Fram Skydiver
Setelah lelaki ganteng itu memberikan kata sambutan selamat datang, dia berjalan melewati Sari.
Sari tercengang di pintu gerbang utara Everlude, memandangi kota ini sebenar-benarnya. Kota ini dipenuhi bangunan tinggi menyerupai gedung. Bahan dari bangunan-bangunan itu adalah bebatuan yang telah dipotong menjadi kubus-kubus besar yang rapi kemudian direkatkan dengan tanah liat. Tinggi dari masing-masing bangunan itu rata-rata mencapai lima meter. Sesekali di tepi jalan terlihat ada pohon palma yang ujung dedaunannya bergoyang malas tertiup angin kering.
Sari menyeka keringatnya yang membanjir, cuaca di sini benar-benar berbeda dari Ogliolio yang basah dan lembab. Di Everlude matahari bersinar dengan arogan, angin kering kadang bercampur debu berembus sepanjang jalan. Mungkin itu sebabnya beberapa pengelana menutupi bagian bawah wajah mereka dengan syal atau balaclava.
Di kejauhan, Sari melihat ada dua orang sedang bertengkar lagi. Kali ini mereka tidak menggunakan senjata, tapi mengeluarkan bola api dari tongkat sihir mereka. Akibatnya malah terjadi ledakan yang menerbangkan tanah ke sekitar mereka. Pengelana yang kebetulan melewati dua penyihir itu berjalan santai saja, namun terlihat seperti ada selubung lingkaran yang tak kasat mata melindungi tubuh mereka dari debu maupun api.
Sari benar-benar butuh penjelasan. Dia mencari-cari pemuda ganteng yang sejak tadi sibuk mencegahnya terlibat dalam pertengkaran dan menemukannya hendak masuk ke dalam kerumunan. Cepat saja dia mengejar pemuda itu dan menariknya agar berhenti berjalan.
Begitu tangan Sari menyentuh lengan pemuda itu, si pemuda itu langsung menepiskan sikutnya sehingga tinju tangannya mengenai pipi Sari.
"Aduh!!" jerit Sari, terkena pukulan refleks tersebut, namun tidak sampai membuatnya melepaskan lengan pemuda itu.
"Oh, kau," kedua mata pemuda itu membesar karena dia tidak mengira Sari yang mengejarnya.
"Uh! Kau kasar sekali pada perempuan sih?" keluh Sari.
Dengan ramah pemuda itu berkata, "maaf, aku tidak bermaksud. Kau pasti sudah lihat sendiri, kan? Di kota ini semua orang berkelahi dengan bebas di jalanan dan tidak ada yang ikut campur. Aku juga, pasti ada orang yang ingin mencari masalah denganku jadi tanganku sudah refleks untuk berbuat demikian."
"Itu dia yang ingin kutanyakan, kenapa semua orang di sini berkelahi seperti itu? Apakah di tempat ini tidak ada hukum?" tanya Sari, pipinya memerah setelah terkena tonjok.
"Tidak ada," jawab pemuda itu dengan mudahnya, dengan santainya, seakan itu hal lumrah dan bukan masalah besar.
"Kau gila! Lalu bagaimana kalau kalian mendirikan rumah di tanah orang lain? Dibiarkan saja, begitu?"
"Kalau yang merebut lebih lemah, kau hajar saja sampai jera. Kalau lebih kuat terpaksa mengalah. Bila kau kesal, tinggal pasang bounty ke kepala si sialan itu," jawab si Ganteng dengan wajar.
"Hah? Enak sekali kau bilang begitu! Apa di sini tidak ada yang menghargai nyawa seseorang atau harta milik orang lain?"
Pemuda Ganteng itu tertawa, "non, ini Everlude. Di sini, kau sendirian."
Sendirian. Sari mencoba untuk menghayati kata-kata itu dengan baik. Di kota yang isinya para pembunuh ini, nyawa tidak ada harganya sama sekali. Di sini tidak berbeda dengan taman kanak-kanak dimana setiap orang hanya melakukan apa yang mereka sukai. Taman kanak-kanak yang tidak punya guru atau kepala sekolah, dan isinya adalah anak-anak nakal. Anak-anak nakal itu membawa pedang sungguhan dan bisa menggunakan sihir.
Sari pun menyadarinya; Melody datang ke tempat ini. Dia pasti sangat ketakutan. Mendadak Sari menjadi cemas, bagaimana andai terjadi sesuatu pada Melody delapan bulan yang lalu?
Sesuatu yang berat dan mati dilemparkan dari jendela lantai dua bangunan di seberang mereka berdua. Sari terbelalak ketika menyadari bahwa benda itu adalah seongok tubuh manusia. Seorang lelaki tua bertubuh besar, dan dia sudah mati karena tubuhnya sudah kaku.
