CHAPTER SIX: ISMA

ZIINGGG,. Pisco menutup matanya.

"Syukurlah, kak Pisco masih hidup," kata Uni. Pisco membuka matanya.

"Apa yang terjadi Uni? Apakah aku berubah menjadi vampir?" tanyanya. Saat itu Pisco duduk kebingungan.

"Ternyata perkiraanku benar, kakak punya Anti Virus."

"Anti Virus?"

"Iya, menurut catatan ayahku, aku mempunyai Anti Virus yang disuntikan di bagian leher. Aku melihat ada bekas suntikan di leher kakak, saat aku mengobati luka bahu kakak."

"Jadi, aku tidak akan terkena infeksi?"

"Benar, untung saja masih hidup," katanya. Lalu dia memeluk Pisco dengan keadaan menangis.

"Uni, ada sesuatu yang ingin aku katakan. Aku mencintaimu," katanya. Lalu Uni melihat wajah Pisco. "Saat pertama kali aku bertemu denganmu, tepatnya saat aku melihat wajahmu di ruangan itu. Entah kenapa hatiku mengatakan sesuatu, perasaan ingin melindungimu itu bukan karena tugas. Tapi karena itu dari hatiku, aku malu mengatakannya. Tapi saat ini, instingku mengatakan aku harus mengungkapkan kata ini sebelum aku mati, dan ternyata aku tidak mati."

"Kakak. Aku juga mencintai kakak!" dia memeluk Pisco.

"Tunggu! Tadi kau mengatakan apa?" tanya Pisco.

"A-ku ju-ga men-cin-tai ka-kak," kata Uni dengan nada dipatah-patah. Dia masih memeluk Pisco.

"Be...narkah?"

"Iya, aku merasakannya saat pertama kali bertemu kakak. Saat kakak melindungiku, rasanya sangat hangat. Maka dari itu aku jadi jatuh cinta kepada kakak."

"Syukurlah. Tapi jangan katakan kakak, seperti kita ini adik kakak saja."

"Bagaimana dengan panggilan Ico?" kata Uni melepaskan pelukkanya.

"Ico?"

"Iya. Namaku kan Uni, terdiri dari tiga huruf. Jadi supaya kita sama, aku memanggilmu Ico."

"Baiklah, terserah deh," lalu Pisco berdiri.

"Ico!" tiba-tiba Uni memeluk dia, sampai-sampai Pisco jatuh lagi.

"Aduhh!"

"Maafkan aku."

"Tidak apa. Oh ya, apakah semuanya sudah mati?"

"Sudah. Tidak ada sisa, kecuali kita."

"Begitu ya," Kata Pisco melihat sekitarnya.

Pisco pun mengambil beberapa amunisi dari mayat polisi termasuk sang kapten, dia mendapatkan sniper dan amunisinya. Selesai itu mereka keluar dari gedung itu.

"Kak, maksudku Ico. Boleh enggak aku menggandeng tanganmu?" tanya dia dengan nada malu.

"Boleh," lalu dia menggandeng tangan Pisco sambil berjalan. Mereka berjalan di hutan. "Uni, kau mendengar itu?" tanya Pisco.

"Ya, aku mendengarnya," terdengar suara seseorang sedang berlari.

"Ayo kita ke sana!" Pisco berlari dengan menggandeng tangan Uni.

Setelah sampai di sumber suaranya, mereka melihat ada seorang pria berbaju hitam, dan serba hitam sampai sorbannya pun hitam. Dia memegang sniper dan sedang duduk di dekat pohon. Di depannya ada Hulk. Dia adalah vampir berlengan batu, karena infeksinya terlalu lama di bagian tangan, mereka berjumlah dua. Pisco menghajar salah satunya dengan pedangnya, satu lagi menyerang dia, namun berhasil ditangkis, kemudian Pisco menusuk perut dia. Tapi dia belum mati, pedangnya masih tertancap di perutnya. Hulk itu menyerang Pisco dengan ngasal karena rasa sakit di perutnya, dan tak lama kemudian dia mati.

"Kau tidak apa-apa tuan?" tanya Pisco ke pria itu.

"Tidak sopan! Aku bukan laki-laki!" katanya. Dia berdiri dan membuka sorbannya yang menutupi sebagian wajahnya.

"Wa... wanita! Jadi kau wanita?"

"Tentu saja!" kesalnya. "Terima kasih ya," katanya dengan nada lembut, lalu dia menghampiri Pisco.

"Jangan! Jangan memeluk Icoku!" kata Uni. Dengan cepat dia menghampiri Pisco dan memeluk lengan dia.

"Icoku?"

"Iya! Kau tidak boleh memeluk pacarku!"

"Uni," kata Pisco dengan nada malu.

