padahal aku masih bersemangat membahasnya. Tapi kalau kamu lebih suka kita ngomongin soto ayam, aku bisa apa?"
Selepas makan siang, aku kembali terkurung di ruanganku sampai jam kantor selesai. Aku sedang meraih tas, bersiap pulang saat pintuku diketuk.
"Pulang sekarang?" Yudistira muncul dari balik pintu.
"Ya...?" Pertanyaan aneh karena sudah dua minggu dia tidak pulang ke rumah orangtuanya lagi selepas kantor. Minggu lalu dia hanya datang sebentar untuk menjenguk Ibu. Kami tidak bertemu karena aku memilih tinggal di kamar begitu mendengar suaranya.
"Pak Mus sudah aku suruh pulang duluan tadi, karena kita akan pulang bareng."
"Kamu nggak pulang ke rumahmu?" tanyaku heran.
"Rumah Ibu itu ya rumahku juga," gerutu Yudistira.
Aku nyaris memutar bola mata. "Kamu tahu apa maksudku."
"Malam ini aku pulang ke rumah Ibu. Besok Ibu mau ke rumah sakit pagi-pagi, kan? Lebih baik nginap di sana biar nggak repot."
Besok Ibu memang dijadwalkan untuk kemoterapi.
Aku memilih tidak menjawab dan keluar ruangan melalui pintu yang Yudistira buka untukku. Dia kemudian menyusul di belakangku setelah menutup pintu.
Perjalanan menuju rumah kami lalui dalam diam. Rasanya sedikit aneh setelah terbiasa dengan kecerewetan dan sikap lebaynya. Sikap seperti ini mengingatkanku pada tegangnya hubungan kami setelah aku mendengarkan percakapan teleponnya dengan Ibu beberapa tahun lalu.
"Tadi ngobrol apa dengan Risyad?" Yudistira akhirnya memecah kebisuan. Aku pikir dia benar-benar akan diam sampai di rumah.
"Dia ternyata nggak terlalu suka soto ayam." Aku menghindar menjawab langsung, meskipun percakapanku dengan Risyad hanya berisi hal remeh yang tidak penting.
Yudistira berdecak. "Aku tahu. Dia bilang mau makan soto hanya supaya bisa makan bareng kamu. Licik dia."
"Sekarang aku tahu mengapa kalian bisa bersahabat."
"Sesama orang licik ya?" Nada senyum dalam suaranya membuatku menoleh untuk melihat Yudistira. Dia memang tersenyum. Ekspresi itu jauh lebih baik daripada wajah masamnya. "Tapi licik itu nggak selalu berarti jahat, Kay."
"Pelajaran bahasa Indonesia kamu waktu sekolah pasti nggak terlalu bagus. Semua sinonim kata licik itu maknanya negatif."
"Masa sih?"
Kali ini ganti aku berdecak. "Mau aku bacain artinya menurut KBBI?"
"KBBI itu apa? Komisi Bokep Bangsa Indonesia?"
"Nggak lucu!"
"Kamu sih tegang banget."
"Bukannya kamu yang tegang?" balasku sebal.
"Kok kamu tahu? Kelihatan ya? Padahal aku kan pakai pantalon gini. Iya, dekat-dekat kamu bawaannya tegang aja."
Aku melengos. Baiklah, pernyataanku kalau ekspresi jailnya lebih baik, aku tarik kembali. Aku lebih memilih berhadapan dengan tampang masam daripada harus melayani percakapan mesumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top