Pergi untuk Kembali
Sesekali Jean berdiri untuk menerima ungkapan bela sungkawa dari teman kakeknya yang datang melayat. Berlanjut ke basa-basi kecil, kemudian mereka pamit pulang dan meninggalkan rumah duka. Hanya Armin yang tetap duduk di sebelahnya, sekalipun dia sudah terlihat sangat mengantuk. Tanpa terasa sudah beberapa jam lewat, sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Armin menguap dalam-dalam lalu mengucek matanya.
"Sudah ngantuk tuh. Pulang sana. Mau kuantar?" kata Jean.
Armin menggelengkan kepalanya.
TUNG!
Armin memeriksa smartphonenya dan tersenyum membaca whatsapp dari Eren yang mengatakan kalau lima menit lagi dia sampai di rumah duka.
"Jadi, dia mengaku kalau dia gay?"
Armin segera menoleh pada Jean karena awalnya tidak memahami apa maksudnya. Kemudian dia sadar bahwa Jean sedang membicarakan Eren.
"Oh, ya, kurasa begitu," jawab Armin dengan singkat. Rasanya enggan menceritakan bagaimana Eren mengundangnya untuk datang untuk menonton pertandingannya secara terus menerus. Akhirnya suatu sore, saat mereka makan malam setelah pertandingan, dia melihat tatapan Eren yang berbeda dari biasanya. Selama ini Armin selalu mengagumi keberaniannya, terpancar dari sorot matanya dan aksi Eren seringkali menginspirasi orang lain untuk menjadi lebih berani. Sudah sejak kecil dia seperti itu.
Persahabatan mereka bermula saat Eren melihat Armin dibully oleh anak-anak nakal di sekolah. Mungkin memang moral manusia sudah semakin renggang, seiring semakin banyak anak yang lahir ke dunia sehingga nilai kemanusiaan jadi tidak berarti lagi. Biasanya seperti itu, kan? Semakin banyak, semakin tak berarti. Semakin langka, maka semakin penting. Anjing saja yang tidak salah apa-apa diperintahkan untuk dilarang berkembang biak agar populasi mereka tidak membludak, tapi kenapa manusia yang merusak alam tidak dilarang untuk terus beranak pinak? Manusia itu egois sekali. Loh, kok jadi ngomongin manusia dan alam sih?
Tampaknya Jean tidak berminat untuk bertanya lebih jauh soal dirinya dan Eren. Mungkin karena jawaban Armin sangat singkat seperti mengetahui kalau dia tidak berminat untuk cerita apapun.
"Ngomong-ngomong, aku keluar sebentar," Armin beranjak pergi meninggalkan Jean. Dia masih terlihat lesu memandangi peti mati kakeknya.
Tadi Jean cerita sejak tahun lalu, kakeknya pertama kali terkena serangan jantung. Bahkan penyakit itu sudah mulai berbahaya pada hari setelah Armin berkelahi dengan Reiner. Karena itulah Jean tidak ada di rumah setiap saat, dia pergi bekerja sambilan setiap hari setiap pulang sekolah. Tidak hanya satu saja, tapi dua, tiga, apapun pekerjaan yang bisa dia lakukan, dia lakukan. Tapi semua itu tidak cukup, Jean harus menjual barang-barang di rumah untuk menutup biaya cangkok jantung dan operasi, televisi sudah dijual, beberapa barang elektronik di rumah juga, beberapa terpaksa dilepas murah karena dia sendiri harus makan dan bayar pajak rumah, listrik, air.
Hidup yang sangat berat untuk remaja berusia 16 tahun. Pada saat Jean berjuang untuk bertahan hidup dan mempertahankan hidup kakeknya, Armin kembali dekat dengan Eren. Andai malam itu Eren tidak menciumnya, Armin tidak akan sadar kalau Eren ternyata juga menyukainya.
Ngomong-ngomong, Eren sudah melompat turun dari sebuah bus yang masuk ke parkiran rumah duka dan mencoba untuk parkir.
"Armin!!" seru Eren dengan tidak sabar.
"Eren!" balas Armin sambil melambaikan tangan, kemudian ditubruk Eren dengan pelukan erat.
"Mana Jean?" tanya Eren.