"Ohh, jadi kalian pacaran. Tenang aja, aku tidak akan memeluk dia kok. Aku hanya ingin memperkenalkan diri. Namaku Isma."

"Aku Pisco, dan dia Uni."

"Ohh, jadi kalian mau pergi ke kota Jite," setelah mereka menjelaskan semuanya.

"Iya begitulah. Lalu kau sendiri kenapa ada di sini? Dan kenapa kau tidak menggunakan snipermu itu untuk menembak mereka?"

"Ohh itu, aku kehabisan amunisi. Mereka tiba-tiba ada di belakangku, lalu aku lari deh."

"Hmm, kau datang darimana?" tanya Uni.

"Aku datang dari kota Tuki. Alasan aku kemari adalah untuk mencari kakakku."

"Kota Tuki kan cukup jauh. Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Pisco.

"Ceritanya cukup panjang. Singkatnya, dia ada di sini karena mencari seseorang."

"Bagaimana kalau kita membantumu?" kata Uni.

"Heh! Enggak usah. Ini masalahku."

"Tidak apa, lagi pula kita sedang mencari kendaraan. Iya kan, Ico?"

"Begitulah."

"Terima kasih. Maaf kalau aku merepotkan kalian."

Merek pun melanjutkan perjalanan menuju kota selanjutnya. Di sana mereka bertemu dengan sekelompok Grild. Mereka sedang bersembunyi di balik reruntuhan dan barang-barang yang besar.

"Baiklah. Isma dan Uni, kalian pergi ke atas gedung itu. Isma kau tembak dari atas, tunggu aba-aba dariku. Sedangkan aku akan mengatasi mereka dari sini."

"Baiklah!" ucap Isma.

"Hati-hati ya," kata Uni. Lalu mereka pergi ke gedung yang dimaksud oleh Pisco.

Mereka memasuki gedung, dan tidak ada siapa-siapa di sana. Sampailah mereka di bagian atasnya. Isma memberi sinyal dengan mengankat tangan, Pisco pun mulai mengendap-ngendap ke arah para Grild.

"Nanti hati-hati kalau menembak ya?" kata Uni ke Isma.

"Iya."

"Jangan sampai salah tembak ya?"

"Iya."

"Terus, sebaiknya pastikan dulu yang ditembak itu bukan Ico."

"Cerewat! Ini, sama kamu aja!" katanya.

"Ehh! Tapi aku tidak diizinkan oleh Ico untuk memegang senjata."

"Sudahlah. Lagi pula mudah kok memakainya, kalau berhasil mungkin dia akan mengizinkan kamu memegang senjata."

"Tapi..."

"Terus kamu mau terus merepotkan dia, dijaga terus sama dia. Tapi kalau dia dalam bahaya, siapa yang bisa membantumu?"

"Benar juga sih," lalu Uni mengambil sniper itu.

"Dengar! Caranya, setelah kau menembak, tarik penariknya supaya mengeluarkan peluru yang sebelumnya. Coba!" Uni menarik penarik sniper itu. "Bagus. Nah, lihat apakah Pisco sudah memberi aba-aba?"

Isma menggunakan dinocularnya untuk melihat Pisco yang sedang mengatasi sebagian anggota Grild.

"Nah itu aba-abanya. Tembak pria yang sedang duduk di dekat kaca itu," Uni menembak pria itu. "Bagus, selanjutnya tembak yang di dekat mobil merah itu. Bagus, kau hebat juga."

Pisco mendekati pria yang ada di depan toko, mengendap-ngendap lalu mencekiknya. Selesai sudah, semuanya sudah mati. Mereka berdua pun keluar dari gedung itu dan menghampiri Pisco.

"Kerja bagus Isma," puji Pisco.

"Salah, itu bukan aku. Tapi dia, hebatkan dia," kata Isma menepuk pundak Uni.

"Sudah ku bilang! Jangan gunakan senjata!" bentak Pisco.

"Hei, jangan..." kata Isma.

"Diam kau! Jangan membujuk dia! Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dia?"

"Hiks! Ico, kau... huwahh!" Uni menangis dan memeluk Isma.

"Sekarang kau harus minta maaf sama dia!" bentak Isma.

"Baiklah. Maaf kalau aku membentak kamu, lain kali jangan diulangi lagi ya."

"Hiks, iya. Aku juga minta maaf," Uni mengusap air matanya.

"Baiklah. Karena hari mulai malam, kita tidur di gedung yang tadi kalian tempati."

Mereka pergi ke gedung itu, sesampainya di sana Uni sudah tidur duluan.

"Hei Pisco, aku mau bicara sama kamu," ucap Isma.

"Tunggu," kata Pisco menyelimuti Uni yang sedang tidur dengan jaket yang dia bawa. "Baiklah, ayo kita keluar,"

"Ada apa?" tanya Pisco.

