[COTAS - P] Bad Omen
Judul cerita : Clash of The Ancient Souls - Prelude
Genre : Fantasy, Petualangan
Tahun : 2015
------------------------------------------------------------------------------------------
Pagi tadi dia membuka mata untuk pertama kali sejak dua ratus tahun lalu dan perutnya terasa sangat lapar. Dunia memang sudah banyak berubah, bangsa bau dan lemah yang dulu sering mencoba untuk membunuhnya dengan batu dan kayu, kini sudah bisa melakukan lebih banyak hal.
Dia, Cnauan, cukup terkejut melihat ada bangunan-bangunan sederhana seperti tumpukan jerami yang disangga dengan ranting-ranting kayu. Belum pernah ada hewan manapun yang merayap di kulit Adamos ini yang memiliki kemampuan teknis semaju itu. Tapi makanan tetap makanana, dia akan turun untuk memanen satu atau dua orang dari makhluk berisik tersebut sebagai santapan pembuka.
Mereka melemparinya dengan batu, berteriak-teriak dengan suara histeris memekakkan telinga. Tapi semua itu tidak terasa sedikitpun bagi Cnauan. Gatalpun tidak. Dengan santai dia memilih satu mangsa yang kelihatannya enak. Mana ya?
Saat ada bongkahan batu menimpa kepalanya, Cnauan pun menentukan pilihannya. Secepat dia datang, secepat itu pula dia pergi.
Terlungkup damai di dalam ruangan gelap, dia menikmati santap siangnya hari ini. Terdengar suara lengket dari rongga mulut dimana darah dan liur bercampur jadi satu. Terasa olehnya bagaimana gumpalan daging dan darah menelusuri lambungnya, siap untuk dicerna. Sesekali dengkuran nikmat terdengar keluar dari hidungnya, mengatakan betapa nikmat makan siangnya ini. Bau anyir darah mengisi ruang tidurnya selama ribuan tahun, menambah koleksi kerangka manusia yang sebagian telah runtuh menjadi kapur.
Makan siangnya ini sudah cukup berumur untuk ukuran manusia. Pasti delapan puluh tahun atau sekitar itu. Saat Cnauan tiba di perkumpulan tumpukan jerami di bawah gunungnya, lelaki tua itu menyerahkan diri agar teman-teman dan keluarganya tidak disantap. Ide bagus, pikir Cnauan, mangsa ini cukup bijak untuk mengetahui bahwa dirinya suka makanan yang sudah berumur. Dagingnya punya aroma yang kuat, sebenarnya lebih nikmat daging yang masih muda, terutama yang sudah pernah melahirkan. Tapi bukan daging yang menjadi prioritas Cnauan.
Sekali hentakan, rahangnya melumatkan kepala makan siangnya. Seperti semangka yang hancur dalam mulut, dan airnya mengalir masuk ke dalam tenggorokan. Tapi dia tidak mau menghancurkan organ di dalamnya, karena disanalah semua informasi berada. Kepala itu terlalu kecil untuk kerongkongannya, dengan mudah makanan itu menggelinding masuk ke dalam perut dan meleleh oleh enzim pencernaan.
Sambil menunggu tubuhnya menyerap sari-sari makanan yang masuk, dia mengunyah-ngunyah tulang terkeras manusia; tulang kaki. Lumayan untuk membersihkan sela gigi juga.
Pertama-tama, perutnya terasa puas. Kemudian, seiring energi baru yang timbul, darahnya mengalir lebih deras. Akhirnya, segurat aliran listrik mengalir menuju kepalanya. Saat yang paling dinantikan Cnauan.
Cnauan meninggalkan mainannya—tulang kaki tersebut—dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit goanya yang gelap.
Untuk sejenak, dia hanya mematung.
Hal favoritnya itu masuk ke dalam kepalanya seperti kawanan semut yang berlomba pulang ke sarang. Cnauan melepaskan geraman rendah penuh rasa puas. Perlahan dia menutup matanya yang berlapis tiga dan menikmati memori mangsanya.
Dia seorang lelaki kekeluargaan yang punya banyak anak dan cucu. Seumur hidup disegani dan dihormati. Pada masa mudanya dia menjelajahi dunia dan melihat banyak hal, bertemu manusia lain, jatuh cinta dua kali. Sekalipun istrinya sangat manis, namun dia tidak pernah bisa melupakan cinta pertamanya yang gagal dia selamatkan dari meja makan seekor Dragon lain. Tapi dia bukanlah jiwa yang keras, daripada membalas Dragon itu, dia hanya memendam sakit hati itu sendiri. Berharap waktu bisa menjembuhkannya.
