Tahun Ajaran Baru

Berkat Eren, SMA Dinding Titan memenangkan pertandingan sepak bola antar SMA. Eren menyumbangkan 1 gol, dan itu adalah gol kemenangan. Mereka menang dengan skor 3-2, bagi yang menonton sejak awal pertandingan, itu adalah pertandingan yang sangat epik.

"Selamat, Eren, kamu jadi pahlawan pertandingan!" kata Armin. 

"Itu karena setiap kali melihatmu, aku jadi semangat," kata Eren.

"Kok bisa?"

"Karena, setiap kali ingat kamu, aku jadi ingat pada waktu SD dulu. Kamu selalu ada untuk membantuku belajar perkalian dan tambah-tambahan," kata Eren mengenang masa-masa kelas 4 SD.

"Tapi, itu kan gampang banget dipelajari, Eren. Kamu benar-benar malas ya?" tanya Armin.

"Iya, aku tidak suka sekolah. Sampai sekarang pun tidak suka. Alasan aku bisa masuk ke SMA Dinding Titan karena ada beasiswa olahraga. Jadi, aku berhutang pada sepak bola, berkat sepak bola aku bisa sekolah di sini dan satu kota lagi denganmu," kata Eren.

"Oh ya, waktu kelas 4 SD kita berpisah ya, baru ketemu lagi tahun kemarin saat kita sama-sama masuk SMA," kata Armin.

"Semua ini gara-gara ayahku dinas di luar kota. Ayahku terikat kontrak dengan rumah sakit negara, jadi dia bisa dipindah-tugaskan sewaktu-waktu," kata Eren.

"Pasti enak jadi kamu, ya? Hidup berpindah-pindah terus, banyak melihat hal baru, melihat dunia, hidupnya tidak akan membosankan," kata Armin dengan mata biru yang berkaca-kaca. Sejak kecil dia suka melihat-lihat buku fotografi koleksi kakeknya sehingga dia sangat penasaran ingin pergi keliling dunia suatu saat nanti.

"Justru aku bosan pindah-pindah terus. Baru saja menyesuaikan diri sudah disuruh pindah lagi. Kapan aku punya teman dekat kalau seperti itu terus," kata Eren.

"Kan ada aku."

"Armin, kamu tidak akan berhenti jadi temanku, kan?"

"Bicara apa kamu? iya lah! Kenapa kita harus berhenti berteman?"

"Soalnya kemarin waktu kamu dekat dengan Jean, ... kamu tidak pernah lagi muncul waktu aku latihan bola atau sedang dalam pertandingan. Aku kira kamu sudah ketemu teman baru yang lebih asik dan aku ditinggal," kata Eren.

"Gak seperti itu ceritanya," kata Armin.

"Lalu seperti apa ceritanya?"

Langsung saja yang pertama kali teringat dalam pikiran Armin adalah ciuman panasnya bersama Jean. Pipi Armin jadi merah dan dia memalingkan tatapannya ke tempat lain dimana tidak ada orang.

"Dia membullyku, ..."

Eren langsung memotong kata-kata Armin. "Apa?! Kurang ajar, biar kuhajar dia!"

Eren mempercepat gerakan kakinya menuju sekolahan. Dia tidak sabar untuk sampai di sekolah dan memberi pelajaran pada si muka kuda itu, namun Armin segera menarik tangannya, "Eren, bukan begitu. Awalnya memang dia sedang membullyku, tapi lama-lama kita jadi teman. Dia orangnya baik kok, cuma sedikit asosial saja."

"Benar begitu? Hei, kalau ada yang mengganggumu, bilang saja padaku, aku pasti akan membelamu!" kata Eren dengan berani.

"Tidak apa-apa, aku bisa menjaga diri dengan baik, kok," kata Armin.

Mereka lanjut mengobrol mengenang masa-masa kecil bersama. Berhubung saat kelas satu kemarin mereka pisah kelas, maka mereka tidak punya banyak kesempatan untuk jalan bareng. Sekarang mereka kelas dua SMA, semester satu baru dimulai dua minggu. Armin sekarang sekelas dengan Eren, mereka selalu duduk bersebelahan. Di belakang mereka duduk Mikasa yang selalu mengawasi Eren dengan ketat. Anak-anak sekelas semuanya heran kenapa Eren tidak merinding dengan kehadiran Mikasa yang sedemikian rupa.

Bel tanda pelajaran pertama dimulai, berbunyi nyaring. Bu Hange, wali kelas mereka masuk ke dalam kelas bersama seorang murid dari kelas sebelah. Mata Armin membesar melihat Jean memasuki kelas sambil membawa tas. Eksresi wajahnya menunduk dan dia terlihat memancarkan aura senggol-bacok.

"Selamat pagi, anak-anak. Mungkin kalian semua terheran kenapa teman kita, Jean Kirstein membawa tas masuk ke kelas 2B. Ibu akan jelaskan. Mulai hari ini, Jean akan bertukar dengan Connie. Ini atas keputusan kepala sekolah, Dot Pixis."

Para murid was-wes-wos sendiri sementara di depan papan tulis, Jean terlihat semakin gelisah dalam penampilannya yang tenang.

"Jean, kamu bisa duduk di sebelah Mikasa."

Itu berarti di belakang Armin! Armin jadi gak santai karenanya. Sejak wakil kepala sekolah mengeluarkan aturan hukuman yang ditulis dalam kartu merah, dan kalau kartu merahnya sudah penuh maka murid tersebut akan dikeluarkan dari sekolah, Jean jadi menjaga jarak dari Armin. Bahkan mereka sudah sepakat tidak akan dekat-dekat lagi selama masih berada di area sekolah. Tidak pacaran saja wakil kepala sekolah sudah prasangka buruk, apalagi kalau pacaran beneran!

