13. Jodoh Alif

Semenjak Alif tiba-tiba pergi meninggalkan kami di depan toko buku, Alif sering kali tidak masuk sekolah karena urusan keluarganya. Saat Azul bertanya alasan yang lebih spesifik, Alif hanya menjawab, “Urusan keluarga.”

Alif tidak berbohong. Namun, urusan macam apa yang sampai membuatnya tidak masuk sekolah selama dua hari, bahkan satu minggu. Dia juga tidak ikut penilaian di klub Desain, tidak semangat bermain basket sampai membuat beberapa cewek yang masih mengaguminya kecewa. Kendati Alif jarang masuk sekolah, pesan grup terus saja ramai olehnya.

“Seperti yang sudah dijanjikan. Hari ini saja. Terserah mau makan apa. Aku yang bayar.” Begitu kalimat itu terlontar dari mulut Alif, Azul bergegas memesan sesuatu pada ibu kantin. Aku memperhatikannya yang lancar sekali menunjuk makanan. “Kana? Kamu mau pesan apa? Biar aku yang ambilkan.”

Segera aku menolaknya. Ingin sekali aku menasihatinya untuk tidak menghambur-hamburkan uang. Alif sudah banyak melakukannya untuk kami. Jika dihitung-hitung, jumlahnya sudah pasti membuat mama terus bergumam sembari mengelus dada. Cowok ini terlalu baik di balik sikap menyebalkannya, kembali membuatku berasumsi pasal kelap-kelip di sekelilingnya.

Apa kemurahan hatinya ini yang memunculkan kilauan ajaib itu? Sesaat setelah memikirkan itu, aku dilanda rasa bersalah lantaran menyembunyikan sesuatu darinya.

Kami sudah menjadi teman. Mengingat hal itu, rasanya aku ditimpa dosa yang besar sekali. Alif sudah melakukan banyak hal untukku, tetapi yang kulakukan malah sebaliknya. Haruskah aku memberitahunya sekarang? Kantin masih terbilang sepi, Azul masih sibuk mencamil remahan gorengan di warung sana.
Namun, aku tidak bisa melakukannya. Mungkin lain kali, saat di mana kami hanya bertiga dan keberanian dalam diriku berkumpul. Hanya saja, kapan itu?

“Kana?”

Aku mengerjap, tahu-tahu wajah Alif begitu dekat sampai aku terkinjat dan hampir terjengkang.

“Kamu nggak suka, ya?”

Eh? Aku kembali mengerjap karena pertanyaannya.

“Setiap kali aku mentraktir kalian. Kamu nggak suka?” Warna biru terselip di antara kelap-kelipnya. Alif tampak kecewa, menambah rasa bersalahku padanya.

Segera aku menggeleng. “Tidak. Aku suka—maksudku ....” Melihat sekeliling yang ternyata sudah ramai, aku terdiam sejenak sebelum menjawab, “Jangan terlalu sering seperti ini. Apa kamu tidak sayang uangnya? Sekali-kali biar aku dan Azul yang melakukannya.”

Aku menghitung jumlah yang Alif keluarkan untukku selama kami berteman dalam kepala, kemudian segera berkata saat Alif hendak protes. “Terutama aku. Kamu nggak perlu membujukku dengan traktiran.”

“Aku nggak menyogokmu, kok.”

“Pokoknya, hentikan kebiasaan borosmu. Mentraktir, boleh. Tapi sewajarnya. Nggak sering dan banyak kayak gini.” Aku seperti ibu yang menasihati anaknya, dan Alif seperti anak yang bandel. Dia tampak kecewa seolah aku menolak membawanya ke suatu tempat yang menyenangkan. “Aku cuma mengingatkan.”

“Aku cuma melakukan hal yang kusenangi.” Alif berpangku dagu, masih kecewa.

“Kamu sering melakukannya sejak dulu? Ke teman-temanmu?” Hampir saja aku mengelus dada—kebiasaan mama saat mendengar fakta yang menurutnya tidak masuk akal. Bisa-bisanya cowok ini bersikap terlalu baik sampai harus menghamburkan uang untuk teman-temannya. Aku tahu ekonomi Alif di atasku. Hanya saja, itu bisa jadi hal buruk baginya—tunggu! Jika dipikir-pikir, saat Farrel dan yang lainnya meminta traktiran darinya, Alif menolaknya dengan tegas. Kata Azul, Alif itu orang yang pelit.

