Return of The Hero - Chapter 1
Title : Return of The Hero
Chapter : 1
Genre : Adventure, Fantasy
Year : 2016
Ada banyak hal yang bisa diceritakan oleh mimpi. Tampaknya mimpi tak pernah bosan untuk memberikan pengalaman aneh namun menyenangkan meski hanya dalam beberapa jam saja.
Pada saat manusia bermimpi buruk, kegelapan tersenyum sinis. Terornya membekas sampai beberapa hari. Kadang mimpi terasa begitu mengerikan, padahal hanya ada wajah yang terlihat di sana, wajah yang dikelilingi air hijau kental yang menempel di dinding seperti menggenangi tanah.
Kadang kita bermimpi sedang berlarian di padang rumput yang penuh dengan dandelion ranum. Ada matahari oranye yang menerangi pucuk-pucuk yang berembun--sekalipun sudah sore--. baru setelah bangun, kita terheran kenapa ada embun di sore hari? Tapi kita memaafkannya karena mimpi itu manis sekali.
Di lain waktu kita bermimpi mengenai hujan dan langit malam. Ada bulan dan bintang mengelilingi kita seperti awan yang meledak di dalam air. Ada orang bersepeda dari awan ke awan menyeberangi jembatan bima sakti. Kadang kita bermimpi tentang orang-orang yang kita cintai, atau bercinta dengan orang asing. Namun kadang kita bermimpi berada di tengah kota dikelilingi oleh mayat berjalan. Lalu, entah mengapa kita tertawa saat seseorang mengeluarkan mawar yang mekar dari telapak tangannya. Kita tertawa terus menerus, seakan itu lelucon yang sangat bagus. Kadang tawa itu turut terbawa sampai kita bangun. Kadang kita yang ditertawakan, kadang kita bernyanyi, namun suara kita terdengar seperti kicauan burung kenari.
Yah, itulah mimpi. Tidak masuk akal, tidak logis, tidak konsisten, tapi apa yang kita rasakan nyata.
Biasanya mimpi yang satu berbeda dengan yang lain setiap malam, walau sesungguhnya dalam semalam kita melihat banyak mimpi. Namun kadang mimpi yang sama terus berulang seperti labirin. Kadang mimpi yang sama terulang lagi beberapa tahun kemudian, namun kita masih bisa mengingatnya. Kadang kita memimpikan tempat tertentu, lalu melupakannya. Saat tempat itu kembali kita singgahi lagi di kemudian hari, timbul rasa nostalgik. Padahal tempat itu mungkin tidak nyata.
Josef selalu bermimpi tentang ksatria dan monster. Dalam mimpinya, darah monster memandikannya dari kepala hingga kaki. Tapi tubuhnya tidak ternoda oleh darah makhluk sadis itu. Pakaian besinya begitu tebal, begitu berat hingga berwarna hitam. Pakaian besi itu terlalu tebal untuk membuat tubuh yang dibungkusnya basah oleh air apapun, termasuk darah. Tapi suatu hari Josef bermimpi dirinya--menggunakan pakaian besi itu--tergelincir dan masuk ke dalam sungai yang deras. Dia tidak bisa mengapungkan tubuhnya, gelembung air di mana-mana menemani pekikan ngeri yang terbungkam oleh air sungai.
Bibir basah Lisa yang empuk menempel di kening Josef, membangunkan peternak itu dari mimpi.
"Selamat pagi, Paladin Granadia," sindir istrinya sambil tertawa kecil.
"Apaan sih ... ?" Josef mendengus, memejamkan matanya dari sinar matahari yang masuk diantara gorden kekuningan bermotif mawar.
"Bukannya kau menyukai mimpi-mimpimu itu? Pembantai monster ..." ledek Lisa.
"Iya, siapa yang tidak suka menang, sih? Kau sendiri sampai iri dengan mimpiku sehingga menyindir begitu," kata Josef dengan suara rendah, dia baru saja terbangun dari mimpinya sebagai ksatria berpakaian besi.
