DTA - 21 - Khatam

Hari terus bergulir tanpa mengenal lelah dan terus teratur.
Hafalan Ayu semakin hari semakin bertambah. Tak ada usikan lagi dalam hati dan pikirannya mengenai Gus Husein dan Evan yang sempat meresahkan hatinya.

Ia selalu memohon kepada Allah dalam setiap curhatannya di sepertiga malam, agar ia lebih fokus menghafal Al Quran dan mengenyampingkan hal-hal tak penting lainnya.

Apalagi, kian hari Ayu semakin tampak sibuk dengan menambah hafalan dan terus bersemangat untuk bisa khatam tahun ini semakin menggebu.

Ayu ingin menjadi anak yang bisa membahagiakan orang tua di dunia atau pun di akhirat. Ia ingin mempersembahkan mahkota kemuliaan untuk Bapak dan Emaknya yang telah banting tulang untuk merawat dan membiayai hidupnya selama ini.

Pagi ini telah sampai giliran dirinya untuk setoran hafalan bagian surat terakhir menuju lengkapnya hafakan 30 juz Al Quran.

"Shodaqollahul'adzhim." Ayu langsung mengusap wajahnya pelan begitu usai ayat terakhir dari surat Al Mursalat juz 29. Namun, tangannya tak langsung menyingkir dari wajah. Ayu tampak tergugu, karena ia merasa sangat bersyukur akhirnya hari ini ia bisa menyempurnakan hafalannya hingga khatam 30 juz.

"Alhamdulillah.
Allahummarhamnaa bil Qur'an," ucap Bu Nyai yang menyimak ngaji Ayu.

Wajah haru tampak begitu tersorot dari sosok Bu Nyai Hana. Setelah mengucapkan 'aamiin' Ayu menunduk, meraih tangan Sang Bu Nyai dan mengecupnya dengan penuh rasa takzim.

Bu Nyai Hana pun mengecup kening Ayu cukup lama, lalu tersenyum lebar setelahnya. "Barokallah Mbak Ayu. Semoga bisa menjaga hafalan dan mengamalkan Al Qurannya hingga akhir hayat."

"Aamiin aamiin ya Mujibassailin. Doanya ya, Bu Nyai."

---***---

Mentari bersinar menghangatkan pagi yang tadi sempat memeluk dingin, cairan embun yang membasahi bumi tak terlihat lagi.

Santriwati pondok pesantren Mambaul Qur'an, kini tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Namun, lain halnya dengan Ayu yang kini tampak masih memakai sarung dengan setelan pakaian dan kerudung berwarna maron.

Gadis itu masih duduk santai di lantai paling atas yang menjadi tempat jemuran pakaian para santri.
Hari ini, Ayu dibebaskan dari segala kegiatan pondok. Selain karena memang sedang datang bulan, ia pun baru kemarin usai mengikuti ujian kubro hafalan Qur'annya. Jadi, kali ini dia hanya tinggal menunggu waktu wisuda yang akan digelar pekan depan.

Hatinya berdebar saat mengingat bagaimana kiranya nanti hasil ujiannya. Akan dapat nilai apakah aku nanti? Siapakah yang akan menjadi khotimat terbaik tahun ini? Bolehkah aku berharap jika akulah nantinya yang mendapat predikat khotimat terbaik itu? Aku ingin melihat Bapak dan Emakku bangga atas pencapaianku selama empat tahun ini, kata hati dalam pikiran Ayu terus melayangkan tanya dan harapan terpendam itu dalam diam, sembari menatap indahnya pemandangan pagi.

"Astaghfirullahal'adziiiiim, dicariin si eneng ada di sini to," seru Rani yang akhirnya menemukan Ayu setelah keliling-keliling area pondok. Tampak ia langsung menjatuhkan dirinya, duduk di samping Ayu dengan napas lega.

"Ada apaan si, Mbak? Kok heboh amat, dari mana aja sampai ngos-ngosan gitu?" tanya Ayu sembari menyodorkan segelas kopi yang tak panas lagi ke arahnya.

"Kamu tau nggak, Mbak?"

"Enggak," sergah Ayu sengaja usil.

Rani langsung melotot mendapatkan jawaban yang tak diinginkan, karena ia merasa omongannya terpotong.

Ayu pun sontak terkekeh, "Hehehe afwan, afwan. Kenapa emang, Mbak?"

"Tadi tuh aku nyariin Mbak Ayu keliling -keliling lo. Nanyain ke mbak-mbak hampir sepondok nggak ada yang ngeliat Mbak Ayu ada di mana." Rani menjeda ucapannya seraya menoleh ke Ayu yang kini menatapnya intens. Tampak penasaran dengan penjelasannya.

"Terus, kok bisa Mbak Rani sekarang di sini?" tanya Ayu akhirnya, karena Rani tak kunjung meneruskan ceritanya.

"Feeling aja, sih. Soalnya tempat ini doang yang belum aku tengok."

"Hehehe, maaf ya, Mbak. Jadi ngerepotin. Ngomong-ngomong kenapa Mbak Rani nyariin aku?"

"Astagfirullahal'adziiim!" pekik Rani menepuk jidat.

"Ayo, Mbak ikut aku," ucap Rani lagi yang langsung bangkit dan menggandeng tangan Ayu untuk ikut serta dengan langkahnya.

