ETP | 54
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tidak ada yang lebih meyakinkan dari kesungguhan seorang ikhwan, kecuali saat qobul berhasil dia ucapkan."
⏭️⏸️⏮️
PERNIKAHAN kerapkali dianggap sebagai sebuah tujuan atau bahkan pencapaian. Saling berlomba-lomba untuk lebih dulu sebar undangan, padahal hakikat dari pernikahan bukan siapa cepat dia dapat.
Melainkan siapa tepat, dia berakad.
Saya mematut diri di depan cermin, memastikan penampilan saya sudah siap untuk menuju KUA. Tidak ada riasan yang berlebih, semua sesuai dengan syariat yang dianjurkan.
Saya meminta untuk dicarikan MUA syar'i yang memang tidak memperbolehkan untuk memakai bulu mata palsu, mencukur alis, atau bahkan menggunakan softlens. Make up-nya teramat sederhana, saya masih bisa mengenali wajah saya sendiri.
Mas Dipta sudah mempersiapkan mobil yang akan membawa saya dan Mama untuk menuju KUA. Memang hanya orang tua, saksi, dan wali saja yang menghadiri acara akad. Sebab, tempatnya yang terbatas.
"Yakin mau pakai niqab, Tha?" tanya Mama untuk ke sekian kalinya.
Saya mengangguk mantap. "Ini adalah kali pertama Nitha memakai make up, dan akan lebih baik kalau yang melihatnya hanya Mas Dipta seorang. Dia yang pertama dan satu-satunya."
Mama mengangguk paham. "Sudah izin pada Nak Dipta?"
Saya menggeleng pelan. "Biarkan ini jadi kejutan."
Beliau tertawa kecil. "Manisnya yang sebentar lagi menyandang status sebagai seorang istri."
Saya tak menanggapi godaan tersebut, lebih memilih untuk meminta MUA agar segera memasangkan niqab, karena memang kami harus segera berangkat.
Mama menggandeng saya keluar kamar dan berjalan berdampingan. Langkah saya terasa leluasa dan ringan, karena memang sengaja tidak menggunakan high heels. Sebuah sneaker putih menjadi pilihan.
Dapat saya rasakan rangkulan hangat yang Mama berikan saat kami baru saja duduk di dalam mobil. "Bismillah, semoga Allah mudahkan dan lancarkan acara hari ini."
Saya mengangguk dan tersenyum. "Aamiin, Ma."
Sepanjang perjalanan tangan beliau menggenggam saya, bahkan sesekali menciumnya. Rasa gugup yang sedari tadi hinggap, bisa sedikit terabaikan karena perlakuan beliau.
"Kenapa Mama nangis?"
Beliau mengukir senyum lebar. "Seharusnya ayah kamu yang hari ini menikahkan, tapi qodarullah tangan Nak Dipta harus dijabat oleh tangan wali dari KUA. Mama hanya sedih, karena beliau nggak bisa menyaksikan putri satu-satunya melepas lajang."
"Itu juga keinginan dan impian Nitha, tapi mau apa dikata. Allah lebih sayang pada Ayah, itulah mengapa Dia lebih dulu mengambilnya," sahut saya berusaha untuk tegar dan tidak menangis.
Saya tidak ingin bersedih di hari bahagia ini. Meskipun rasanya ingin menjerit sakit, tapi saya yakin rencana Allah jauh lebih indah dibanding rencana saya yang memiliki banyak keterbatasan ini.
"Pesan Mama hanya satu, bakti dan surga kamu sekarang ada pada Nak Dipta. Jadilah istri yang shalihah dan patuh."
"Insyaallah, doakan Nitha yah, Ma."
Mama mengangguk mantap. "Tanpa kamu minta pun, Mama akan selalu mendoakan kamu, Tha."
"Jangan lupa salat lima waktunya jangan tertinggal, kalau bisa ibadah sunnahnya semakin dikencangkan. Agama kamu sudah Allah sempurnakan, jadi jangan tanggung-tanggung dalam beribadah. Sama Allah jangan hitung-hitungan, apalagi itu juga untuk kebaikan kamu."
Saya mengangguk paham.
Perbincangan kami terhenti kala mobil sudah terparkir apik di parkiran yang tersedia. Di luar terlihat sudah ada Mas Dipta serta orang tua dan kakaknya.
"Kalau akad di KUA harus disandingkan. Nggak papa, kan, Tha?" tanya Mama sebelum kami keluar.