"Aku tidak menyindirmu, justru aku bangga seorang Paladin dari Granadia mau menikah denganku."
"Sekarang kau terdengar seakan aku terpaksa menikah denganmu," Josef melingkarkan lengannya memeluk pinggang istrinya. Matanya masih sedikit sensitif terhadap cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan.
"Hmm... yang pasti aku tahu hatimu ada di mana," kemudian Lisa menambahkan senyum di wajahnya yang cantik.
"Kalau begitu cobalah untuk terdengar nyaman tanpa tatapan minder seperti itu. Oke, kurasa hari sudah terlalu siang untuk mengobrol. Sapi dan domba sudah menungguku," Josef berguling di ranjangnya untuk turun. Setiap dia melakukan gerakan, otot-ototnya yang padat itu tertarik dan mengencang, Lisa tidak pernah berhenti memuja tubuh kekar suaminya. Banyak orang menganggap bahwa ketampanan seorang pria ditentukan dari seberapa simetris wajahnya, tapi bagi Lisa, Josef saja sudah cukup.
"Bagaimana bila ternyata kau memang seorang Paladin, Josef?" sahut Lisa, meletakkan kepalanya di atas bantal sementara mata hazelnya tidak berhenti mengekor Josef yang sedang membungkus tubuhnya dengan kaus berbahan wool. Ada luka-luka parutan, bekas luka yang telah mengering malang melintang di punggung dan dada Josef. "... akankah kau meninggalkanku?"
"Meninggalkanmu? Mungkin, bila kau tidak mau meninggalkan desa ini," jawab Josef dengan nada bergurau.
"Lalu kau sendirian di kota besar..."
"Merindukanmu setiap saat..." balas Josef, sedikit tidak yakin dengan itu.
"...atau bertemu wanita penyihir dari menara penyihir dan berselingkuh dengannya."
Josef kini mengerti bahwa istrinya yang pencemburu itu mulai mencari perhatian lagi. Dia pun kembali ke ranjang dan mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya, "kau sungguh-sungguh berpikir aku akan berpaling dari orang yang kucintai?"
"Yah siapa tahu. Kalau kau seorang Paladin, semua orang akan memujamu dan banyak gadis yang lebih cantik menunggu untuk menggeser posisiku sebagai istrimu."
"Kalau begitu, andai aku seorang Paladin, aku akan bawa biniku yang cerewet ini ke kota besar. Aku belikan dia gaun indah, serta kubuatkan dia meja kayu yang ramping untuk minum teh bersama teman-teman rumpinya sementara menungguku kembali dari perang."
"Aku tidak suka teh!" protes Lisa.
"Kalau begitu kopi."
"Aku juga benci kopi!"
"Hai, kau susah sekali dipuaskan, yah? Kalau begitu meja apapun yang penting kau senang."
"Hah? Segitu saja usahamu untuk menyenangkan aku?"
"Meja apapun kau takkan senang jadi kuserahkan padamu maunya apa."
"Ah dasar lelaki membosankan!"
"Sampai nanti, burung parkit kecilku," Josef lalu meninggalkan kamar untuk melakukan pekerjaan rutinnya sebelum tuntutan istrinya itu malah menjadi pertengkaran tak berarti di pagi hari.
Banyak orang bilang, lelaki yang baru pulang perang tubuhnya dipenuhi luka parut. Tapi Josef tidak pernah keluar dari Bukit Jowston. Perjalanan terjauh yang pernah ditempuhnya adalah puncak Gunung Birewar. Dia menakhlukkan gunung itu bersama teman-temannya saat masih remaja. Dari atas sana, desa Bukit Jowston tampak begitu kecil, seperti noda jamur pada lukisan tua. Begitu indahnya pemandangan di puncak bukit itu, Josef kadang memimpikannya. Ada gugusan awan semerah air jahe berkumpul di kejauhan, memberikan misteri tentang apa yang ada di sana. Sinar matahari terbelah-belah seperti tirai cahaya dari langit. Kadang dia melihat awan jatuh ke tanah, pada saat hujan deras turun di sebuah hutan yang sangat lebat.