Ayu yang mendapat serangan mendadak hanya bisa pasrah. Pasalnya, Rani menyeretnya cukup kuat.

Begitu keduanya tiba di depan gedung aula yang dekat dengan ndalem. Ayu memaksa untuk memberhentikan langkah.

"Bentar, bentar. Mbak Rani mau bawa aku ke mana? Kok ke arah ndalem?"

"Emang mau ke ndalem," ucap Ayu dengan muka polosnya tanpa penjelasan sedikit pun.

"Lah, mau ngapain?"

"Mbak Ayu di panggil Gus Husein."

Ayu sontak menganga, sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan Rani barusan.

"Ada apa gerangan Gus Husein memanggilku?" batin Ayu

"Ah, kamu kalau bercanda nggak lucu, deh, Mbak," ucap Ayu yang kemudian hendak kembali ke tempat asal ia tadi duduk seorang diri.

Suasana sekitar mereka tampak lengang, karena kebanyakan para santri sedang sekolah atau stor hafalan Al Qur'annya.

"Eh, eh, siapa yang bercanda coba. Aku serius, Mbak. Ayo cepet, pasti gus e nungguin."

"Yakin, Mbak Rani nggak salah denger?" Ayu masih enggan untuk percaya dengan apa yang dikatakan Rani.

"Astaga ... dibilangin juga. Telingaku kan masih sehat wal'afiyat. Udah ayo, enggak pakek ribet, deh, Mbak."

"Oke oke. Tapi temenin lo ya," ucap Ayu akhirnya.

Rani terdiam sebentar, lalu menyeringai senang. "Wah ... boleh boleh, dengan senang hati, ayok!" ajak Rani menggandeng tangan Ayu penuh semangat.

Rani dan Ayu akhirnya segera menemui Gus Husain yang memang tampak menunggu di ruang tengah dengan Umminya.

Setelah beberapa menit mengobrol dan tanya-tanya mengenai nama-nama wisudawati yang sudah mengikuti ujian khataman tahun ini. Ayu yang memang menjabat sebagai wakil sekretaris di lembaga Tahfidz pondok ini, sudah sangat hafal siapa saja yang tahun ini telah khatam.

Belum juga empat orang yang kini berada di ruang tengah ini usai berdiskusi. Tiba-tiba seseorang datang mengucap salam dan berdiri di ambang pintu ruang tengah.

Semua mata tertuju pada sosok laki-laki jangkung yang kini berdiri di sana. Seketika netra Ayu melotot, tampak sangat terkejut lalu diikuti deguban jantung yang semakin bertabuh keras dan cepat.

"Ups. Lagi rame ya, maaf, maaf main nylonong aja. Gus saya tunggu di depan ya," ucap laki-laki itu tampak nyengir seraya menggaruk belakang kepala yang sebenarnya tak gatal.

Ayu semakin ketar-ketir. Ingin rasanya ia pingsan di sini karena sangat terkejut. Dirinya seakan tak mampu menahan hati yang kini merasakan debaran yang begitu dahsyat. Tubuhnya seakan merasakan panas dingin yang tak beraturan.

Apalagi manik mata laki-laki itu, tadi sempat bertemu pandang dengan manik matanya, membuat jantung Ayu kembang kempis. Ayu pun tak bisa menahan silihan pandangan itu lebih lama, sehingga Ayu akhirnya memutuskan kontak mata itu dengan menundukkan kepala.

Mendengar laki-laki itu pamit, hati Ayu seakan tak rela berjauhan lagi dengannya. Namun, mengingat kebencian akibat kekecewaan di masa lalu. Ingin rasanya berlari saat ini juga.

"Eh, bentar bentar, Van. Duduk sini aja dulu. Kamu sekalian ada perlu sama Ummi, kan?"

"Iya, Le. Duduk aja dulu," ucap Bu Nyai Hana tanpa menoleh, beliau sibuk menatap kertas putih yang berada di tangannya.

Mendengar penuturan Husain yang didukunh Bu Nyai, Ayu semakin menunduk. Debaran hatinya semakin menggila. Tangannya kini memegang ujung jilbab begitu erat. Ternyata apa yang terjadi tak sesuai dengan harapannya.

"Ya sudah Mbak Ayu. Sudah beres ini. Jazakillah khoir ya."

"Waiyyaki, Ummah. Kalau gitu Ayu pamit Ummah."

"Eh bentar-bentar, Mbak. Ada yang ketinggalan. Tunggu dulu, ya. Ummah mau ambil dulu." Ummah Hana tampak langsung bangkit meninggalkan dua pemuda dan dua pemudi itu.

Kesempatan seakan berpihak kepada situasi yang sama sekali tak diinginkan Ayu. Ia ingin keluar dari situasi yang benar-benar mencekam hatinya ini. Namun apalah daya, Bu Nyai mencegahnya untuk segera keluar.

Beberapa detik berlalu dengan suasana hening, namun saat waktu berganti menit tiba-tiba terdengar laki-laki bersua, "Gimana kabarnya, Ay?"

Hati Ayu seakan terhantam mendengar penuturan laki-laki yang kini berada tak jauh darinya.

"Haduuuh ... ngapain, sih. Nanya-nanya segala. Kenapa nggak pura-pura nggak kenal aja, sih," batin Ayu menggerutu kesal ditengah kemelut hatinya yang berdebar.

.
.
.
.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top