Sampai jawaban dari Alif telah membuat rasa tak nyaman dalam diriku naik ke permukaan. “Cuma ke kamu, kok.” Dengan senyum sampai matanya menyipit, warna kuning itu dengan cepat menggantikan kekecewaannya.

✨✨✨✨✨

Alif tidak masuk lagi di hari Jumat. Beberapa cewek mencarinya, bertanya padaku alasan cowok itu selalu absen belakangan ini. Maliqa yang masih membenciku, hanya melirikku sekilas dengan wajah ketus. Aku tahu dia juga penasaran akan Alif, tetapi ia hanya bisa menguping pembicaraan kami dari jarak yang cukup.

“Aku juga tidak tahu. Dia hanya bilang, urusan keluarga.” Jawabanku entah sudah ke berapa kali telah membuat mereka mengembuskan napas kecewa. Namun, mereka tidak mengolok-olokku seperti sebelumnya, justru mereka mengajakku bermain bulu tangkis sampai aku bisa mendengar decihan keras Maliqa.

Pak John yang tahu perubahan di sekitarku, semakin banyak tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya padaku. Beliau juga menawarkanku untuk masuk ekstrakulikuler olahraga, tetapi lagi dan lagi aku menolaknya.

“Permainanmu bagus sekali.” Azul mendudukkan diri di sampingku setelah mengusir Yeni sampai cewek itu menimpuknya dengan botol kosong. “Kamu suka olahraga semacam lempar-tangkap, ya?”

Memberi botol minuman baru pada Azul, aku menggeleng sebagai jawaban. Di rumah, aku jarang sekali berolahraga. Hanya saat kakak memaksaku menjadi lawanya di bulu tangkis, atau menjadi penjaga gawang sampai kakiku kena bola dengan kecepatan tinggi. Namun, belakangan ini kakak sudah tak lagi memaksaku menjadi pelampiasan amarahnya.

“Zul ....” Kulirik Azul yang tengah meminum air. Dia menungguku melanjutkan, tetapi yang kulakukan malah terdiam selama beberapa detik. “Kamu nggak curiga pada Alif?”

Lengang sejenak lantaran Azul menatap lurus anak cowok yang bermain basket—Pak John menyuruh kami istirahat, dan memberi kesempatan untuk anak cowok menginvasi lapangan. Hingga akhirnya Azul menjawab, “Sangat. Aku selalu curiga padanya.” Setelah mengatakannya, dia melempar botol kosong ke tempat sampah di belakangnya, tetapi meleset hingga mengharuskan dia memungutnya.

Berkali-kali, dengan alasan yang sama. Bagaimana aku tidak bisa curiga pada Alif? Saat bertanya alasan yang lebih spesifik, Alif seperti menghindarinya, takut jika kebohongannya bisa kubaca. Jika memang itu urusan keluarga, apakah sepenting itu sampai mengharuskannya absen berkali-kali? Aku bahkan memberanikan diri bertanya pada Bu Yanti, dan jawabannya sama seperti Alif. Walaupun begitu, aku tetap tidak bisa memercayai alasan tidak masuk akalnya.

“Apa dia sakit?” Di sudut benakku, ada hal buruk yang mengusikku setiap kali memikirkan Alif.

“Entahlah. Tapi sejauh ini dia baik-baik saja.” Azul ada benarnya. Seberusaha apapun Alif menyembunyikannya, jika dia berbohong, pasti aku bisa mengetahuinya.

“Tenang saja. Aku dengar dari Mang Adi, sopirnya, keluarga Alif sedang mengadakan perkumpulan atau semacamnya. Kamu pernah melihat perkumpulan keluarga kaya di gedung atau hotel? Semacam itu, lah. Alif, kan, dari keluarga kaya. banyak hal yang dilakukannya yang tidak bisa kita mengerti. Coba kamu minta oleh-oleh. Soalnya kalau aku yang minta, pasti tidak diberi.”

Azul benar, tetapi kenapa sesuatu dalam dadaku belum juga mereda? Apa akibat dari pikiran negatif yang terus berputar dalam kepalaku? Lebih-lebih lagi aku tidak mendapati kebisingan dalam pesan grup di malam hari, sampai aku memutuskan untuk menghubungi Alif. Namun, tidak ada jawaban darinya. Selama tiga hari, dan Azul tidak mampu mengeluarkan kalimat yang masuk akal lagi tentangnya.

