"Tadashi ...."
Pemuda itu membuka kelopak matanya yang terasa berat, kemudian dengan cepat memejamkannya kembali ketika melihat cahaya menyilaukan. Alisnya bertaut, ia mengangkat tangan untuk meminimalisir cahaya yang akan ditangkap oleh korneanya.
"Get up, Tadashi ...."
Suara parau samar-samar itu mengalihkan atensinya. Dalam posisi berbaring di antara rerumputan, Tadashi melihat wajah sang kakek menutupi matahari yang sangat terik. Pria tua itu mengulurkan tangan dan Tadashi menyambutnya. Dakota menarik tubuh cucunya hingga bangkit dan berdiri di sebelahnya. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu sedikit linglung, ia mengerjap beberapa kali untuk mengusir pening di kepalanya, kemudian menyapukan tanah dan kerikil di celana piyamanya.
"Di mana kita? Ke mana perginya bulan yang tadi kulihat di luar jendela?" tanya Tadashi.
"Ini tempat yang sama seperti mimpimu beberapa hari lalu. Badai salju itu telah pergi," jawab Dakota.
Kedua alis Tadashi terangkat. "Aku bisa bermimpi tanpa harus tidur terlebih dahulu?"
Dakota mengangguk. "Kau seorang dream walker. Dengan sedikit latihan, masuk dan keluar dari alam mimpi adalah sesuatu yang sangat mudah bagimu."
Kemudian Tadashi melirik sosok kakeknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Dan mengapa kini kau tidak berwujud kucing lagi?"
"Kau yang memberiku wujud ini. Mengapa tidak kau tanyakan saja pada dirimu sendiri?"
Tadashi bergeming sejenak. "Ketika aku mulai tak sadarkan diri, aku melihat wujudmu mengalami distorsi, dan aku mati-matian ingin mengembalikan wujudmu kembali seperti sedia kala." Pemuda itu mengedikkan bahu. "Dan sekarang, wujudmu kembali normal dan aku lumayan merasa lega."
"Alam bawah sadarmu memberiku tubuh ini sesuai dengan apa yang ada di kepalamu." Dakota tersenyum dan menepuk pundak cucunya. "Itu artinya, kau sudah memiliki kesadaran untuk mengendalikan mimpimu sesuai dengan apa yang kau inginkan, meskipun untuk detail yang sangat kecil."
Mendengar ucapan kakeknya, binar cerah muncul di kedua netra pemuda itu. Tanpa sadar, senyumnya mengembang.
"Let's take a walk!" ajak Dakota.
Tadashi mengangguk, ia berjalan di samping sang kakek sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling padang rumput yang tidak asing baginya. Terdengar rerumputan yang saling bergesekan ketika keduanya melangkah. Aroma embun pagi dan hangatnya sinar matahari membuat Tadashi rileks, ia menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, kemudian mengembuskannya lewat mulut.
Dakota melirik cucunya yang terlihat sedang menikmati keadaan sekitar, kemudian tersenyum kecil. Wajar saja, di dunia nyata, Tadashi terlalu sering berkutat dengan kemacetan, serta polusi dan asap-asap kendaraan. Hanya di dalam mimpilah cucunya dapat menjernihkan suasana hati dan pikiran dengan menikmati alam.
Di kejauhan, Tadashi melihat sesuatu yang tergeletak di antara rerumputan. Ia memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. "Grandpa, is that ... a body?" tanyanya.
"Let's find out!"
Tadashi mempercepat langkah menghampiri sosok itu, diikuti oleh Dakota. Ketika jaraknya sudah semakin dekat, mereka berhenti sebentar, kemudian mengendap-endap untuk mengintip. Kedua netra Tadashi membola ketika merasa familier dengan rambut hitam-biru pendek dari gadis yang tergeletak di rumput.
"Oh, no ... apakah itu ...." ucap Tadashi dengan gemetar.