Namun tidak sebatas itu saja. Ternyata si mangsa ini bukan manusia biasa. Dia sejenis manusia pintar yang sanggup membaca formasi bintang. Dan apa yang telah dia baca di atas sana turut terbaca oleh Cnauan. Memahami apa yang terjadi di langit, Dragon itu menjadi tidak puas.
Cnauan mengangkat keempat kakinya hingga berdiri. Ia memanjat keluar liangnya dimana terlihat hamparan dunia Adamos yang luas. Angin bertiup kencang, namun tidak sekencang bila dia sedang mengepakkan sayapnya di antara awan-awan. Sudah lama sekali dia hidup di sini, di Adamos. Begitu lamanya hingga bosan, bila sudah benar-benar bosan, dia akan tidur sampai tidak bosan lagi. Baru saja bangun dari tidur, ada kabar mengejutkan.
Ia memincingkan mata kearah dimana terakhir dia melihat sang Dark Saint.
Sebuah tempat yang kini menjadi jurang, retakan besar seperti luka parut yang selamanya takkan sembuh menodai tanah Adamos. Retakan itu terjadi karena sang Dark Saint dikeroyok oleh para Dragon yang tersisa. Para Dragon bertempur mati-matian, mencoba untuk membunuh sang Dark Saint agar tidak dibunuh. Mencoba untuk melawan arus takdir Adamos, bertahan hidup sebagai mereka yang ada karena tak terencana.
Cnauan masih ingat ... mungkin lima ribu tahun lalu, mungkin lebih, saat pertama kalinya setan itu muncul. Sekalipun para Dragon sudah bersatu untuk menghabisinya, namun dia tak terkalahkan. Dia bagai tidak terbuat dari materi dunia ini, dia seperti para dewa di langit dan di bawah tanah. Kaum immortal. Sekali lagi kenangan itu muncul dalam benaknya, kenangan yang begitu mengerikan sehingga reinkarnasi tidak sanggup menghapusnya.
Dia hanya makhluk berbentuk Dragon, punya wajah berberupa antara banteng dan reptil. Tubuhnya berukuran kecil, mungkin hanya dua kali lipat ukuran tubuh makan siangnya. Tanduk serupa tanduk rusa tumbuh di dahinya dan rahangnya pernah melumatkan leher sahabatnya, sang Dragon Besi, Ferum. Dia punya lengan yang mirip tangan kera yang kekar. Dan lengan itu mencabik tubuh bangsa Dragon sampai remuk. Tidak punya sayap, tidak punya nama. Dia bukan Dragon, karena setiap Dragon tahu nama mereka sendiri sekalipun Dragon yang tak bersayap, Naga.
Dia, sang malaikat maut, pembuka jalan untuk Ragnarok. Kiamat yang tak terbendung.
Kaki depannya gemetar menahan rasa takut yang muncul. Cnauan bergumam, suaranya berat, "... Fomalhaut ...?"
=========================================================
Kiki bergegas ke dapur, tidak tahan dengan bau makanan basi yang ada di bawah hidungnya. Mencoba untuk tidak tergelincir roknya sendiri, dia melangkah hati-hati di atas karpet merah, keluar dari perpustakaan, menuruni tangga melingkar dan sampai di dapur. Sampai di tempat mencuci piring, dia baru bisa bernafas lega.
"Tenang, hanya makanan basi," seorang lelaki gendut, tukang cuci piring istana menghiburnya.
"Aku tidak suka bau busuk, dan juga, aku tidak suka orang membuang-buang makanan." Jawab Kiki.
"Ini punya siapa?" lelaki gendut itu mengambil piring tersebut dan membuang isinya ke dalam tempat sampah di dekat tempat mencuci piring.
Kiki membuka mulutnya untuk menjawab, namun ada suara lain yang lebih cepat menjawabnya. "Quasimodo."
Cepat-cepat dua orang anak dapur itu menoleh ke sumber suara, dari pintu dimana ada tangga berputar menuju perpustakaan berada. Seorang pemuda berwajah dingin dengan mata biru berdiri di sana. Lingkaran terbuat dari emas melingkari kepalanya, dia adalah seorang pangeran.
"P-Pangeran!" keduanya segera membungkukkan kepala.
