5
We each survive
in our own way.
Sarah J. Maas
•••
Kegelapan punya banyak cara untuk menyelinap masuk ke dalam diri seseorang. Drake punya miliknya sendiri, dan begitu juga Neryssa. Perlu banyak keberanian untuk membiarkan orang lain melihat kegelapanmu. Jadi, saat Neryssa menawarkan miliknya untuk terbuka di depannya, Drake merasa terhormat.
Dia telah mendengarkan setiap kata. Membiarkan Neryssa menumpahkan kegelapan yang telah disimpan sendirian selama ini. Dan sekarang dia tergoda. Dia menatap ruang di kamarnya. Berjalan mengitarinya saat sebuah pikiran yang belum pernah ada di sana mengejeknya. Langkah kakinya menciptakan bunyi gema yang mengganggu, detak ritmis yang tidak pernah berubah. Nada konsisten seperti hidupnya saat ini. Terbuang. Tidak diinginkan. Dicap sebagai orang yang bersalah. Asumsi adalah makhluk yang mengerikan, makhluk liar yang tidak bisa dijinakan. Mungkin dia butuh perubahan ini.
Untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan seseorang bertanya padanya. Menginginkan bantuannya. Ingin dukungannya. Dia dan Neryssa bukan apa-apa selain orang asing, tapi mereka pasti sama putus asanya. Dia ingin membantu Neryssa untuk membuat jalannya lagi. Pikiran untuk membuat hidup orang lain lebih baik, untuk kembali memiliki tujuan. Drake menginginkan itu.
"Apa hal yang benar untuk dilakukan?" suaranya terdengar tipis, seolah dia sendiri tidak ingin mendengarnya. Grishold adalah rumahnya. Akan selalu menjadi rumahnya. Namun tidak ada apa-apa lagi yang tersisa untuk Drake di sini.
Dia ingin bertanya pada seseorang, ingin sebuah nasihat. Beberapa patah kata untuk meyakinkannya. Hanya saja dia tidak punya siapa-siapa. Jika dipikir-pikir dia tidak pernah memiliki siapa pun bahkan dulu saat dia masih dihormati, saat dia masih diterima. Di masa lalu dia selalu fokus pada kepentingan terbaik kerajaannya. Tugas adalah segalanya bagi Drake. Sebagian karena dia percaya itu adalah hal yang benar untuk dilakukan dan sebagian lagi dia ingin membuktikan diri pada ayah dan saudaranya. Kemudian Rose datang, menyalakan api dan membakar segalanya.
Telapak tangannya mengepal dan terbuka di sisi tubuhnya. Gatal untuk menyalurkan emosinya. Sudah sangat lama dia tidak melakukan sparing. Keinginan untuk merobek buku jarinya, untuk mengeluarkan rasa frustasi yang menumpuk seperti arus badai yang berderak di dalam dirinya tak tertahankan. Tiba-tiba dia berhenti di langkahnya. Tangan menggosok wajahnya yang kasar dengan cambang selama dua minggu yang tidak dipotong.
"Aku harus keluar dari sini."
Dia butuh keluar dari sini. Perasaan sesak, perasaan tidak bisa menarik napas ke paru-parunya memicu langkah kaki Drake keluar dari kamar. Lorong kamarnya sepi. Ini jam di mana prajurit akan berada di ruang latihan. Dia telah memutuskan untuk tidak lagi hadir. Memilih mengasingkan dirinya di kamar sejak keheningan dan penolakan mentah setiap orang saat dia hadir. Tapi dia perlu mengeluarkan ini. Dia tidak tahan lagi. Tidak sedetik lebih lama.
Ketika dia mencapai aula utama orang-orang menyingkir dari jalannya seperti ombak. Kesadaran menusuk jantungnya. Bagaimana dia tidak menyadari itu sebelumnya?
Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ohh ... Drake menyadari orang menghindarinya, yang tidak dia sadari adalah keinginan di dalam tindakan itu. Mereka tidak memaksudkan itu sebagai hukuman. Itu adalah teriakan permohonan agar dia pergi.
Tidak diinginkan. Tidak dibutuhkan. Sia-sia. Kosong.
Dia melihat merah saat melintasi halaman. Tidak terlalu yakin apakah dia marah atau sangat sedih. Drake curiga itu adalah keduanya. Dia mendorong pintu ruang latihan. Semua bunyi denting dan celoteh terhenti saat orang-orang menyadari kehadirannya. Keheningan yang menusuk kulit seperti ribuan jarum panas hampir membuatnya berteriak. Dia ingin. Namun dia memegang kendali tubuhnya dan mendorong teriakan ke dasar perutnya. Drake tahu dirinya hampir retak.
Bunyi detak sol sepatunya melawan lantai kembali mengganggunya. Detak ritmis yang stabil mengejeknya. Sudut matanya berkedut. Seharusnya dia tidak datang ke sini, tapi sudah terlambat untuk berbalik sekarang. Dari sudut matanya dia bisa melihat Quinn dan Luther menatap dengan putus asa. Drake mengabaikan mereka.