Josef ingat, dulu pernah ada sekelompok prajurit entah dari mana muncul di desanya. Orang bilang, para prajurit liar itu adalah prajurit kalah perang yang berhasil melarikan diri dari medan perang, kemudian kelaparan. Mereka menjarah desa karena sudah terlalu lapar untuk menjelaskan apa yang terjadi agar para penduduk mau memberi mereka makan. Para prajurit itu menghancurkan segalanya, termasuk keluarga Josef. Josef melawan mereka tentunya, walau dia masih remaja. Tapi dia tidak ingat bagaimana perkelahian itu terjadi. Dia hanya tahu bahwa itu adalah perang pertama dan terakhirnya, pertama kalinya dia menyerahkan masa depannya di ujung pedang yang tajam. Ada yang mati, entah siapa, dia juga lupa apakah dia sempat membunuh orang sebelum semuanya jadi gelap dan para prajurit itu hilang seperti asap yang ditiup angin.
Dia sudah membuka pintu kandang ternak setiap pagi sejak dia masih 13 tahun, menggantikan ayahnya yang pneumonia. Wolvie, anjing gembala peliharaan keluarganya dengan sigap mengiring ternak keluar ke lapangan yang dibatasi oleh pagar-pagar berkayu.
Rumput liar terjepit di antara kedua rahangnya, Josef menyandarkan tubuh pada pagar kayu itu mengamati ternaknya. Wolvie merunduk, kedua kaki belakangnya bergerak-gerak seperti sedang bersiap untuk adu lari. Bahunya merendah, namun kepalanya turun lebih rendah lagi. Tatapan matanya fokus menatap sesuatu yang sedang mematuk-matukkan paruhnya meminum embun yang menempel di rerumputan liar. Wolvie segera bertolak, melesat kencang sekali untuk menghalau burung-burung merpati liar itu. Namun merpati liar itu lebih cepat darinya, mereka mengudara dengan mudah, kabur sampai ke hutan diiringi salakan Wolvie.
"Hei, Josef! Aku lihat anjingmu suka mengejar burung, apa dia juga yang menerkam ayam-ayamku?" seorang pria paruh baya berjalan mendekat, di tangannya terlihat ada seekor unggas tergantung tak bernyawa. Kedua sayapnya yang lebar--namun tidak cukup kuat untuk mengangkat tubuhnya yang gemuk--terentang lunglai seperti kipas yang rusak.
"Kau tahu apa yang mereka katakan mengenai Bukit Jowston? Sisi barat dibatasi peternakan sapi Josef de Tirste, sedangkan di timur ada peternakan ayam Jackie Jacks. Sepanjang hari Wolvie mengendus pantat sapi, bagaimana mungkin dia punya waktu untuk ke peternakanmu dan makan ayam?" jawab Josef.
"Kau benar untuk itu, tapi kenyataannya sejak pagi aku berkeliling Jowston, tidak ada yang mau mengaku siapa yang membunuh ayam-ayamku!" Jackie berkacak pinggang, menggeser topi jeraminya ke belakang agar dia bisa menggaruk keningnya yang merah dengan kuku ibu jari.
"Kalau begitu berarti ada yang tidak jujur, Jackie," namun saat Josef melihat bangkai ayam itu lebih jelas lagi, dia terdiam. Ayam itu tercabik seperti kain yang disobek oleh tangan yang sangat kuat. Memang mirip seperti diserang serigala atau anjing--lebih buruk, macan.
"Oh ya, ini bukan kerjaan manusia, menurutku. Tapi ayammu ada 3000, mati dua tidak masalah, kan?" kata Josef.
