11. NOT THIS CONVERSATION, AGAIN!
LUCIFER'S POV
"Dia benar-benar membuatku penasaran. Dia tidak terpengaruh dengan inner Devil-ku. Venus Morningstar. Lihat, namanya saja seperti seseorang yang sangat memuja diriku." Aku mengatakannya pada pria di depanku.
"Kenapa dia tidak mencariku?" tanyaku dengan kesal.
Aku mengadakan pesta lagi di apartemen. Para tamuku sedang bersenang-senang di setiap sudut apartemenku. Tapi tentu tidak dengan ruangan tidurku di atas. Aku tidak pernah membolehkan tamu-tamuku naik ke atas. Kecuali, Venus waktu itu. Aku tidak tahu mengapa. Tapi aku seperti merasakan bahwa aku dan Venus sudah kenal sejak lama.
"Kenapa Venus tidak mencariku?" tanyaku lagi.
Pria yang duduk di depanku menatapku dengan bingung. "Kenapa aku duduk di sini?" tanya pria itu.
"Karena kau harus mendengarkanku," kataku kesal.
"Ya, tapi kenapa aku mau?" tanyanya lagi, bingung.
"Karena aku mempengaruhimu agar mau mendengarkanku, dasar bodoh," jawabku.
Pria itu masih tidak mengerti juga, tapi akhirnya dia menghembuskan napas panjang. "Man, kau punya masalah dengan wanita," kata pria itu akhirnya.
Aku menoleh ke arahnya dengan serius. "Maksudmu?" tanyaku.
"Kau merindukan wanita itu," jawabnya.
Aku terkekeh. "Aku tidak pernah merindukan siapapun, apalagi seorang wanita. Benar-benar bodoh," kataku sambil meminum minuman beralkohol di gelas.
"Kau jelas merindukannya. Aku beri tahu tanda-tanda saat seseorang sedang rindu." Pria itu memposisikan tubuhnya ke arahku. "Pertama, dia terus memikirkan orang itu. Kedua, tanpa sadar kau terlalu banyak membicarakan orang itu. Ketiga, kau selalu menghubungkan kejadian apapun dengan kejadian yang orang itu lakukan."
Aku memahami kata-kata pria itu. "Apa aku mendapatkan tanda-tanda itu?" tanyaku lagi.
"Ya, kau menunjukkan salah satunya, atau mungkin ketiganya."
Aku menatap pria itu lekat-lekat. "Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Temui dia," jawabnya singkat.
Pria itu ada benarnya. Lagipula aku sudah tahu alamat rumah Venus, jadi aku bisa langsung menemuinya.
Sebelum pergi, aku menepuk pundak pria itu. "Terima kasih, man," kataku dan menghilang begitu saja.
Sekarang, aku berada di depan rumah Venus. Kemudian, menekan tombol pintu. Kali ini aku akan bertamu selayaknya seorang tamu.
Saat pintu terbuka, Venus berdiri sambil menggendong seorang bayi.
"Venus," gumamku. "Kau punya anak?" tanyaku terkejut.
Venus menatapku datar. Dia mungkin masih kesal dengan perkataanku. "Ya," jawabnya dan menutup pintu di depanku.
Aku tidak diam saja. Aku masuk ke dalam dengan kekuatan teleportasiku yang menggunakan sayap.
Venus baru saja berbalik dari pintu dan dia terkejut saat melihatku berada di depannya lagi.
"Kau harus berhenti menggunakan sayapmu untuk masuk ke rumah orang tanpa izin," kata Venus yang kemudian berjalan melewatiku begitu saja.
"Aku hanya ingin meminta maaf," kataku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus minta maaf. Atau kenapa mulutku mengeluarkan kata-kata itu.
Venus melirik ke arahku. Seperti menimbang-nimbang untuk memaafkanku atau mendengarkanku. "Untuk apa?" tanyanya.
"Untuk semuanya. Untuk saudaraku yang brengsek karena mengubah takdirmu. Untuk—" Aku berhenti. "Diriku yang menjadi menyebalkan."
Sekarang, Venus benar-benar tertarik dengan perkataanku. "Maksudmu, untuk mengatakan bahwa manusia lemah dan kenapa kau membenci God, karena dia menciptakan kami?"
Ah, jangan masalah ini lagi. Aku tidak suka membahasnya. Sebenarnya, itu yang ingin aku katakan. Tapi justru, aku lebih memilih mengatakan hal lain. "Aku rasa," jawabku ragu.
Venus kemudian berjalan melewatiku tanpa mengatakan apa-apa. Aku benar-benar tidak mengerti. Maksudku, apa dia memaafkanku? Atau dia masih tetap marah?
"Jadi?" tanyaku sambil mengikuti Venus yang berjalan menuju tangga.
"Jadi apa? Kita memang tidak ada hubungan apa-apa, kan?" tanpa menunggu jawaban dariku, Venus berbelok ke koridor di sebelah kanannnya.
Sekarang, aku berdiri di depan tangga, menunggu Venus. Atau sebaiknya aku mengikutinya naik ke atas.
Venus kembali setelahnya, kali ini tanpa bayi yang tadi di gendongnya. Dia kemudian berhenti di depanku, masih satu tangga lagi sebelum mencapai lantai bawah, membuat tingginya, menyamai tinggiku. "Aku memaafkanmu. Apa hanya itu yang ingin kau dengar dariku?" tanyanya.
Pertanyaan itu seolah menjebakku. "Entahlah. Mungkin sebuah pelukan," jawabku. Mencari jawaban yang aman.