"Ada, di dalam," kata Armin.
"Aku mengumpulkan teman-teman satu angkatan, tapi hanya sedikit yang mau datang. Yang lain berhalangan hadir," kata Eren.
Dari bus, turunlah teman-teman sekelas mereka, di antara mereka ada Mikasa, Sasha, Connie, Franz, Hanna, dan Hitch.
Tentu saja Armin ingat dengan Hitch, cewek cantik yang punya rambut pendek keriting berwarna pirang yang naksir Jean setelah melihat Jean menggunakan kostum pangeran di panggung drama. Sejak itu dia selalu mengirim surat cinta pada Jean, tapi Armin tidak tahu lagi kelanjutannya. Jean tidak pernah cerita apapun soal teman-teman lain. Sepertinya dia terlalu sibuk untuk memikirkan betapa rusak keluarganya. Namun cukup mengherankan juga kemunculannya di rumah duka sekarang. Mengingat ini sudah malam, dia datang tanpa dua teman dekatnya; Annie dan Ymir, dan dia bukan teman satu kelas.
Yang terakhir turun dari bus adalah Pak Ackerman, dia dan tampang bosannya yang khas.
"Jadi ini sebabnya Jean bolos hari ini?" tanya Levi.
"Ya, Pak Ackerman, aku juga baru tahu soal ini tadi sore," kata Armin. Dia berharap Pak Levi mau mengampuni mereka dan menghapus nama mereka dari Kartu Memori untuk minggu ini.
Armin mengantar mereka ke tempat kakek Jean sedang berbaring. Masing-masing dari mereka datang untuk mendoakan yang mati dan memberi semangat pada yang ditinggalkan.
Jean membungkukkan badan dengan hormat pada Pak Levi, "terima kasih sudah datang untuk berbelasungkawa."
"Turut berduka cita, Jean," kemudian dia berkata lagi, "minggu depan kamu baru boleh jalani hukuman Kartu Memori-ku, ya."
"Hah? Apa maksudnya?"
Wajah Pak Levi langsung kecut, maka Armin cepat-cepat menjelaskan, "Kartu Memori, pengganti Kartu Merah. Jadi pelanggaran-pelanggaran siswa dicatat dalam kartu memori untuk menjalani hukuman pada akhir pekan dimana tidak ada pelajaran belajar mengajar."
"Minggu depan kita ke villa di pantai. Kamu dan temanmu," kata Pak Levi.
"Tu-tunggu dulu, dia salah apa?" tanya Jean.
"Kesalahanmu adalah membolos tanpa surat izin masuk, sedangkan kesalahan Armin adalah lupa mengantarnya padaku," kata Pak Levi.
Mengertilah Jean bahwa Armin berbohong untuk menghindarkan dirinya dari pelanggaran lebih berat, "Pak, saya tidak pernah menulis surat izin absen. Cebol rambut kelapa ini bohong, jangan percaya padanya."
"Benar begitu?" tanya Pak Levi.
"Hah? A-anu, sebenarnya ..."
"Aku tidak mengerti kenapa dia bohong, tapi yang pasti aku jamin bahwa aku tidak berbohong," kata Jean.
Pak Levi tidak tahu siapa yang harus dia percaya sekarang. Tapi sebenarnya hukuman ini tidak berat sih, sebenarnya dia bisa saja melepaskan Armin dari hukuman dan memberikan hukuman lebih berat untuk Jean. Tapi melihat apa yang terjadi sekarang, bahwa Jean mengaku dan menyelamatkan temannya dari hukuman, sedangkan Armin berbohong agar hukuman Jean tidak menjadi lebih berat cukup membuatnya tertarik. Maka dari itu Pak Levi ingin tahu, sejauh mana persahabatan antara kedua orang ini.
"Sudah terlanjur terdaftar, harusnya hukumannya besok tapi kamu sedang berduka sekarang, jadi minggu depan saja. Kalian berdua hari sabtu depan berkumpul di sekolah pukul 8 pagi, kita berangkat bareng ke lokasi," kata Pak Levi, mengakhiri pembicaraan.
Eren melihat semua itu dan menghampiri mereka, "harusnya Armin tidak dihukum."