"Kalau ayamku hanya mati lima sekalipun, aku kuliti mereka dan kuadakan pesta malam ini. Kuundang semua orang, termasuk Ian Dun!"
Josef tertawa mendengar nama itu. Tidak ada yang mau mengajak Ian Dun si penggerutu ke dalam acara bahagia mereka. Namun tidak berarti mereka bersedia mengundang Ian Dun dalam acara duka.
"Memangnya ada berapa yang mati?" tanya Josef.
"Entahlah, mau membantuku menghitungnya?" pertanyaan Jackie itu membuat Josef mengernyitkan kening.
Dengan segera kedua orang itu melintasi desa dari ujung barat Jowston menuju ujung timur Jowston, tempat peternakan ayam milik keluarga Jacks berada. Sepanjang jalan Jackie menceritakan dengan lengkap dan detail tentang keanehan yang terjadi di peternakannya pagi ini.
"Semua ayam-ayam itu masih berkotek dan berebut makanan saat kutinggal malam tadi. Aku mengunci pintu kandangnya dengan komplit; rantai dan gembok. Kuncinya masih ada di tempat terakhir aku meletakkannya, di dalam lemari. Bila bukan istriku, maka aku tidak tahu lagi siapa pelakunya. Mungkin aku, tapi aku yang berjalan dalam tidur. Tapi kamar selalu kukunci setiap malam sehingga tidak mungkin orang yang tidur berjalan bisa keluar dari kamar itu. Lagipula, aku tidak yakin ada orang yang bisa mencabik ayam itu seperti merobek pakaian gimbal...." kemudian matanya melotot, ada ngeri yang berbicara dari sorotnya. "... kau harus lihat, Josef. Lihat bagaimana mereka tergeletak. Seperti ada rahang besar yang menggigit mereka lalu menariknya. Ayam-ayamku tidak hanya dibunuh, tapi disobek! dan yang mengherankan, tidak ada satupun bagian tubuh yang hilang--ehh ... sepertinya--karena aku tidak punya waktu untuk menghitung berapa yang masih hidup dan berapa yang sudah berserakan di sana... hufff..."
"Memangnya kau tidak dengar apapun?"
"Aku tidak yakin, tapi .... istriku bilang ada yang mengamuk di kandang ayam, tapi dia ketakutan dan tidak bisa membangunkan aku."
"Yah, kau memang sulit dibangunkan kalau sudah mendengkur pulas, Jackie."
"Ronnie tidak berguna. Bocah itu malah diam saja saat kutanyai. Dia malah mengurung diri di kamar dan tidak menyentuh sarapannya sama sekali."
"Dia ketakutan. Dia pasti tahu sesuatu. Andai aku menjadi kamu, aku juga akan merasa takut," Josef bersimpati.
"Aku tidak takut!" seru Jackie dengan tegas. "Aku hanya bingung, apa yang sebenarnya terjadi di peternakanku, dan... kapan itu terjadi?"
Saat mereka melewati tukang cukur keluarga Dun, terdengar keributan dari dalam. Seorang wanita berteriak-teriak marah, diikuti suara barang-barang jatuh berserakan di atas lantai kayu. Tak lama kemudian pintu tempat cukur itu terbuka keras, nyaris meretakkan kaca yang terpasang di sana. Sesosok pria kumal dengan kulit penuh bercak hitam berjalan keluar dengan langkah terseok.
"Dasar istri durhakaaaa!! Aku bersumpah kau akan mati tersedak sayuran!!" seru lelaki kurus dengan bercak-bercak hitam itu dengan marah.
"Terserah! Yang penting aku tidak tersedak nafasmu yang bau itu, dungu!!" terdengar suara wanita dari dalam sana, membalas serapah Ian Dun.