Ketika akhirnya aku tertidur setelah mengerjakan tugas, aku bermimpi buruk tentang cowok itu. Dia terbaring di brankar rumah sakit dengan alat-alat penunjang hidup, dan wajah pucat pasinya terlihat seperti orang mati. Mimpi itu membuatku terjaga. Pukul dua dini hari aku duduk di atas ranjang dengan keringat bercucuran, mengkhawatirkan gambaran buruk dalam mimpiku benar-benar terjadi.

Aku memutuskan untuk turun ke dapur, harap-harap segelas air mampu menormalkan jantung dan pikiranku. Belum pernah aku merasa seperti ini kecuali saat nenek dan kakak dibawa ke rumah sakit.

Tidak. Alif tidak sakit. Dia terlihat baik-baik saja. Aku percaya Alif tidak berbohong pada teman-temannya. Sampai kekhawatiranku mulai mereda saat mendapati pesan dari Alif.

Cieee ... yang kangen aku.’

Kendati kesal setelah membacanya, setidaknya rasa khawatir dalam diriku tergantikan dengan perasaan lega. Pesan itu dikirim pukul sebelas malam tadi. Jika aku tidak tidur lebih awal, mungkin mimpi buruk itu tidak mampir dalam tidurku.

✨✨✨✨✨

Alif benar-benar sehat, bersemangat saat memamerkan novel yang baru dibelinya dari Yogyakarta, menandakan bahwa selama absen dia sungguh pergi karena urusan keluarga. Tidak hanya itu, dia juga membawa camilan acak yang dibawanya dari piknik keluarga, padahal aku tidak meminta olehh-oleh darinya.

“Entahlah. Tidak menentu. Kapan-kapan aku bawa yang banyak.” Begitu katanya, padahal aku sudah mengingatkannya untuk tidak menghambur-hamburkan uang.

“Jadi ... kamu bakalan sering absen?” Aku bertanya sembari membuka-buka novel baru dari Alif. Harus kuakui, aku merasa kesepian. Maksudku, kebiasannya yang berisik telah membuat telingaku terbiasa akan keberadaannya, juga ... aku tidak mau sesuatu yang buruk kembali menghampiri tidurku.

“Kamu bakalan kangen, ya?” Bahkan suara menyebalkannya pun tidak lagi membuatku kesal.

Meski beegitu, aku tetap menunjukkan raut datar seperti biasa. “Sebentar lagi, kan, Ulangan Semester. Kalau kamu keseringan absen—tapi menurutku bukan sering lagi—nilaimu pasti menurun. Kemungkinan untuk naik kelas menjadi kecil.”

Alif mengeluarkan suara seperti ular, bukan mendesis tak suka. “Kalaupun ketinggalan banyak pelajaran, aku, kan, bisa ikut belajar bareng kalian. Beres.”

Aku mulai gemas. Bukannya aku melarang dia menghadiri acara keluarga, tetapi ... haruskah dia melakukannya sampai meninggalkan kegiatan belajar? Mamaku bahkan lebih manusiawi: menyuruhku pergi ke sekolah alih-alih menghadiri pernikahan paman.

“Memangnya apa, sih, yang membuatmu harus absen? Apa sepenting itu?” Sepertinya aku salah bertanya. Alif terdiam, menghindari tatapanku, tetapi aku masih bisa melihat sedikit warna biru muncul di sekitar kepalanya.

“Penting banget. Maaf, aku nggak bisa memberitahu kalian.” Namun, sedetik kemudian, warna kuningnya menyala-nyala, menghilangkan warna biru. Semudah itu dia mengganti suasana hatinya sampai aku teringat akan sesuatu.

“Alif ....” Aku memanggil seraya melirik tempat Farrel yang ternyata kosong. Para cowok berkumpul di pojok lantaran Pak Ardi tidak masuk, memainkan sesuatu di ponsel mereka. Seharusnya hal itu membuat Azul marah, tetapi cowok itu justru tak mempermasalahkannya. “Aku punya sesuatu—bukan. Dua hal yang kusembunyikan darimu.”
Kudengar derit kursi karena Azul mencoba untuk lebih dekat padaku, sementara Alif menatapku tidak sabaran alih-alih kecewa.