Tadashi masih mendekat sambil mengendap-endap. Ia merunduk, kemudian mencoba membalikkan tubuh gadis itu. Tadashi memekik ketika melihat fitur-fitur wajah yang ia kenal sebagai Evelyn, kedua netranya terpejam, bibir dan kulitnya memucat. Perutnya tidak bergerak naik turun, pertanda tidak adanya embusan napas. Banyak bangkai kupu-kupu mengelilingi jasadnya.
Kengerian meliputi Tadashi. Lidahnya kelu, tak sanggup untuk mengucapkan sepatah kata pun. Tubuhnya bergetar hebat, tanpa sadar kedua tungkainya melangkah mundur. Dakota yang menyadari hal itu, segera merangkul sang cucu dan mengelus-elus bisep pemuda itu.
"Kendalikan dirimu, buang jauh-jauh rasa takutmu," ucap Dakota.
Sesaat, Tadashi ingin protes. Bagaimana ia bisa tenang ketika melihat gadis yang disukainya tergeletak tidak bernyawa di tengah padang rumput? Pada akhirnya, pemuda itu lebih memilih mengalahkan rasa takutnya. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
"Ini hanya mimpi ... ini hanya mimpi ...." Tadashi berkomat-kamit, berusaha menyingkirkan pemandangan mengerikan di hadapannya.
Ketika ia membuka mata, tubuh Evelyn perlahan menyublim menjadi kepulan asap berwarna hitam-biru. Tadashi menyentuh dadanya dan mengembuskan napas lega. Debaran jantung dan deru napasnya perlahan menjadi normal.
"What was that?" tanya Tadashi pada sang kakek. Keduanya kembali berjalan-jalan di padang rumput.
"Itu jebakan Wendigo, persis seperti apa yang terjadi beberapa hari lalu," jawab pria tua yang rambutnya telah memutih itu. "Makhluk itu tahu bahwa Evelyn adalah sumber kelemahanmu."
"Tunggu, ada Wendigo di sini?" Mendadak, rasa takut Tadashi kembali.
"Kau pernah bertemu sekali dengannya di alam mimpi, ya, tentu saja ia tidak akan melepasmu begitu saja," jawab Dakota santai, "tapi, hal ini juga memberikan keuntungan untukmu. Kau juga bisa mengintai keberadaan makhluk itu."
Tadashi meneguk saliva, ia tidak merespons ucapan sang kakek. Dakota melirik sang cucu yang sedang berjalan tepat di sampingnya. Melihat Tadashi begitu ketakutan, pria itu terkekeh kecil.
"Itulah sebabnya aku menyuruhmu mengonsumsi ramuan herbal tadi. Itu adalah kunci untuk menguatkan kendalimu di alam mimpi." Dakota melanjutkan perkataannya. "Jika kau ingin mengalahkannya, kau harus menguasai kemampuanmu sebagai dream walker."
Tadashi menekuk wajah. "Mengalahkannya? Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan itu."
"Aku tidak akan menyuruhmu mengalahkannya malam ini," ujar Dakota. Pria tua berusia tujuh puluh tahun itu berhenti berjalan. "Sekarang, keluarlah dari dalam mimpi!"
Kedua alis Tadashi terangkat. "Sekarang juga?"
Dakota mengangguk. "Yeah, kau harus menguasainya sekarang. Kau akan membutuhkan kemampuan ini ketika suatu saat Wendigo itu menyadari kehadiranmu."
Tadashi mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Kalau begitu, aku tinggal mencari pintu saja, 'kan?"
"Kau tidak harus bergantung pada sebuah pintu." Dakota menatap kedua tangannya yang kini mulai menyublim menjadi asap berwarna keperakan, persis seperti Evelyn beberapa saat lalu, hanya warnanya saja yang berbeda. "Oh, no."
"Grandpa, what happened to your arms?" tanya Tadashi panik.
"Ini karena kau lupa memakai kalung taring serigala, membuatku tidak bisa berlama-lama di dalam mimpimu," terang Dakota.