"Ah!! Josef, kau daritadi di sini, ha?!" Ian Dun berjalan menyeret kakinya yang kelainan sehingga membentuk huruf O, dia menarik tangan Josef agar mereka berdua berdiri persis di depan pintu bangunan tukang cukur rambut keluarga Dun itu.
"Lihat!! Josef di sini sejak tadi! Dia dengar semua yang aku katakan padamu!! Josef, katakan pada wanita bodoh itu bahwa yang kulihat malam tadi benar!"
"Maaf, Ian, aku tidak tahu apa yang kau katakan pada istrimu, maupun apa yang kau lihat semalam," kata Josef padanya.
"Kau tidak menyadarinya?? Serigala! Serigala raksasa mengobrak-abrik peternakan ayammu dan mencabik-cabik semuanya!"
"Wah, aku tidak tahu tentang itu, aku 'kan tidak berternak ayam. Jackie?" Josef lalu menoleh ke belakang dimana Jackie Jack sedang berjalan mendekati mereka berdua. Apa yang dikatakan Ian telah menarik rasa ingin tahunya.
Ian malah memukul bagian belakang kepala Josef dengan kuat, sebagaimana seorang ayah mendisiplinkan putranya yang bicara sembarangan, "kalau begitu berdustalah agar istriku yang bodoh itu mau mendengarku! Katakan kau ikut melihatnya karena bila kita tidak pergi dari desa ini, kita semua bisa dimakan seperti ayam-ayam itu!!"
"Yang punya peternakan ayam itu aku," kata Jackie pada Ian, seperti orang tersinggung dia mengayun-ayunkan bangkai ayam di tangannya agar pria kumal itu melihat, "Josef punya peternakan domba dan sapi, bukan ayam. Peternakan ayam terbaik di Jowston, 3000 ekor ayam gemuk-gemuk dipelihara dengan baik selama empat generasi, itu milikku!"
"Diam kau! Tidak usah ikut campur urusan orang lain!" hardik Ian dengan galak. Namun dia melihat ayam mati yang sedang dibawa oleh Jackie, kemudian menyambarnya.
"Annabodoh! Lihat ini! Jackie membawa buktinya!! Ayam mati dari peternakannya Josef!!"
Kini Jackie berjuang menahan diri untuk tidak menyusun ulang wajah Ian yang memang butuh untuk disusun ulang itu. Dia menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berharap bisa menahan mereka untuk tidak melayang ke wajah lelaki tua penderita polio itu.
Balas istrinya, "Josef tidak punya ayam, Iandungu!!"
"Faktanya ada di tanganku!! Sekarang kamu dengarkan aku dan katakan semua pada iparmu agar iparmu bisa bilang pada sepupunya, dan sepupunya bilang ke istrinya, lalu istrinya bilang ke kakaknya agar kakaknya itu bisa bilang ke ibunya dan ibunya bilang ke suaminya yang kepala desa bahwa desa ini diserang monster!" seru Ian Dun dengan suara kencang.
Namun sekotak penuh berisi gunting terbang melayang ke arah mereka. Sementara kotak itu berputar di udara, isinya berhamburan keluar. Tiga orang pria itu harus menyelamatkan diri dari sana bila tidak ingin ada gunting menancap di tubuh mereka.
"Haduh ... kenapa kau bawa dia?" desis Josef.
"Dia melihat apa yang terjadi di peternakanku malam tadi!" kemudian Jackie berpaling pada lelaki polio itu, "Ian, katakan apa yang kau lihat di peternakanku!"
"Aku jadi bingung ... peternakanmu atau Josef?"
"Josef di barat, aku di timur. Itu peternakanku!"
"Kau salah! Aku jelas-jelas berada di rumah Josef di timur!"
"Rumah Josef di Barat, tidak ada ayam di sana!" Jackie makin kesal.
"Tapi ..."
"Ya sudah! Apa yang kau lihat di peternakan ayam Josef di timur semalam?"