Dia terus berjalan ke arah ring sparing. Mengambil pedang tumpul dari salah satu rak dan membawa dirinya masuk. Dua orang telah menggunakan ring sebelum dia muncul. Salah satunya telah tersandung dan belum juga berdiri sejak dia masuk. Seolah waktu telah dibekukan dan tidak ada yang bisa bergerak.
"Kamu mengayunkan pedangmu dengan salah," ucap Drake pada prajurit yang sekarang mulai berdiri.
Pria itu berkedip menatapnya sekilas dan mengangguk dengan enggan. "Aku akan terus berlatih, Kapten."
"Aku akan menunjukkan padamu," Drake menghela napas, mengetahui orang-orang ini sama sekali tidak ingin dia di sana.
Dia beralih pada pria lain di atas ring, mengangkat pedangnya ke langit sebelum menunjuk lawannya. Pria di atas ring mengangkat pedangnya ragu-ragu. Matanya mencari ke seluruh ruangan seolah berharap akan ada yang menghentikan ini. Tidak ada yang melakukan itu.
Pria itu menyerang lebih dulu. Mengayunkan pedang dalam gerakan melengkung yang dimaksudkan untuk memotong perut. Drake menangkisnya, mendorong pedang lawannya mundur. Melangkah maju, tidak memberi waktu lawannya untuk pulih saat dia memukul bilah lawannya dengan keras. Pedang lawannya berdentang saat jatuh dan pria itu mundur dari Drake. Seolah dia takut Drake tidak akan berhenti di sana. Seolah Drake akan mengayunkan pedangnya menembus tubuhnya. Itu membuat Drake menggeretakkan gigi.
"Kamu terlalu banyak menumpukan beban pada pergelangan tangan. Itu akan membuatmu cepat lelah dan memberi lawanmu keuntungan untuk melucuti sejata darimu." Drake membungkuk. Mengambil pedang dari lantai ring dan menyerahkannya kembali pada prajurit itu.
Dia masih ingin memukul sesuatu. Ingin merasakan buku jarinya perih dan terkelupas. Tapi dia tidak boleh mengamuk di sini. Tidak perlu menunjukkan lebih banyak pada orang-orang ini kekerasan dalam dirinya. Tidak perlu membuat semua orang lebih gelisah. Jadi sekali lagi dia mundur. Dia keluar dari ring. Pergi dari ruang latihan itu. Drake baru saja akan kabur ke tebing tempat wyvern tinggal saat suara Quinn menghentikannya.
"Kamu perlu bicara, Nak?"
Tidak pernah Drake merasakan kemarahan seperti ini. Apakah ini tepatnya yang dirasakan Rose setiap saat karena hidup direnggut darinya? Api ini? Bagaimana gadis itu bisa melewati ini? Drake tidak akan pernah tahu. Yang dia tahu saat ini adalah, dia tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Dia perlu membiarkannya meledak. Biarkan semua itu menghancurkannya lalu mungkin setelah itu dia bisa membangunnya dari awal.
"Satu-satunya hal yang aku butuhkan adalah menghentikan semua ini!" Dia berbalik. Berteriak tepat ke wajah Quinn. "Hentikan semua tatapan itu! Semua keheningan penuh kebencian itu! Aku ingin semua itu berhenti!"
Jari-jarinya mengepal begitu erat. Kukunya menggali telapak tangannya. Drake menarik napas, menarik setiap emosi kembali ke dalam dirinya. Memejamkan mata saat dia berusaha mengunci emosinya sekali lagi. "Aku hanya ingin kembali diterima, Quinn. Sesederhana itu."
"Beri mereka waktu," jawab Quinn tapi Drake menggelengkan kepalanya.
"Berbulan-bulan. Aku sudah mencoba, aku sudah menyingkir. Aku memberi semua orang ruang dan waktu. Aku tidak bisa lagi."
"Kamu tidak seharusnya mengasingkan dirimu, Nak."
"Apakah kamu tidak melihat?" Drake kembali berteriak. "Mereka takut! Mereka pikir aku seperti dia. Aku melihatnya di mata mereka." Drake kembali menggeleng dengan kalah. "Aku tidak bisa mengubah ini."
"Mereka akan menyadari itu. Mereka perlu melihatnya. Buktikan dirimu-"
"Tidak Quinn. Aku pergi."
"Apa?"
"Aku pergi. Grishold adalah rumahku, tapi ini bukan tempatku seperti dulu. Aku berubah. Orang-orang berubah. Aku akan kembali, mungkin. Aku tidak tahu."
"Ke mana?"
"Kenapa peduli?"
Quinn mendekatinya, meremas bahunya dengan kuat. "Ohhh Nak, kami peduli."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top