"Enggak papa, Ma."
"Tunggu sebentar di sini, Mama mau menemui Nak Dipta dan keluarganya dulu."
Saya pun mengangguk patuh.
Tak lama dari itu Mama datang bersama Bu Dinara, mereka mengapit dan menuntun saya memasuki KUA. Sedangkan Mas Dipta sudah lebih dulu berada di dalam bersama Pak Nara serta kakaknya.
Sesampainya di sana, saya diminta untuk duduk di sisi Mas Dipta. Dari sudut mata saya bisa melihat raut keterkejutan di wajahnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama.
Mungkin dia tidak menyangka dengan penampilan saya yang memilih untuk memakai niqab.
Dari arah berseberangan di mana kami duduk, terlihat Hamzah yang tengah berdiri gagah dengan sebuah kamera yang tergantung apik di lehernya.
Dia tersenyum begitu lebar, seolah ingin menunjukkan kalau dia ikut berbahagia atas pilihan saya. Tak ada yang bisa saya lakukan selain memilih untuk menunduk.
Saya menahan napas kala dengan lantangnya Mas Dipta mengucapkan kabul.
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."
"Sah?"
"Sah!"
"Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jama'a bainakumaa fii khoir."
Saya merasa panas dingin seketika, terlebih saat diminta untuk mencium punggung tangan Mas Dipta sebagai bentuk bakti pertama kali saya.
Rasanya sungguh tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Campur aduk sekali.
Dengan tangan bergetar saya mengambil tangan Mas Dipta yang sudah berada di depan mata. Senyumnya yang mengembang, malah semakin menghadirkan kegugupan.
Setelahnya dia meletakkan tangan sebelah kanan tepat di atas ubun-ubun saya lantas berucap, "Allahumma inni as-aluka khairaha wa khaira maa jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha alaihi."
Saya mengaminkan dalam hati.
Tidak ada kecupan singkat yang dia bubuhkan di kening, karena saya tahu dia ingin menjaga hati seseorang yang berstatus sebagai sahabat baiknya. Dan saya sangat menghargai hal tersebut, terlebih saya pun tidak ingin mengumbar keromantisan di khalayak ramai.
Lebih tepatnya saya belum siap, karena takut jantung saya meledak. Debarannya sangat kuat, bahkan saya yakini Mas Dipta bisa mendengarnya dengan jelas.
"Zani," panggilnya berhasil membuyarkan segala lamunan panjang saya.
Saya terkesiap. "Ya?"
"Ada berkas-berkas yang harus ditandatangani. Kenapa malah melamun?"
Saya hanya mampu menggeleng pelan.
Dia tersenyum tipis dan menepuk-nepuk puncak kepala saya lembut. "Saya tahu kamu gugup," katanya dengan suara pelan.
Tak ingin terlalu lama menyelami perasaan yang campur aduk, saya pun segera membubuhkan tanda tangan sesuai instruksi petugas KUA.
"Jika dulu saya berhasil mewujudkan mimpi kamu dengan mencetak ribuan eksemplar buku. Sekarang, kamu berhasil mewujudkan mimpi saya untuk mencetak dua eksemplar buku."
Kalimat itu dia ungkapkan setelah kami sama-sama menerima buku nikah.
Beruntunglah saat ini saya menggunakan niqab, karena dengan begitu Mas Dipta tidak akan pernah tahu sudah semerah apa pipi saya.
"Sudah bisik-bisikannya, sekarang kita harus pulang. Ada banyak calon mempelai yang mengantre," tegur Mama yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping saya.
Saya memelankan langkah, supaya Mas Dipta bisa lebih dulu berjalan di depan saya. Tapi, yang dia lakukan justru menarik tangan saya, dan kami berjalan beriringan menuju parkiran.
"Sekarang tangan ini sudah halal untuk saya pegang. Silakan masuk," katanya lantas membukakan pintu samping kemudi.
Saya melirik pada pintu belakang, di mana biasanya saya berada di sana kala terpaksa harus satu mobil dengannya.
"Cukup saat salat saja kamu berdiri di belakang saya, selain itu kamu harus berada di samping saya."
Saya mengangguk patuh.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 25 Oktober 2023
Dimohon untuk tidak senyum-senyum sepanjang bab berlangsung. 🤣 ... Ngaku ini, kan scene yang kalian tunggu-tunggu 😂
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top