"Benar, itu makanan Quasimodo?" ulang sang pangeran.
"Benar, P-pangeran. Ini makanan milik Quasimodo," jawab Kiki setelah disikut oleh temannya.
Dahi pangeran muda itu berkerut, wajahnya menjadi semakin serius. Ia segera kembali menaiki tangga meninggalkan dua anak dapur itu.
"Pangeran Alexei kalau muncul tidak ada suara ... seperti hantu saja..." gumam si lelaki gemuk.
"Hush! Jangan begitu! Nanti Pangeran bisa marah."
"Oh ya, kau benar." Si lelaki gemuk kembali duduk di atas kursi kayu dan lanjut membersihkan tumpukan mangkuk kotor di sekitarnya, "tapi kalau soal Quasimodo, dia pasti perhatian sekali. Dulu juga pernah Quasimodo tidak menghabiskan makanan, Pangeran langsung serius. Mukanya seperti baru saja mendapat ancaman pembunuhan."
Kiki mengambil tumpukan piring yang sudah bersih dan menyusunnya dalam sebuah rak, sambil melakukan itu, dia menjawab dengan suara pelan. "Soalnya, Quasimodo itu kan astrolog, kalau dia tidak mau makan pasti dia membaca sesuatu yang tidak mengenakkan di langit."
"Kamu tau dari mana?"
"Idih .. kamu di sini sudah berapa lama sih? Quasimodo saja tidak tahu pekerjaannya apa."
"Hahaha ... jangan marah gitu dong, Kiki. Maksudku, bisa jadi Quasimodo tidak mau makan karena sedang patah hati."
Walau yang dikatakan temannya itu benar juga, tapi Kiki tetap percaya pada apa yang selama ini sudah pernah—bila tidak sering—terjadi. Dia sudah menjadi anak dapur sejak Bibi Nana mengadopsinya sebagai anak, dan berkat tugasnya mengantar makanan ke pejabat-pejabat istana, Kiki mengerti sedikit-sedikit mengenai siapa para petugas itu dan apa pekerjaan mereka dalam melayani Raja serta kebiasaan mereka.
Quasimodo cukup spesial, pertama karena wajahnya yang tampan sehingga Kiki mudah mengingatnya, kedua karena dia sangat berbeda dari pejabat istana lainnya. Pada hari-hari dimana orang beristirahat, Quasimodo lebih suka di perpustakaan, di bilik observasinya. Dia tidak banyak bicara dan tampaknya memiliki wajah yang selalu murung. Mungkin selain Kiki, Pangeran Alexei yang tahu betul bahwa bila Quasimodo tidak makan, itu berarti ada pertanda buruk di langit malam.
Biasanya bila ada pertanda buruk yang dilihatnya di langit malam itu, Quasimodo akan mematikan semua lilin dan obor di dalam ruangan observasinya, hanya menyisakan satu lilin di dekatnya saja. Kemudian dia akan menenggelamkan diri dalam timbunan gulungan-gulungan surat kuno dan buku-buku tua peninggalan para bapa filusuf zaman dahulu.
"Ini hari ke tiga anda tidak menghabiskan makanan, Quasimodo." Suara Pangeran Alexei mengejutkan astrolog tersebut.
"Pangeran, selamat datang." Quasimodo berlutut, gerakannya sangat lesu seperti kekurangan energi.
"Berdirilah dan cepat katakan padaku, apa yang kau lihat?"
Ketika mengangkat wajahnya, Pangeran Alexei terkejut melihat betapa pucat wajahnya. Quasimodo lebih mirip hantu daripada manusia. Apapun masalah itu, tampaknya benar-benar gawat.
"Dia datang, Pangeran..." jawabnya dengan suara pelan. Andai dia makan, mungkin suaranya lebih kencang lagi sehingga Pangeran Alexei tidak perlu repot untuk membungkukkan badan agar telinganya lebih dekat dengan mulut Quasimodo. "... Fomalhaut. Dia datang. Apa yang harus kita lakukan?"
"Fomalhaut ... kamu yakin itu, Quasimodo?"
Astrolog itu berdiri dan mengantar pangeran ke sebuah balkon yang terletak di luar ruangan observasinya. Luas balkon ini cukup besar untuk menjadi tempat berdansa tanpa sang penari harus cemas dirinya menabrak tembok atau kerumunan penonton. Tapi Quasimodo tidak pernah berdansa, dia menjadi astrolog karena kecintaannya terhadap hamparan bintang di langit malam yang gemerlap.
