Jean Kecil di Dunia yang Besar
Berhubung Armin sudah datang, Jean tidak perlu lagi repot mencari bantuan untuk membawa jenazah kakeknya ke rumah duka. Kakeknya Armin bekerja sebagai supir yang mengangkut hasil pertanian dari desa untuk dijual di kota, tentu saja dia punya mobil pick-up yang punya bak untuk membawa barang banyak di belakang. Karena itulah dia bisa menekan biaya meminjam mobil, dan menyewa kurir untuk membawa kakeknya ke rumah duka. Karena saat ini kakeknya Armin sedang di luar kota karena ikut tur pariwisata, maka dia tidak bisa menemani. Tapi dia berjanji akan segera datang ke sana begitu dia sudah sampai di rumah.
Jean bisa menyetir mobil, Armin sudah cukup untuk membantunya membawa jenasah kakek ke bak mobil. Mereka berdua saja sudah cukup.
"Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada kakekmu? Kok mendadak dia sudah ..."
"Serangan jantung. Dia terserang jantung saat sedang jalan-jalan sore. Orang-orang membawanya ke rumah sakit. Untung dia bawa dompet jadi aku bisa diberitahu bahwa kakekku butuh operasi," Jean menutup tubuh kakeknya dengan selimut sampai kepalanya tertutup.
"Nah, Armin, kau duduk di bak, ya. Aku akan menyetir," kata Jean, melompat turun dari pick up dan duduk di belakang kemudi.
"Jean," panggil Armin. "Kalau aku tahu apa yang terjadi padamu, aku pasti akan membolos. Sekalipun bukan hari jumat. Sekalipun sedang ujian akhir, aku pasti akan bolos."
"Aku tidak mempermasalahkannya," kata Jean, menstarter mobil milik kakek Armin itu.
Sepanjang perjalanan, Armin yang duduk di bak terbuka itu berharap bahwa hujan tidak turun secara tiba-tiba. Tak banyak yang bisa dilakukan di belakang sini selain menjaga jenazah kakeknya Jean dan membuka android. Rupanya ada banyak pesan dari Eren yang masuk ke whatsappnya.
Eren : "Armin, kamu di mana? Gak pulang-pulang?"
Pesan itu sudah masuk sejak tadi sore jam tiga, kira-kira pada saat Armin sedang dalam perjalanan ke rumah sakit dan menemui Jean. Setelah itu sepuluh menit kemudian Eren message lagi, kemudian setiap dua menit sekali Eren membombardir whatsapp Armin dengan pertanyaan dan sedikit kepanikan.
TUNG!
Sekali lagi masuk pesan dari Eren
Eren : "Armin!! Apa yang terjadi padamu?!?! Aku lapor polisi, ya!!"
Bersamaan dengan itu, ada pesan masuk dari Mikasa yang terlihat dari notifikasi.
Mikasa : "Min, kamu di mana? Eren panik banget nih!"
Baru saja Armin hendak mengetikkan pesan balasan untuk Eren, panggilan masuk dari Eren muncul. Armin menggeser layar untuk menerima pesan itu.
"Eren!"
Eren bukan main leganya, mendengar suara Armin lagi.
"Kamu dari mana saja?! Kenapa tidak balas pesanku? Lihat sekarang sudah malam!"
"Eren, anu ... kakeknya Jean meninggal dunia. Aku sedang membantunya sekarang. Maaf, gak sempat kasih kabar, dari tadi sibuk banget," kata Armin.
"Oh, ternyata begitu. Lain kali jangan lupa cek handphonemu," kata Eren.
"Iya, maaf ya, sudah membuatmu cemas."
"Tidak apa-apa, yang penting kamu baik-baik saja. Jadi bagaimana Jean sekarang?"
"Kita sedang mengantar jenazah ke rumah duka."
"Berdua saja?"
"I-iya."
"Hei, kalau kamu balas whatsappku dari tadi, aku dan Mikasa bisa segera ke sana untuk membantu kalian!"