"Kenapa kamu begitu, Armin? Paling hukumannya disuruh bersihin sesuatu, nggak berat kok," kata Jean.
"Yah ...," Armin sendiri tidak mengerti untuk saat ini.
"Jean, aku turut berbelasungkawa atas kakekmu," kata Eren dengan tulus sambil menjabat tangan Jean.
"Ya, terima kasih."
"Kalau kamu butuh bantuan, jangan diam-diam saja. Kalau kamu kasih tau sejak awal, kita semua bisa bantu kamu," kata Eren.
"Santai saja," jawab Jean. Sejujurnya, dia tidak suka melibatkan terlalu banyak orang dalam kehidupannya.
Connie datang sambil menguap dalam-dalam, "hei, sudah selesai belum? Sudah larut malam nih."
"Oh ya, benar. Jean, maaf kita pulang dulu ya."
"Ya."
"Ayo Armin, kita pulang," kata Eren.
"Umm ..." Armin bergeming.
"Kenapa?"
"Aku rasa tempat ini dingin dan sunyi jadi ..."
"Iya, makanya ayo cepat, kita pulang," kata Eren sambil menarik tangan Armin, tidak sadar apa yang dimaksud dengan temannya barusan.
Armin tetap bergeming, "tempat ini dingin dan sunyi, jadi kurasa aku akan menemani Jean di sini."
"Armin," kata Jean. "Pulang saja. Aku sedang ingin sendirian."
Armin membiarkan Eren menggandeng tangannya dan pergi meninggalkan rumah duka.
Mereka naik ke dalam bus yang sama dengan bus yang mengantar mereka ke rumah duka, tapi mereka berhenti di sebuah restoran sushi untuk makan-makan dan minum-minum sambil bersenda gurau. Mumpung malam minggu.
Armin tidak bisa menyentuh makanannya, dia merasa berada di tempat yang salah sekarang.
"Ayo dimakan, Armin! Jangan cemberut terus!" kata Sasha.
"Eren," bisiknya pada lelaki di sebelahnya. "Aku pulang duluan ya."
"Loh, kenapa? Aku temani!"
"Tidak usah, aku mau sendirian."
"Kau yakin?"
Armin menganggukkan kepala. Dia pamit meninggalkan kedai sushi tersebut dan berjalan kaki pulang ke rumah. Kehidupan malam berbeda dengan siang hari. Di siang hari jalanan dipenuhi oleh orang-orang "baik" seperti pekerja kantoran, pelajar, ibu rumah tangga dan anaknya. Tapi di malam hari, sepertinya orang-orang yang tidak bisa ditebak bermunculan. Itu sebabnya kota ini tidak pernah tidur, ada bisnis yang tutup saat bisnis lain buka, tapi ada juga yang berubah; siang jadi restoran, malam jadi bar.
Pasar malam pun memenuhi jalanan kota, Armin teringat pada tahun lalu dimana dia diajak (sebenarnya dipaksa sih) Jean untuk menemaninya menjual ponsel yang ketinggalan di mal. Maksudnya begini, di tempat-tempat umum, pasti ada satu atau dua orang yang tanpa sengaja meninggalkan ponselnya. Entah bagaimana, Jean pasti selalu berhasil menemukan gadget-gadget yang tertinggal itu dan menyimpannya. Dia hanya perlu membeli adapter baru kemudian bisa dijual lebih mahal di outlet handphone.
Pada awalnya Armin menyebut yang dilakukan Jean itu "gila" atau "jahat" karena tidak mengembalikan ponsel ke tempat asalnya. Setidaknya dia menghubungi orang yang punya ponsel itu dan mengembalikannya.
Tapi kemudian Jean berdalih, "mereka tidak pernah mencarinya lagi. Kalau bukan aku yang menjualnya lagi, maka pelayan restoran yang melakukannya."
Dan memang benar, beberapa dari ponsel itu tidak pernah berdering, mungkin pemiliknya sudah keburu pesimis karena baterainya sudah habis. Tapi suatu hari, ada satu yang berdering nyaring dan pemiliknya memohon untuk dikembalikan.
Jean menggerutu saat mengembalikan ponsel itu, karena biasanya biarpun berdering, dia tidak pernah mengangkatnya dan membiarkan ponsel itu berdering terus sampai baterainya habis. Bisa jadi karena Armin mendesaknya untuk berbuat yang benar, maka dia akhirnya mengembalikan ponsel curian itu.