Dia menyerahkan selembar kertas berisi gambar titik-titik yang sepintas tampak tidak beraturan untuk dilihat Pangeran Alexei, kemudian mulai menjelaskan. "Titik-titik ini adalah bintang-bintang paling besar di langit sejak ratusan tahun lalu. Para filusuf menyebut mereka sebagai "para raja"."
Alexei tidak buta terhadap ilmu astrologi, sekalipun pengetahuannya tidak sedalam Quasimodo, namun dia mengerti bagaimana cara membaca langit—asal ada yang memberitahu apa makna bintang-bintang itu. Dengan cepat dia membandingkan antara peta di atas perkamen dengan langit malam, dengan cepat pula dia mengerti kenapa Quasimodo tidak mau makan selama tiga hari.
"Kemana bintang-bintang raja itu?" kemudian Pangeran memeriksa nama peta tersebut, "kamu tidak salah peta, kan?"
"Tidak, Pangeran. Peta yang kutunjukkan ini sudah sesuai dengan kondisi musim panas hari ke 27 sekarang ini."
Pangeran membeku, tanpa berkedip dia memandang langit malam selatan tanpa bintang-bintang raja. "Hanya di langit selatan?"
Quasimodo menyerahkan tiga peta lain untuk membantu pangeran memeriksanya, "sayangnya, tidak, Pangeran."
Dengan cepat Pangeran Alexei mengambil peta yang diserahkan Quasimodo, dan dengan cepat dia melihat bintang-bintang raja di langit utara, barat dan timur pun hilang. Hanya ada satu bintang berwarna hijau di langit utara.
"Hanya itu bintang raja yang tersisa di langit, masih ada harapan ..." baru saja selesai Pangeran mengucapkannya, bintang hijau itu meredup bagai terhisap medan hitam yang tidak terlihat. Saat hal itu terjadi, sesuatu yang dingin seperti sedang membelai tengkuk dan lengan Pangeran Alexei. Pangeran pun membeku.
"Oh tidak ... oh tidak! Ini benar-benar celaka!" Jerit Quasimodo, histeris seperti orang gila. "Tidak ada harapan, kita semua akan musnah. Takkan ada lagi manusia, semua akan ditelan oleh Fomalhaut!"
Pangeran cepat-cepat mencengkram salah satu bahu Quasimodo, kemudian menampar wajahnya. Astrolog itu terhuyung jatuh ke lantai observatorium, mengambil nafas dengan berat. Tamparan pangeran di pipinya membuat frustrasinya yang meledak itu reda dengan cepat.
"Catatan-catatan yang memberitahukan kita mengenai Fomalhaut berasal dari zaman ketika Dragon menjadi satu-satunya makhluk yang mengenal tulisan. Mereka menuliskan itu di dinding liang peristirahatan mereka, dan setelah Ragnarok, para sejarawan menurunkannya di atas perkamen. Fomalhaut mungkin berhasil memusnahkan para Dragon, tapi kita manusia berbeda dari mereka. Aku akan mencari akal, umat manusia tidak akan musnah!"
"Dan aku ...," Quasimodo berdiri, tergugah oleh ucapan Pangeran Alexei. "... aku akan tetap berada di belakang anda, mendukung setiap apapun yang anda lakukan, Pangeran!"
Pangeran Alexei meninggalkan ruang observasi, ada kilatan tekad yang membara dari pancaran matanya. Dia mungkin tidak kuat mengayunkan Zweihander di medan perang seperti kembarannya, Andrei, tapi jiwanya adalah yang terkuat di antara seluruh umat manusia. Alexei bersumpah, tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menggoyahkan tekadnya untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari kehancuran yang akan dibawa Fomalhaut.
==========================================================
COTAS adalah proyek fantasi pertamaku, dan berawal dari RPN di sebuah forum tahun 2008. Sejak itu hingga sekarang selalu mengalami perkembangan, memiliki konsep dunia yang cukup luas sehingga membuat saya ragu apakah sudah mantap untuk diceritakan atau tidak. Untungnya belajar filsafat selama dua tahun di STF Driyarkara membuat cerita ini jadi semakin terarah. Saya pun menemukan bahwa pengetahuan dan imajinasi membuat proses kreativitas jadi semakin menyenangkan. Saya akan terus berjuang memperbaiki saga ini hingga dia siap untuk meluncur ke dunia. Mwahahahaha ... ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top