6) Desa Penyihir

Orang itu.

Ia memandu kami melalui jalan setapak. Topi lebar yang dipakai menyembunyikan sebagian wajahnya itu sendiri tidak indah atau sebaliknya; hanya topi biasa. Tetapi memakai topi semencolok itu di kerajaan ...

Aku menyenggol Erran.

Erran menoleh, dengan wajah mengkerut karena pertanyaan yang sama sudah kuulang dari tadi, "Iya, dia yang waktu itu keluar dari ruangan pertemuan Kakak, Aku belum pikun, tahu!"

"Maksudku, wajahnya sedikit ... berbeda," aku mengerling ke depan, di mana orang yang kumaksud nampak lebih fokus ke jalan daripada kami, "bagaimana kau bisa menemukannya?"

Erran melipat tangan di belakang kepala, mengalihkan pandangan ke hutan yang menemani kami. Matanya bergerak gelisah, tetapi ia menutupinya dengan siulan.

"Dia yang menemukanku ..." Katanya ketus beberapa saat kemudian.

Aku kembali melirik pergerakan pria itu. Tidak aneh atau sejenisnya, hanya, mengapa? Dan bagaimana wajahnya bisa berubah?

"Sebentar lagi kita sampai, apa kalian sudah lelah?" ia menoleh, memamerkan senyum. Senyuman yang membuatku bergidik.

Aku menggeleng, mengusir pemikiran barusan untuk kembali menghadapi pria itu.

"Lagian, kenapa harus di hutan?"

Belum sempat membuka mulut, Erran sudah duluan menyerocos. Aku menarik napas samar. Ingin rasanya membungkam mulut itu. Kenapa dia bisa sesantai itu?

Tapi, kalau Erran benar-benar tidak khawatir, apa aku yang terlalu berlebihan?

Tidak, tidak ada salahnya. Dia memang kurang ajar, dan tak seharusnya begitu.

"Ngomong-ngomong, soal ... yang terjadi di tengah desa ..."

Aku sengaja menahan kata. Senyum di wajah pria itu mendatar. Tatapannya yang penuh kehidupan, kini mulai dikosongkan oleh pikiran. Mata kosong itu, sempat menerawang jauh, sebelum ia kembali sadar.

"Bukan. Bukan siapa-siapa," katanya, seraya berbalik, kembali menatap ke depan.

Eh? Bulu kudukku berdiri. Sesuatu mengingatkan, akan bau besi berkarat dan udara gelap nan pekat; dan sebelum mengingat apa yang sebelumnya terjadi, aku menekan perasaan dan perutku.

"Mereka tidak tahu cara membedakan, mana penyihir dan bukan, jadi sepertinya itu alasan kalian masih aman di panti. Anak bukan siapa-siapa itu."

Aman?

"Anak itu ... ia tinggal di depan panti." Ada gerakan menunduk samar dari sang pria, seolah sesuatu mulai bertumpuk di kepala. Perkataan tadi sudah membungkam mulutnya sendiri.

"T-tunggu, aku tidak mengerti."

Langkah pria itu melaju, tetap tidak ada jawaban. Ia berusaha terus berjalan, tanpa berhenti. Semakin detik berlalu, semakin aku merasakannya. Kami mendekati sesuatu, yang kokoh seperti benteng.

"Kalian akan mengerti."

**Magus**Mythos**

Kami sampai di ujung hutan. Semakin mengikuti pria ini, aku semakin tidak mengerti. Tetapi sekarang adalah hal yang paling tidak masuk akal. Alih-alih sebuah tempat, kami berdiri di depan sebuah dinding alam, pepohonan yang berdempet seakan tak bercelah.

Saat hendak kutanyai, pria itu malah maju.

Mungkin karena lelah atau bagaimana, Aku tidak bisa mempercayai apa yang kulihat.

Awalnya, pria itu hanya meraba-raba permukaan pohon dan berhenti sebentar. Pertama-tama tangannya, lalu diikuti tubuhnya yang lain. Dan proses itu diakhiri dengan bunyi plop singkat. Kemudian, ia masuk begitu saja, seolah dunia merampas potongan gambar dari mataku.

Aku menahan napas, merentangkan tangan untuk mendorong Erran mundur. Tetapi anak itu berjingkat setelah berteriak "Keren!", kemudian melesat mengikuti jejak pria itu.

"Er-" plop!

Aku yang terlalu terpaku tidak sempat menariknya dan terlambat.