Ketika Sari menoleh ke atas, ke jendela tempat dimana tubuh itu dilemparkan, dia melihat ada dua lelaki sedang mengernyitkan wajah mereka, seakan mereka sangat jijik dengan bau mayat yang baru mereka lemparkan itu.
"Hei, Fram!" Panggil salah seorang lelaki yang melemparkan mayat itu kepada si lelaki Ganteng.
"Paman Joe," balas Fram, si Ganteng. "Ada orang mati lagi di indekostmu?"
"Iya begitulah. Dia datang seminggu lalu, bergabung dengan guild, lalu tidak pernah keluar kamar. Ternyata sudah jadi mayat dan baunya ke mana-mana, menyusahkan saja," gerutu Paman Joe.
"Ta-tapi kau tidak bisa membuangnya seperti sampah begitu!" seru Sari dengan lantang sambil menunjuk mayat itu. "Dia manusia, dia pasti punya keluarga yang mencintainya di rumah, dia pasti punya anak atau teman yang sedang menunggu kabar darinya!"
Sari tertegun atas dua hal, pertama, dia berbicara seperti Melody. Dia, si tomboy tak berperasaan di sisi Melody, ternyata masih punya hati bila berada di Everlude. Hal kedua adalah sesuatu yang membuatnya bergidik ngeri; bagaimana andai Melody ternyata bernasib seperti itu? Delapan bulan lalu Melody meninggal di sebuah indekost dan mayatnya dilempar keluar dari jendela seperti sampah.
Benar-benar tidak nyaman membayangkannya.
Paman Joe malah menyeringai lalu tertawa, dia berpangku tangan di tepi jendela dan menegur Fram lagi, "hehehe ... kau dapat darimana anak baru ini? Kuno sekali masih ngomongin soal kemanusiaan."
Fram hanya angkat bahu agar sebisa mungkin tidak menyinggung perasaan Sari dan Paman Joe.
"Kau didik dia dengan baik, ya? Nanti bisa mati dia sebelum gelap tiba, hahahaha!!" Paman Joe lalu menghilang ke dalam jendela, agaknya dia sibuk membersihkan kamarnya dari bau mayat agar ada orang baru yang masuk indekostnya bisa segera menempati kamar itu dan memberikannya uang setiap bulan.
"Kenapa dengan kota ini? Semuanya orang jahat. Apa kalian tidak takut terkena karma?" tanya Sari.
"Begini ya ..." Fram merangkul Sari dengan lembut, sambil membimbingnya berjalan meninggalkan Pintu Gerbang Utara. "Tempat ini dulu tidak ada. Hanya ada sebuah penginapan tempat para pengelana mampir untuk beristirahat. Suatu hari, mereka mengetahui bahwa penginapan tersebut sebenarnya hanya kamuflase untuk menyembunyikan kota sihir di bawah tanah. Sejak itu orang-orang berdatangan dan tinggal di sini untuk menambang. Maka dari itu bisa dibilang tempat ini sebenarnya daerah tak bertuan."
"Kau bercanda ..." Sari menepuk keningnya sendiri. "Ada yang aneh, kenapa tidak ada satupun yang memilih pemimpin atau pelindung? Dan bukankah tempat ini sudah dilindungi Granadia sejak beberapa puluh tahun lalu?"
"Mungkin karena penduduk Everlude lebih suka seperti ini sejak dulu; tak bertuan. Sedangkan Granadia, yah, mereka banyak membangun gedung-gedung "WAH!" di sini seperti kastil tersebut," Fram menunjuk bangunan seperti istana yang tinggi menjulang di kejauhan. Bangunan itu terletak persis di tengah-tengah Everlude. "Dan mereka juga membantu kita memperkuat fortifikasi gerbang selatan. Tapi selebihnya, kita tetap saja sendirian. Tidak ada hukum yang bisa berkuasa di tempat ini."
"Ngomong-ngomong kau membawaku ke mana?"
"Kamu tidak punya tujuan kan?" tanya Fram kembali, dijawab dengan gelengan kepala oleh Sari.
"Tinggal di indekostku saja," kata Fram.
"Oh, kau juga punya indekost?" tanya Sari.
"Perhatikan saja kanan dan kirimu, apa kau menyadari sesuatu?"
Sari memperhatikan sisi kanan dan kirinya dengan baik-baik. Ada restoran, bengkel pandai besi, tempat penjahit, tempat konsultasi, dojo, akademi beladiri, tapi selalu ada indekost. Pada setiap indekost, terdapat simbol-simbol berbeda satu sama lain yang sesuai dengan nama indekostnya.
"Oke, kenapa banyak sekali indekost?"