"Haha ... maaf, biasanya kami melakukan semuanya berdua, jadi tidak terpikir untuk mencari bantuan."
"Ngomong-ngomong, di mana rumah dukanya? Aku akan bawa teman-teman untuk melayat."
Sampai di rumah duka, Armin membantu Jean menurunkan jenazah dan memasukkannya ke dalam peti mati. Jean berdiri lama sekali di hadapan peti mati kakeknya, wajahnya terlihat sedih tanpa meneteskan air mata sedikitpun. Pemandangan ini bukan pertama kalinya bagi Armin. Tahun lalu saat ayah Jean meninggal dunia, Jean juga seperti ini, terdiam lama sekali di depan peti mati tanpa bicara, tanpa air mata. Baru setelah dirinya memaku peti mati, tangisnya pecah seperti air terjun.
Armin berdiri di sebelah Jean, berdoa untuk yang mati.
Saat dia memejamkan matanya, Armin mendengar suara kakek Jean bicara padanya, "tolong jaga Jean. Dia sudah tidak punya siapapun lagi sekarang."
Seketika Armin merasakan dirinya seperti dikejutkan oleh sesuatu yang dingin dan menyetrum. Dia segera membuka matanya, namun tidak ada yang aneh di sekitarnya.
"Sepi, ya?" tanya Jean. Tatapannya masih kepada peti mati di depan sana. Armin mengecek situasi di rumah duka itu sekali lagi, dan dia mendapati ada beberapa manula yang datang bersama keluarganya untuk melayat. Jean pasti merasa sepi karena dia sedang merasa sendirian sekarang. Sebatang kara hidup di dunia yang besar dan luas ini, dimana kejadian apapun bisa saja terjadi. Jean masih remaja, masih butuh bimbingan, dia pasti menyadari itu dan sedang khawatir apa yang akan terjadi padanya andai dia salah melangkah dan menyia-nyiakan seumur hidupnya.
"Tak ada yang datang untuk melayat," lanjutnya. "Mungkin kalau aku mati nanti, tidak ada yang mau mengantarku ke rumah duka dan menguburkanku."
"Hah?" Armin terbelalak mendengar kata-kata Jean.
"Mungkin polisi akan menemukanku tergeletak di tengah jalan, manusia tanpa identitas karena para begundal sudah mengambil dompetku dulu. Atau mungkin mereka menemukanku di rumah, karena ada bau busuk dari sana. Atau sebelum menemukanku, ada gempa bumi dan badanku masuk ke dalam tanah yang terbuka."
"Jean, kenapa kamu berpikir begitu?!"
"Hah? Itu fakta, kan? Manusia itu lahir sendirian, maka kalau mati sendirian sebenarnya sudah lumrah," kata Jean dengan wajah yang datar.
"Kalau kamu mati, aku pasti akan mengurus jenazahmu," kata Armin.
"Bagaimana kalau aku mati saat naik pesawat dan pesawatnya jatuh di laut? Mungkin aku sudah jadi makanan ikan karena takkan ada yang mencariku di laut."
"Aku akan mencarimu di laut. Kalau kamu hilang, di manapun kamu hilang, sekalipun aku tidak tahu dimana kamu hilang ... Aku akan mencarimu sampai ketemu!" kata Armin.
"Demi apa?"
"Demi persahabatan kita!"
Jean ingin tertawa mendengarnya, "tidak usah. Merepotkanmu saja."
"Tidak apa-apa. Karena ... Karena aku yakin kau juga akan melakukan hal yang sama bila aku yang hilang," Armin kembali menatap Jean.
Jean mendengus, "yakin sekali kau. Bagaimana kalau ternyata aku malah makan pizza sambil menonton talk show tengah malam? Persetan dengan Armin!"