“Aku ...” Tidak tahu harus memulai dari mana, aku kehilangan kata-kata yang kususun dalam kepalaku. Sampai desakan tak kasat mata mampu membuatku melanjutkan. “... bukan hanya bisa melihat warna.”

Alif mengangkat alisnya, sementara Azul kembali membunyikan derit kursi dan bertanya, “Kamu sungguhan bisa—”

“Bukan.” Aku menyela sebelum Azul salah paham. “Maksudku, Alif. Aku bisa melihat sesuatu hanya pada Alif.”

Orang yang dimaksud hanya mengernyit, dan rasa penasarannya tidak bisa ia sembunyikan. “Apa itu artinya ... aku ini spesial?”
Alih-alih aku yang mendecih, justru Azul yang melakukannya dengan keras.

“Sesuatu. Apa itu?” Azul bertanya mengabaikan kesombongan Alif yang ternyata menambah kemunculan kelap-kelip di sekelilingnya.

“Kilauan—eh, kelap-kelip.” Aku menjawab. Alif dan Azul tak mengerti dengan apa yang kukatakan. Jadi, aku melanjutkan. “Bukan hanya warna yang ada di sekitar kepalamu, tapi kelap-kelip seperti bintang. Tidak hilang.”

Kutatap Alif. Dia terdiam, seolah mencerna apa yang telah kuungkapkan. Sesaat kemudian dia membuka mulutnya. Hanya itu. Tak ada kata yang keluar darinya.

“Seperti ini?” Azul dengan cepat menunjukkan sebuah gambar dari potongan komik berwarna padaku di ponselnya.

Aku mengangguk. “Seperti itu.” Melihat Alif yang terkagum-kagum saat membandingkan dirinya dengan gambar yang ditunjukkan Azul, aku tersenyum samar. Baru kusadari, dia pantas sekali dengan kilauan di sekitar kepalanya. “Tapi warnanya putih. Tidak hilang.”

“Apa itu artinya ... aku ini tampan?” Dengan percaya diri dia mengedipkan sebelah matanya padaku hingga Azul memukul kepalanya pelan. “Aduh ...! Memesona, mungkin.”

“Itu cuma karena kamu sering mengonsumsi endokrin.”

Saat itu juga aku menahan tawa. Bisa-bisanya Azul melontarkan hal yang menyimpang jauh dari pembicaraan. Pantas saja nilai Biologinya di bawah kami.

“Aku salah, ya?” Azul bertanya dengan tolol.

“Aku tidak tahu arti dari kilauan di sekitarmu.” Aku kembali pada topik pembicaraan, menatap Alif yang berusaha mencari-cari kelap-kelip di sekitar kepalanya melalui kamera ponsel. Padahal sudah kuberi tahu bahwa hanya aku yang bisa melihatnya.

Masih pada usahanya mencari-cari sampai suara kamera ponsel Azul berbunyi, Alif tiba-tiba melontarkan hal yang mampu membuatku memukulnya. “Mungkin aku ini jodohmu.”

“Sikapmu membuatku jijik.” Alih-alih aku yang protes, justru Azul yang melakukannya. Dia sudah mengubah posisinya menjadi duduk di atas meja, memudahkannya mendengar dan memukul Alif kapan saja.

“Kamu juga membuatku jijik,” balas Alif.
Sebelum mereka bertengkar karena hal sepele, aku melanjutkan pembahasan. “Selain itu ....” Aku berhasil mengalihkan atensi mereka. Alif menatapku saksama sampai aku harus mendorong kepalanya menjauh. “Soal warna emosi yang kulihat. Tidak seperti yang lainnya. Aku bisa melihat warna-warna itu padamu kapan saja. Bahkan saat kita tidak bertatapan.”

Diam sejenak. Alif mencerna kalimatku sementara Azul mengubah posisi menjadi duduk di kursinya. Apa aku telah membuat Alif kecewa? Sudah beberapa bulan aku merahasiakannya, dan aku diam-diam membaca isi hati Alif dari warnanya. Jika itu aku .... Entahlah. Mungkin sedikit kecewa?

Namun, Alif berbeda dari yang lainnya. Warna kuning tiba-tiba muncul di sekitar kepalanya, lantas berucap, “Sudah kuduga kita ini jodoh.”[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top