Tubuh Erran ditelan begitu ia melompat ke pohon. Aku melesat, menuju tempat di mana Erran dan pria itu diserap: sebuah batang pohon tua. Beberapa kali menghisab, tidak ada yang aneh. Saat disentuh pun, aku tidak menyentuh sebuah permukaan air di mana seseorang mencelup masuk begitu saja. Ini cuma batang pohon.

Berapa kali pun memukul, menendang, tidak ada yang berubah. Pukulan dan tendanganku makin liar. Sejak kapan napasku berubah sesak? Aku tak tahu.

"Tidak, tidak! Erran!"

Aku memukul pohon itu lebih keras. Tidak berhasil, tanganku yang kena getahnya. Aku menarik kembali kepalanku begitu ada rasa nyeri yang menusuk.

Aku menghela napas kasar. Sejujurnya, napasku masih setengah terburu. Tetapi, rasanya tidak berguna jika terus memukuli pohon ini.

Pasti ada cara. Sesuatu yang Erran bisa lakukan dengan ceroboh. Sesuatu tentang mulutnya yang masih blak-blakan, padahal kita dipandu oleh orang asing dengan topi aneh.

Aku menghela, kali ini melunak. Jemariku menyentuh, melebar, hingga setiap bagian dari telapak menyentuh permukaan pohon. Aku memejam, berkonsentrasi dengan permukaan itu.

Kumohon. Melunaklah.

Semakin lama, permukaan kasar melempung. Tanganku, perlahan dan pasti, masuk makin dalam. Begitu membuka mata, tanganku masuk hampir sepergelangan tangan, dengan efek gelombang air yang menyebar dari tempat itu.

"Kak, apa yang kau tunggu!"

Suara Erran terasa bergelombang dari ujung. Aku tidak begitu ingin memasuki "air" ini; aku tidak tahu. Tetapi Erran di ujung sana, masih berbicara, dan hidup. Aku menelan ludah, mulai memasukkan tangan ke permukaan pohon. Sensasinya seperti yang diharapkan; terasa seperti mencelupkan tangan ke sungai yang mengalir. Dingin!

Dan sialnya, anak itu menarikku. Tangannya mencuat keluar, untuk menggenggam dan mulai menggaetku masuk dengan tiba-tiba.

"Kau ketinggalan banyak!"

Aku membuka mata, menahan napas sambil terus berdoa untuk keselamatanku. Awalnya, permukaan itu menyentuh hidungku, kemudian terus hingga seluruh wajah. aku mengabaikan perasaan menggigil yang kurasakan mulai melingkupi kepala, hingga tubuhku sepenuhnya. Aku tidak tahu apakah ada yang masuk, atau menyumbat, tapi aku mengharapkan sensasi tenggelam atau semacamnya. Jadi aku terus berkomat-kamit.

"Ey, kau bisa membuka matamu, dan apa-apaan wajah itu?"

Aku menggeleng.

"Astaga, kau bukan bayi, Elia! Lihatlah, kau akan menyesal kalau menyipit terus!"

Sepasang tangan Erran menyentuh pipiku.

Keteguhanku ciut. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Cahaya matahari yang pertama-tama menggodaku. Tetapi matahari yang cerah menarik kelopakku untuk lebih terbuka.

Di hadapanku, Erran menahan dengusan dengan mulutnya, sementara pria bertopi lebar tersenyum tipis di belakang. Di balik itu, ada satu titik kecil di balik perbukitan; desa di bawah sana, serta pemandangan nan megah di belakangnya. Sebuah desa yang dikelilingi perbukitan.

Erran melepaskan pegangan, dan memberi aba-aba dengan alisnya untuk berdiri. Kami berjejeran, menatap pemandangan di bawah.

"Elina, Erran, Selamat datang di desa penyihir."

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Waaaaaa, akhirnya apdet ಥ‿ಥ

Terima kasih bagi pembaca yang sudah mengingatkan saya. Mohon maaf harus semi-hiatus karena kesibukan kulyah ( ;∀;)
Tapi karena MM sudah punya kerangka, author ini akan berusaha menyelesaikannya!!! Yeahhh!!!

Stay tuned dan tetap dukung dengan like, comment, and subscribe!

Eh, salah.

Vote, comment, dan follow!

Ciao ( ╹▽╹ )

Menghisab: menghitung, membilang; memeriksa; memedulikan

Kamis, 9 Desember, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top