"Kalau ternyata seperti itu, pasti kamu punya alasan bagus. Aku memakluminya," kata Armin. Setiap kali melihat Jean, tatapannya tertuju pada daun telinga kanan Jean yang teriris sedikit. Seperti kondisi telinga Evander Holyfield yang digigit Mike Tyson. Melihat bekas luka itu, Armin tidak pernah lupa saat Jean memotong telinganya demi bisa membuat Bos Preman untuk setuju melepaskan Armin andai dia kalah balapan. Sebagai gantinya, Jean akan memotong jari kelingkingnya. Armin juga masih ingat apa yang dikatakan Jean saat itu.
"Armin," kata Jean, suaranya terdengar gemetar karena ketakutan. "Ini cuma jari. Kalau mereka mendapatkanmu, maka aku akan kehilangan satu-satunya orang yang mau berteman denganku."
Tapi, saat dia melakukan itu, mereka sedang berada di dalam situasi nyata. Sedangkan saat mereka membicarakan soal salah satu dari mereka hilang seperti sekarang ini, semua baru sekadar peristiwa yang mereka takutkan akan terjadi. Kenyataannya, Jean bersedia kehilangan salah satu jarinya asalkan dia tidak kehilangan Armin. Itulah yang selalu diingat oleh Armin, tentang seberapa berarti dirinya bagi Jean.
"Jalan kita masih panjang, Jean. Sebaiknya jangan memikirkan hal-hal seperti itu sekarang, nanti beneran kejadian dan aku tidak akan menyukainya," kata Armin.
"Tapi memang kadang aku sering berpikir begitu. Aku tidak suka bergaul dan semua orang sering salah paham padaku. Kalau mau bicara realistis, masa mungkin orang akan peduli pada sesuatu yang tidak mereka pahami? Sudah pasti kalau aku ada maupun tidak ada, takkan ada yang berubah. Keberadaanku tidak akan disadari oleh orang lain."
Armin menarik temannya itu agar berhadap-hadapan dengannya. Kemudian dia menarik pipi Jean ke atas sehingga tampaknya dia sedang tersenyum.
"Ng-ngapain kamu?!"
"Nah lihat, kalau kamu tersenyum begitu kan kelihatannya enak dilihat. Kamu sadar tidak sih? Orang-orang itu sudah takut duluan melihat mukamu yang kecut terus. Mereka tidak sadar kalau sebenarnya kamu ini orang yang baik dan peduli pada orang lain. Tapi karena mukamu selalu memberengut seperti itu, orang lain pikir kalau mereka menyenggol kamu, mereka akan dibacok!"
Jean sebenarnya akan berencana untuk menarik tangan Armin lepas dari wajahnya, namun sebelum dia melakukannya, Armin tidak lagi mencubit kedua pipinya tapi menempelkan telapak tangannya di sana. Lalu dia berkata dengan manis, "kamu itu mirip Eren. Kalian punya sorot mata yang sama, dan kepedulian yang sama."
Kemudian Armin tertawa kecil, "bahkan temperamennya juga sama, kadang-kadang. Aku pikir kalian berdua pasti bisa jadi teman baik kalau kalian mau saling kenal dan berteman."
"Aku merasa sedikit tersinggung, disama-samakan dengan maniak bola itu," kata Jean.
"Hah? Masa?"
"Yah, lihatlah dia, begitu mulutnya terbuka yang keluar hanya sepak bola dan Ronaldo vs Messi. Membosankan!"
"Tahu tidak? Dia juga mengatakan hal yang sama soal kamu."
"Eh?"
"Dia pikir isi otakmu kosong, manusia hampa tanpa keinginan dan hobi."
Jean menyengir, "kurasa dia benar."
Armin menggelengkan kepalanya, "setiap orang punya kekuatan dan kelemahan, mungkin kita belum menemukannya saja. Aku percaya, setiap orang lahir karena ada alasannya. Ada sesuatu yang harus dia lakukan untuk berkontribusi bagi dunia."
"Sudah, singkirkan tanganmu dari wajahku. Orang-orang mulai mencurigai kita, kalau sampai melihatnya, Eren bisa cemburu," kata Jean sambil menarik tangan Armin dari wajahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top