Venus kemudian memelukku. Tangannya mengalungkan leherku. Membuat jarak di antara kami tidak ada sama sekali. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang sangat cepat. Dan aroma tubuhnya yang berbau seperti sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tidak sewangi bau di surga, tapi harumnya lebih baik dari itu. Membuatku tenang.
Untuk beberapa detik, aku merasakan sensasi yang aneh. Kemudian saat Venus melepaskan pelukannya, dia tersenyum.
"Sudah? Sekarang kau bisa pulang," katanya.
Sekarang aku jadi bingung. Dia menginginkanku pulang setelah memelukku? Apa maksudnya itu?
Venus berjalan menuju dapur tanpa mengatakan apa-apa. Aku mengekor di belakangnya. Masih bingung kenapa dia menginkanku pergi.
"Jadi, siapa ayahnya?" tanyaku. Masih penasaran dengan anak bayi yang digendongnya.
Venus tertawa. "Kau benar-benar percaya itu anakku?" tanyanya sambil menatapku. Kemudian ekspresinya berubah setelah melihat ekspresiku yang tidak main-main. "Ya, ampun. Orang-orang berani membayar mahal untuk mendengar ceritaku mengenai Lucifer The Devil."
"Jawab saja pertanyaanku!" perintahku dengan nada yang hampir meninggi.
Venus menatapku datar. "Bukan. Dia bukan anakku, Lucifer. Kau puas?"
Aku tidak menjawab Venus. Tapi jelas, aku sungguh lega mendengarnya. Tentu saja. Coba bayangkan, memiliki seorang anak kecil itu memusingkan. Manusia dewasa saja sudah sangat menyusahkan, apalagi seorang anak kecil. Mereka menggekait-geliat dan menangis saat menginginkan sesuatu dan sama sekali tidak mengerti perkataannya. Seharusnya mereka yang disebut dengan Little Monster.
"Kenapa kau tidak mencariku?" tanyaku kemudian.
Venus membuka kulkas sambil mencari-cari sesuatu di dalamnya. Dia bergumam sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Sekarang, aku berdiri di kusen pintu sambil mengamatinya. Venus kemudian berbalik dengan sekaleng soda di tangannya. Lalu bersandar di tempat cuci piring.
"Mencarimu untuk apa?" tanyanya balik. Nadanya terdengar santai. Dia kemudian membuka sodanya dan meneguknya.
"Because, I'm the bad one." Aku mengatakannya dengan nada percaya diri. "Maksudku, aku yang membuat orang-orang itu menderita."
Venus tersedak. Dia memuntahkan sebagian sodanya di mulut. "What?" katanya terkejut. "Maksudmu, yang membuat orang-orang jadi gila, mengeluarkan darah di mata, sampai tidak bisa bergerak, itu semua ulahmu?"
"Tentu saja. Aku melakukan itu untukmu."
Venus meletakkan kaleng sodanya di meja dengan kasar. "Untukku?" tanyanya marah.
"Ya. Kau bilang tidak akan menemuiku lagi, jadi aku melakukan itu agar kau mencariku. Ditambah lagi, aku suka melakukan sedikit kekacauan." Aku menyeringai.
Venus membelalakan mata tidak percaya. "Aku kira kau benar-benar sepeti orang polos yang tidak tahu sama sekali mengenai bagaimana hidup di kota. Tapi ternyata aku salah, kau lebih jahat dari yang aku duga. Aku lupa, karena kau The Devil."
Aku terdiam. Hampir tidak mengerti sama sekali ucapan Venus. Tapi akhirnya aku mengerti. "Aku memang jahat. Ayahku yang menciptakanku seperti ini. Bukan karena kemauanku," kataku kesal.
Belum ada manusia yang pernah membuatku kesal, marah. Apalagi, hanya karena omongannya.
Venus memutar bola matanya. "Kita diciptakan untuk menjadi diri kita sendiri. Tuhan memberikan pilihan untuk menjadi seperti apa diri kita. Jadi kau tidak bisa menyalahkanNya. Kau sendiri yang menentukan pilihan untuk menjadi apa."
Sekarang, dia membela Ayahku. Benar-benar tidak bisa dipercaya. "Ternyata memang benar. Manusia itu memang ciptaan yang paling lemah. Bahkan pertahanan terakhirnya hanya bisa menggunakan kata-kata," cemoohku. Perkataan yang tidak bisa aku tahan lagi akhirnya keluar juga.
Venus tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya diam sambil memandangiku kesal. Kemudian, akhirnya dia mengatakan kalimat yang membuatku benar-benar marah.
"Kau memang lebih baik tinggal di neraka, kau pantas mendapatkan itu. Dan Tuhan juga tahu bahwa kau pantas mendapatkan itu."
Amarahku memuncak, seolah api telah membakarnya dan siap untuk meledak. Mata merahku menatap Venus dengam tajam dan dingin. Aku benar-benar ingin menghantamnya dan membuat kulit indahnya berdarah.
"Apa? Kau mau membunuhku? Melakukan hal seperti yang kau lakukan pada orang-orang itu? Silahkan. Aku siap untuk mati. Lagipula, aku tidak memiliki apapun di dunia ini selain kesengsaraan. Setidaknya, jika aku mati, aku bisa bertemu Ibuku."
Perkataan itu justru membuatku mereda. Seperti keran air yang tiba-tiba ditutup dan membuat aliran airnya tidak mengalir lagi. Akhirnya, aku hanya meninggalkannya di ruangan penuh emosi itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top