"Boleh tidak aku duduk di sebelah Sasha?" tanya Jean. Sasha duduk di pojok kelas, sedang diam-diam makan kentang goreng yang dia sembunyikan di dalam laci meja. Dia sengaja duduk di tempat terjauh dari meja guru agar tidak ada guru yang memergokinya sedang makan di kelas.

"Oh, kamu mau di sana? Ya sudah, silakan."

Eren segera angkat tangan, "Bu Guru! Kenapa Jean ditukar dengan Connie?"

"Itu karena kepala sekolah menilai Connie nilainya jadi semakin jeblok, jadi dia dipindahkan ke kelas Pak Levi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik," kata Hange.

Ya, siapapun tahu bagaimana Pak Levi mengajar. Dia guru biologi tapi sadisnya bukan main. Dia tidak mau bertoleransi terhadap kesalahan sekecil apapun. Apalagi kalau dia jadi wali kelas, dia akan memberikan les privat gratis bagi 10 murid yang nilainya paling bawah.

Jean duduk di sebelah Sasha yang masih mengunyah kentang gorengnya, dan bangku di belakang Armin tetap kosong. Sebenarnya bangku di sebelah kiri, kanan, dan belakang Mikasa memang kosong, tidak ada yang tahan dengan aura "jangan-dekati-aku-selain-eren" yang terpancar dari Mikasa. 

Trio Eren-Armin-Mikasa tidak terpisahkan sekarang. Mereka selalu kemana-mana bertiga, kecuali urusan WC. Pada saat istirahat makan siang, mereka bertiga membicarakan kejadian tadi pagi di kantin.

"Aku curiga kenapa Jean dipindahkan ke kelas kita, seingatku dia murid bermasalah, kan? Setahuku murid-murid bermasalah selalu dimasukkan ke kelasnya guru-guru killer seperti Pak Levi," kata Eren.

"Menurutmu kenapa, Eren?" tanya Armin.

"Aku tidak tahu sih, tapi tetap saja ini aneh," kata Eren.

"Mungkin karena dia sudah dinilai tidak bermasalah lagi," kata Mikasa yang bibirnya tersembunyi dibalik syal merah pemberian Eren. "Kalau diperhatikan, kelas 2C itu sudah penuh isinya 20 orang, kalau Connie dipindahkan ke sana, maka jadi 21 orang, 1 orang lagi mau duduk di mana? Makanya Jean dipindahkan ke kelas kita."

"Jean sudah tidak bermasalah lagi?" tanya Eren.

"Gosipnya sih begitu, setelah dia dekat dengan ..." Mikasa melirik Armin.

"A-apa? Kenapa memandangku begitu?" Armin berkeringat dingin.

Berjalan kembali ke kelas, Armin memikirkan ucapan Mikasa itu. Bila benar yang dikatakan Mikasa, bahwa persahabatannya dengan Jean telah membawa pengaruh positif, maka berarti para guru sebenarnya bisa melindungi mereka dari gencetan wakil kepala sekolah yang homophobia itu, kan? Itu berarti tidak masalah dong kalau mereka bertegur sapa lagi atau hangout bareng lagi di lingkungan sekolah.

Armin menghela nafas, rasanya kangen sekali dengan masa-masa kelas 1 kemarin. Pertama kalinya dia terlambat masuk kelas sehingga harus lari bareng dengan Jean keliling sekolah. Memang melelahkan, tapi gara-gara itu Armin merasa lebih bugar dari yang biasanya. Dia jadi bisa lebih mudah kabur saat gengnya Annie mengejarnya untuk memalak uang jajan. Kemudian bolos sekolah demi balapan liar dengan para preman, bertemu monster di daerah tak terjangkau oleh google maps. Ketika Jean mengajarinya bermain basket, dia sangat manis karena begitu sabar mengajari Armin melempar bola ke dalam ring sampai bisa. Tapi Armin paling suka pada saat Jean mengajarinya untuk berani melawan rasa sakit dan menang melawan bully. Saat dia menjungkir-balikkan badannya dari jendela kamar lantai dua, rasa takut memaksa Armin untuk melawan balik.

Armin membuka pintu kelasnya untuk masuk, namun malah terhalang oleh badan seseorang yang juga sedang membuka pintu kelas untuk keluar. Saat dia menengadah, Armin merasa pipinya panas melihat Jean sedang menatapnya.

"Aets, anu, ... Silakan!" Armin melangkah ke samping.

Tanpa terduga olehnya, Jean malah meremas kedua bahu Armin dan berbicara dengannya. 

"Hai! Baru 3 jam sekelas denganmu dan sekarang aku dipanggil oleh wakil kepala sekolah! Hebat sekali, kan?! 2 point lagi. 2 point lagi dan kartu merahku penuh, aku harus mencari sekolah baru!" kata Jean dengan wajah gembira. Kemudian dia segera berlari dengan langkah yang sangat lebar untuk pergi ke gedung administrasi.

Armin tidak mempercayai apa yang dia dengar. Dua point lagi dia tidak akan lagi melihat Jean di sekolah ini. Dua point lagi maka dia tidak akan melihat Jean lagi, mungkin untuk selamanya. 

"Cepat juga ya? Jatah kartu merah kan 50 point," gumam Eren pada Mikasa.

"Jean ..., ini tidak bisa dibiarkan!"Armin segera berlari ke gedung administrasi. Karena kali ini bukan dirinya yang dibully, melainkan Jean. Wakil kepala sekolah itu sudah keterlaluan dan Armin akan memutar otaknya, mengerahkan kemampuannya untuk menyelamatkan Jean!

"Armin, mau ke mana kau?!" Eren juga turut berlari di belakang Armin. Di belakangnya, Mikasa mengawal.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top