Armin melihat orang berjualan ponsel di pasar malam, harganya cukup murah karena mereka bilang itu barang second. Armin membelinya dan berlari pergi kembali ke rumah duka bersama nomor perdana baru.
Setidaknya Jean harus bisa dihubungi. Bukan, bukan itu. Saat Armin membiarkan hatinya berbicara jujur, dia sebenarnya membelikan ponsel itu untuk Jean karena dia takut Jean menghilang. Dia takut setelah kematian kakeknya, Jean menjual rumah dan pergi ke suatu tempat untuk memulai hidup baru. Terlebih karena dia dan Eren sudah ... Tunggu dulu, memangnya Jean keberatan sekarang dirinya sudah bersama Eren? Tapi bagaimana kalau itu juga menjadi salah satu motivasinya untuk pergi selamanya?
Armin ingat dulu saat Eren mendadak sudah tidak ada, saat itu mereka masih kelas 4 SD. Setelah galau sebulan, Armin memutuskan untuk memberikan surat cinta pertamanya pada Eren.
"Eren sahabatku,
Aku sayang kamu. Aku ingin melihatmu setiap hari. Tolong jangan pergi. Kalau harus pergi, aku boleh ikut tidak? Aku tidak ingin berpisah dengan orang yang kusayangi.
Armin."
Kini perasaan yang sama mendadak muncul bersamaan sesuatu yang mengganjal di dada. Seperti ada paku vampir yang ditancapkan ke dadanya, menimbulkan sesak bercampur nyeri. Perasaan yang sama dengan firasat kehilangan.
Di rumah duka itu, Jean sedang mencari angin segar di pelataran parkir.
"Jean!" panggil Armin.
Remaja yang dipanggil itu jadi terperangah. "Hei, bukannya kau pulang bersama yang lain?"
Armin ngos-ngosan sebentar, kemudian dia menyerahkan ponsel yang baru dibelinya itu pada Jean.
"Ini ponsel baru untukmu, sudah siap pakai. Aku sudah masukkan nomor-nomor kontakku dan teman-teman di sana. Kamu tinggal pakai," kata Armin.
Jean memeriksanya dan apa yang dikatakan Armin itu benar. Tapi ponsel ini ponsel murah, walau begitu pasti cukup banyak menguras isi dompet Armin.
"Untuk apa kau beli semua ini?"
"Hah? Siapa yang bilang aku yang beli? Ponsel ini kami semua membelinya bersama. Kami urunan agar kau bisa diajak berkomunikasi," kata Armin.
"Yakin kau mau memberi ini padaku? Nanti kujual buat makan mie, lho," kata Jean.
"Jangan dijual. Kalau kamu kelaparan, datang saja ke rumahku," kata Armin. "Yang penting..."
Ucapan Armin terputus saat dia melihat ada noda merah seperti lipstik pada pinggiran bibir Jean, sepertinya seseorang telah menciumnya dan bekas lipstik itu berusaha dihapus. Kalau di pipi, mungkin seorang pelayat yang kebetulan menggunakan lipstik dan mencium pipinya. Tapi ini di tepian bibir, ciuman itu mendarat di bibir.
"Yang penting apa?" tanya Jean.
"Kau ... Tadi bersama siapa?" tanya Armin.
"Hah?"
"Eh, maaf, maksudku, ... Aduh, tidak! Tidak! Lupakan pertanyaanku barusan!" Armin memang salah tingkah karena dia segera berpikir, memang dirinya siapa? Terserah Jean mau bersama siapa.
"Jean!" Panggil seorang gadis dari dalam rumah duka. Dia gadis cantik yang keberadaannya merupakan keanehan di tempat ini. Selama ini Armin tidak pernah melihatnya bersama-sama dengan Jean sekalipun dia tahu gadis itu selalu mengiriminya surat cinta. Bila Jean tidak menggubrisnya, tentunya gadis itu tidak punya alasan berada di sini, kan?
"Loh, Armin, bukannya tadi sudah pulang?" tanya gadis itu, dengan bibirnya yang berwarna merah karena lipstik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top