"Monster!!" Ian gemetar sambil menggambarkan dengan kedua tangannya betapa besar monster itu. Matanya pun sampai terbelalak lebar. "Monster hitam, bergigi taring seukuran jari tanganku... eh tidak... seukuran pisau dapur! Matanya merah! Dia berdiri dengan kedua kaki belakang seperti manusia, dan punya tangan seperti manusia, tapi kepala dan tubuhnya serigala! Dia punya ekor! Aku yakin ada siluman serigala hitam, besar dan jahat bersembunyi mengintai Jowston Hill di balik hutan!! Satu persatu kita akan dimakan sampai habis semuanya!!"
Ian Dun memang bukan orang yang akan diandalkan orang lain untuk meminta nasihat atau petunjuk. Dia juga bukan jenis orang yang dicari-cari untuk urusan fisik. Walau Ian Dun bukan jenis orang yang suka berbohong, tapi dia sungguh seorang pencari perhatian. Dia sering salah paham terhadap suatu hal, kemudian menceritakannya kembali dengan penuh imajinasi, dia ingin orang tercengang dengan kata-katanya, tapi sayang, anak-anakpun tidak mau mendengarkan dramanya.
Josef membantu temannya membersihkan kandang ayam yang sudah berantakan. Jelas ada pembantaian di tempat ini semalam. Dilihat dari pucatnya wajah Robbie, bocah itu pasti melihat sesuatu yang mengerikan. Tapi anak 12 tahun itu hanya berdiri saja memandangi ayahnya dari balik ruangan lain, ketika disapa dia akan kabur dan masuk ke dalam kamarnya, tidak lupa mengunci pintu.
"Bilang saja pada kepala desa, dia pasti mau mendengar kita asal kita punya buktinya," Josef memberi saran sambil menyekop bulu-bulu ayam yang berserakan di lantai kandang.
"Tapi sekadar ini saja tidak akan cukup. Dia akan mengatakan ada serangan serigala dan akhirnya ini adalah kesalahanku karena tidak mengunci pintu kandang dengan benar. Padahal kau tahu sendiri bukan begitu kejadiannya."
"Tapi apa kejadian sesungguhnya aku pun tidak tahu."
"Jo. Bicara apa sih kamu? Kamu pikir serigala bisa melakukan ini? Kau lihat pintu kandang ayamku!" Jackie menunjuk potongan-potongan kayu yang dulu adalah pintu kandang. "Kalau serigala bisa melakukan itu, ayam-ayamku sudah habis sejak dulu!"
"Kenapa tidak kau bilang begitu saja pada kepala desa?"
"Dia pasti akan menanyakan padaku siapa pelakunya, dan bila aku katakan Ian Dun melihat pelakunya, dia akan menyelesaikan percakapan dan tidak ada apapun yang terjadi di desa ini selain seorang peternak ayam yang teledor sehingga kandang ayamnya diserang serigala. Seribu ekor ludes dalam waktu semalaman," Jackie menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali membersihkan kandang ayamnya dari sisa-sisa kejadian semalam.
"Lalu apa rencanamu?"
"Yang pasti aku tidak akan mau melepaskan siapapun pelakunya itu begitu saja. Setidaknya aku harus bisa meyakinkan kepala desa bahwa kita semua dalam bahaya!" kata Jackie, mantap.
Josef pun menyadarinya. Mungkin awalnya binatang atau monster itu hanya menyerang hewan-hewan ternak. Namun lambat laun hewan ternak akan habis, menyisakan para penduduk Jowston Hill. Mungkin pada saat semua orang menyadari bahaya tersebut, semua sudah terlambat. Maka Josef sepakat dengan Jackie; mereka harus bisa meyakinkan kepala desa akan bahaya ini sebelum ternak-ternak sudah habis.
Orang desa tidak akan mau mendengarkan Ian Dun, tapi mereka akan mendengarkan Josef, apalagi Jackie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top