"Ini masalah tadi. Sebelumnya aku minta maaf kalau aku menghasut yang tidak-tidak ke Uni."

"Sudahlah, yang berlalu biarkan berlalu."

"Terus. Kenapa Uni tidak diperbolehkan menggunakan senjata?"

"Ya bahaya juga sih. Lagi pula, dia anak yang masih polos."

"Kurasa bukan itu alasan yang sebenarnya," Pisco menundukkan kepala. "Apakah aku salah?"

"Hahh," Pisco menghela nafas. "Sebenarnya aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Dulu, aku pernah menyelamatkan seorang wanita."

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku.

"Ya, tidak apa-apa. Terima kasih, kak Pisco," kata wanita itu.

"Ayo kita pergi dari sini! Mayu."

"Kak Pisco hebat, bisa membunuh para zombie itu sendirian."

"Hahah, terima kasih."

Aku dan Mayu pergi ke rumah yang kosong itu. Di sana kami sedang istirahat.

"Ini," kataku memberi Mayu sebuah handgun.

"Untuk apa?"

"Untuk menjaga diri. Mungkin saja aku enggak akan selalu bisa menjaga kamu."

"Terima kasih."

"Ayo! Kita lanjutkan perjalanan ini!" kataku setelah cukup lama beristirahat.

Kami berjalan menuju sebuah toko untuk mencari makanan, saat sampai di sana kami memeriksa semua ruangan toko itu. Tapi, di sana kami tidak sendiri, banyak sekali mayat hidup terutama zombie.

"Mayu! Sembunyi di balik meja itu!" tapi dia tidak mendegarkan perintahku.

"Tenang kak, aku akan membantu kakak," katanya. Saat itu aku sedang sedikit kesulitan menghadapi para Jikot. Dia menembaki para zombie itu satu persatu.

"Tidak Mayu! Sial!" kataku. Saat itu aku sedang menghadapi Jikot.

Mayu menembaki mereka sampai pelurunya habis. Tapi mereka masih banyak. Mereka berdatangan ke Mayu. Aku berusaha menolong Mayu, namun sudah terlambat. Dia sudah dimakan oleh para mayat hidup itu.

"Mayuuu!" teriakku sambil membunuh mereka.

"Mereka semua mati, aku melihat mayat Mayu. Keadaan dia sangat mengenaskan, aku tidak mau itu terjadi ke Uni. Aku tidak ingin kehilangan wanita yang kusayangi lagi."

"Aku mengerti perasaan kamu. Tapi kalau kau tidak melakukan itu, maka perasaanmu lebih sakit."

"Mungkin saja itu benar."

"Baiklah, sebaiknya kau beri dia senjata dulu. Tenang saja, kalau hal itu terjadi lagi, aku akan membantumu."

"Terima kasih."

Pagi tiba, dan mereka makan pagi sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

"Ini," kata Pisco ke Uni. Dia memberikan handgunnya.

"Ini untuk apa?"

"Aku sudah mengizinkan kamu, gunakan ini untuk menjaga diri."

"Baik!" lalu dia mengambil handgun itu.

Mereka berjalan mengintari kota itu. Sampailah mereka di sebuah perumahan, mereka kesana karena jalan utama ditutup. Saat di dalam, terjadilah pertarungan mereka dengan mayat hidup.

"Uni! tetap di dekat Isma!" kata Pisco. Dia berpikir mungkin akan terjadi hal yang sama seperti dulu.

"Baik!" Pisco terkejut dengan kata Uni tadi.

"Tenang, aku akan menjaga dia," kata Isma mengedipkan sebelah matanya.

"Baiklah, tolong ya."

Di depan Pisco ada zombie, vampir, Jikot, Clicker, Vante dan Hulk. Masing-masing berjumlah dua. Pisco menghajar mereka dengan beberapa pistol, terutama shotgun, Hulk menyerang namun ditangkis oleh Pisco, dan dibalas oleh tebasan pedangnya. Pertarung terjadi cukup lama dan pada akhirnya mereka semua mati.

"Kerja bagus," kata Isma melemparkan amunisi revolver ke Pisco.

"Sama-sama."

"Ico, kau tidak apa-apa kan?" tanya Uni.

"Tidak apa-apa, makasih ya. Kau mau mengikuti perintahku."

"Tentu saja, aku kan percaya ke Ico."

"Hmm, sebaiknya nama itu diganti deh. Enggak enak didengarnya," ucap Isma.

"Heh! Padahal itu nama yang bagus. Iya kan Ico?"

"Aku sedikit setuju dengan Isma. Tapi itu gimana kamu sih."

"Baiklah. Bagaimana dengan Iky?" DRUKKK.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top