"Para pengelana tidak punya rumah, itu sebabnya mereka tinggal di indekost. Bisnis paling laku di Everlude ini adalah indekost. Awas ..." sambil bilang begitu, Fram menarik Sari dengan cepat, menghindari dua bilah panah yang melesat nyaris menembus kepala dan pinggang Sari. Gadis itu hampir copot jantungnya.
"Bagaimana kau bisa setanggap itu?" selama ini Sari merasa bahwa tidak ada orang yang punya refleks sebagus dirinya di hutan, tapi tadi dia bahkan tidak mendengar suara apapun yang melayang ke arahnya.
"Sudah biasa, mungkin," jawab pemuda itu dengan enteng.
Setelah mereka berjalan sebentar, mereka berpapasan dengan dua orang pengelana yang sedang berjalan bersama juga. Rupanya dari dalam jendela sebuah indekost melayanglah sebilah kampak dan menancap di salah satu pengelana di hadapan Sari dan Fram. Darah memuncrat dari pengelana yang langsung kehilangan nyawa itu, dan sahabatnya menjerit histeris. Setelah menjerit, pengelana yang satunya lagi menghunus pedang dan menyerbu indekost tersebut. Suara perkelahian terdengar semakin keras.
"Ini tanah orang gila!" Sari memelas.
"Jangan terlalu dipikirkan. Kalau kau sebentar-sebentar terusik dengan mereka, lama-lama bisa capek sendiri," kata Fram.
"Dan kau, apa yang bisa membuatku percaya kalau kau tidak seperti orang-orang haus darah itu?" tanya Sari.
"Terserah kamu," jawab Fram.
"Aduh..." sekali lagi Sari menepuk wajahnya sendiri. Sepertinya dia tidak punya pilihan selain mempercayai orang ini. Lagipula Fram adalah satu-satunya orang yang bisa diajaknya berbicara sejak tadi. Melihat wajah-wajah para pengelana itu saja Sari sudah mendapat kesan bahwa mereka tidak suka diganggu oleh orang asing.
"Kalau kamu maunya penginapan boleh saja sih," kata Fram.
Sari dibawa ke sebuah penginapan, tempat itu cukup luas dan nyaman, punya restoran dengan meja nyaris tiga puluh deret. Sore itu tempat ini sangat ramai, dipenuhi dengan para pengelana. Suara-suara orang berbicara penuh semangat, bercampur dengan bunyi sendok berbenturan dengan piring. Sesayup terdengar suara lantunan dawai dari seorang pengamen di ujung ruangan.
"Ini penginapan paling baik yang ada di distrik utara. Terbaik karena bodyguardnya kuat-kuat, jadi kalau ada yang mencari masalah, mereka langsung dikendalikan dengan baik," kata Fram, menjelaskan.
Melihat apa yang ada di depannya saja sudah malas, Sari berkata, "hmm ... mungkin kita cari tempat yang lebih sepi saja ...?"
"Ayo, aku antar ke indekost temanku. Itu indekost khusus wanita," kata Fram.
Saat mereka baru saja beranjak pergi meninggalkan penginapan itu, namun ada sesuatu yang tajam melewati pipi Fram dan menyayat kulitnya sebelum tertancap pada palang atap luar penginapan itu. Sari melihat benda itu, bentuknya persegi, berwarna putih, dan setelah menancap jadi seperti kehilangan tenaga dan terhelai lemas.
Dengan penasaran Sari memungut benda itu. Matanya terbelalak menyadari bahwa benda itu adalah kertas biasa. Ketika dia menoleh kembali kepada Fram, pipi pemuda itu sudah mengucurkan darah dari luka segar yang baru dia dapatkan dari kertas itu.
"Hei, bukankah itu Skydiver?" tanya seorang lelaki tinggi besar dari dalam penginapan. Matanya memincing penuh rasa curiga.
"Dari belakang tampaknya begitu," kata seorang lelaki langsing yang memiliki mata sipit di sebelahnya, dia yang tadi melempar kertas itu dan melukai pipi Fram. "Sayang seranganku meleset, coba kena, kita bisa lebih jelas melihat wajahnya."
Fram masih bergeming, tapi dia tidak perlu menoleh ke belakang untuk menyadari bahwa sebagian besar orang-orang di restoran penginapan itu beranjak meninggalkan kursi sambil menghunus senjata mereka. Tatapan mereka seperti pemburu dengan Fram sebagai mangsanya.
"Fram atau bukan, kita bunuh saja dulu!"
"Uhh ... Fram ... mereka ingin membunuhmu," Sari terlihat gemetar.
"Aku harap kau sanggup berlari kencang. Ayo!" Fram segera berlari dan tangannya menyambar tangan Sari lalu keduanya melarikan diri ditengah berondongan anak panah, bolt crossbow, jarum beracun, dan secarik kertas tajam yang dilempar seperti pisau lempar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top