"Astaga! Lalu kita harus bagaimana?"
Dakota menoleh ke arah cucunya. Kini, tubuh dan kakinya telah berubah menjadi kepulan asap. "Sekarang, kau hanya bisa bergantung pada dirimu sendiri. Lawan rasa takutmu, karena Wendigo dapat merasakannya." Perlahan, udara menelan hampir seluruh tubuh pria itu. "Banyak cara yang bisa kau lakukan untuk keluar dari tempat ini. Cobalah untuk bermeditasi dan tenangkan pikiranmu."
"No! Wait!" Tadashi berusaha menyentuh sang kakek untuk menahannya di sini. Namun, tubuh Dakota tidak lagi berbentuk padat. Kini, hanya tersisa kepalanya saja. Pria itu memberikan senyuman terakhir sebelum wajahnya bertransformasi menjadi suspensi partikel-partikel yang sangat kecil, hingga lenyap terbawa angin.
"No, no, no. Jangan tinggalkan aku begitu saja," lirihnya pasrah.
Pandangan Tadashi mengikuti ke mana angin membawa tubuh sang kakek hingga menghilang begitu saja. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok sang kakek, tetapi percuma, hanya ada dirinya di padang rumput yang luas ini. Kedua tungkainya terasa lemah, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap berdiri. Peluh menetes di dahi, deru napasnya menjadi tak beraturan. Tadashi mengalami serangan panik, tetapi ia berusaha melawannya.
Pemuda berambut hitam legam itu berusaha mengatur napas. "Relax, Tadashi, relax," gumamnya. Kemudian ia mendaratkan bokong di atas rumput.
Dalam posisi bersila, ia memejamkan kedua netra sambil menghela napas dalam-dalam. Setelah lumayan berhasil mengendalikan kepanikan, dirinya memikirkan rumah, lebih tepatnya kamar sang kakek, kemudian menggambarkan setiap detailnya di kepala. Ranjang dan lemari baju berbahan kayu mahoni dengan ukiran-ukiran klasik, karpet halus yang menutupi lantai, serta fitur wajah Dakota yang sedang melakukan meditasi. Tadashi bahkan berusaha mengingat-ingat bagaimana aroma ruangan itu.
Tadashi merasa yakin bahwa dirinya telah kembali ke dunia nyata. Maka, dibukalah kedua netranya. Senyumnya pudar ketika melihat padang rumput yang sama sejauh mata memandang. Tadashi mendongak, melihat langit biru cerah serta gumpalan kapas putih yang menutupi matahari.
Tadashi mendengkus kesal, tetapi bukan berarti ia akan menyerah. Kedua matanya kembali menutup, helaian rambutnya berkibar akibat angin yang berembus, membawa udara dingin yang menyejukkan. Konsentrasinya buyar ketika ia masih saja merasakan aroma rerumputan. Padahal, dirinya sudah berusaha keras membawa jiwanya pergi dari tempat ini. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu berdecak, lalu kembali membuka mata.
"Stupid dream," gumamnya sambil berdecak kesal.
Pemuda itu mencoba lagi, lagi, dan lagi, hingga angin yang berembus terasa semakin kencang. Tubuhnya bergidik akibat suhu yang semakin menurun, cahaya matahari pun lama kelamaan menghilang tertutup awan gelap. Tadashi membuka mata ketika sesuatu yang dingin jatuh mengenai hidungnya.
Lagi, benda kecil bersuhu dingin jatuh mengenai pipi Tadashi. Ia mendongak, melihat langit yang semula cerah berubah keruh. Kepingan salju berjatuhan, semakin lebat setiap detiknya. Ia mengangkat tangan, menangkap benda kecil bersuhu rendah yang berjatuhan di telapaknya. Mendadak, bulu kuduknya berdiri. Intuisinya berkata, hal buruk akan datang. Tidak, lebih tepatnya 'sesuatu' yang buruk akan datang.
"Oh, no," gumamnya panik.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
1 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top