[Dua Puluh Satu]
"Jadi, bolehkah kita saling mengisi? Saling bantu menghadapi segala penyesalan ini bersama?"
Aku diam menelisik raut wajah Gibran yang terlihat memukau terkena percikan jingga milik senja. Gibran menawarkan bantuan bukan? Bantuan yang membuatku terlepas dari belenggu sesal ini. Lalu, apakah harus kulepas begitu saja?
"Oke, mari kita saling membantu, Bran."
Senyum terbit di wajah tampannya, memajukan tangannya guna mengacak rambutku, "Mau makan dulu?"
"Tapi gue yang milih, gimana kalau di warteg aja?"
Gibran menghentikan tangannya di puncak kepalaku, kaget dengan jawabanku, "Yakin lo? Biasanya gue bawa ke rumah makan padang aja ngomelnya sepanjang perjalanan Jakarta Padang."
"Udah, jadi nggak nih? Kalau kaga balik aja."
"Balik aja, terus lo masak gimana?" usul Gibran yang langsung kutolak.
"Kuku gue bisa rusak kalau megang pisau. Perawatannya lebih susah daripada brewok lo. Lo nggak mau masuk koran karena bikin kebakaran kan?"
Gibran manggut-manggut menyetujui, "Ya udah, kita ke warteg aja," putus Gibran akhirnya.
"Ke samping sekolah kita dulu ya, Bran," pintaku.
Gibran yang awalnya bingung tak menjawab, melajukan outlander dari rest area menuju warteg yang memang buka dari pagi hingga malam berada tepat di depan sekolahanku dan Gibran dulu.
Tak sampai memakan waktu satu jam kami tiba di warteg yang untungnya masih buka dan sepi.
"Mang Edi, ingat nggak, siapa?" sorakku saat masuk.
Mang Edi sudah terlihat renta, keringat sudah terpapar jelas di wajahnya, ditambah dengan kulitnya yang mulai keriput. Beliau memejamkan mata, lalu mengusapnya.
"Neng Kila?"
Aku mengangguk, "Iya, Mang ini Kila. Shakila. Masih inget aja nih si Mamang. Berarti Kila nggak berubah. Tetep dekil ya dari SMA," jawabku dengan nada dibuat-buat.
Beliau tertawa, "Neng Kila makin cantik aja, mirip bintang korea."
Gantian aku yang tergelak, "Haduh, Mang. Kalau sama orang korea jauuuh," candaku, duduk di tempat yang disediakan. Tempat ini sudah banyak berubah. Sudah lebih rapi. Tanah yang dulu hanya semen sekarang sudah berganti dengan keramik hitam.
"Kalau ini Mas Gibran, pacarnya Neng Nata, kan?"
Gerakan Gibran saat menarik kursi terhenti, raut wajahnya berubah memang. Namun, kemudian mencoba sesantai mungkin menarik kursi. Menampilkan senyum bahagia, "Yaelah, Mang itu dari zaman SMA juga. Sayang lah muka ganteng kalau cuma stuck di satu cewek."
Aku tertawa dalam hati. Menertawakan kebodohan Gibran. Dasar pembohong. Sama seperti diriku ini. Benar, kami seperti refleksi. Lalu, sanggupkah kami saling membantu?
"Mamang inget deh, tiap istirahat Neng Kila berdiri di pagar sekolah teriak-teriak pesen nasi kucing tiga bungkus. Dulu rajin beliin makan siang buat Mas Januar."
Kali ini, gantian gerakanku mengambil tahu isi terhenti. Kutoleh pada Gibran, dia berkedip menyatakan aku supaya mengikuti dirinya menertawakan kebodohannya sendiri.
"Tempo hari Mas Januar ke sini, pas ketemu Mamang heran. Kok Mas Januar sekarang jadi ganteng begini, mobilnya juga keren. Neng Kila tahu?"
Aku mengangguk. Mengambil tahu isi dan cabai.
"Kok nggak balikan aja, Mbak? Mas Januar dulu kayaknya cinta banget sama Mbak Kila."
DEG. Cinta sama Mbak Kila. Cinta. Sama. Mbak. Kila.
"Eh, atau Mbak Kila sekarang sama Mas Gibran?" Beliau tampak antusias mencari informasi.
"Mang, bahasanya anak muda itu, gayanya kepo," jawab Gibran.
"Mang Edi emang terlampau muda, Bran. Mudanya udah masa lampau. Sekarang tinggal tuanya ya, Mang."
Mang Edi tergelak, nyaring. "Ya udah, nggak kepo lagi. Sekarang mau makan apa? Nasi kucing?"
"Boleh."
Sore itu hingga malam menjemput; aku, Gibran, Mang Edi, tiga bungkus nasi kucing, dan sejumput obrolan nostalgia mengingat masa sekolah dulu. Berbagi hal-hal aneh yang semasa sekolah dulu hanya mampu disembunyikan seorang diri.
"Kila, Mang. Dulu kalau ambil tempe goreng yang gandengan tapi bayarnya satu."
Kami tertawa.
"Gue itu dulu pas LDK osis kentut, tapi pas ditanya nggak mau ngaku lah. Jatuh harkat ketua osis," ucap Gibran membuka aibnya masa lalu.
Kembali kami tertawa mengiringi canda selama ini.
"Dulu itu sering banget tiap sore Mas Januar berdiri di pos satpam, terus pergi kalau Mbak Kila udah lewat. Mamang sampai hafal soalnya hampir tiap hari."
Kali ini tawaku meredup. Warteg Mang Edi memang berhadapan tepat dengan pos satpam dan gerbang masuk.
"Pas Mas Janu udah lulus, dia juga suka ke sini. Nengokin Neng Kila yang masih kelas sebelas."
Bagian ini aku tak tahu. Serius. Kupikir sepanjang dua tahun aku menghabiskan masa SMA-ku tanpa Januar. Lelaki itu benar-benar sudah menetap di luar negeri. Ucapan Mang Edi membuat sesal, sesak, dan rasa bersalah tersebut kembali membesar. Mengikis segala canda tawaku.
Tanganku hangat, saat kulirik. Tangan Gibran melingkupi tanganku di bawah meja. Kutoleh, Gibran menggeleng. Memintaku tak melanjutkan acara mengenang lukaku. Aku mengangguk.
Dirasa langit sudah menggelap. Kami pamit. Beroleh-oleh tiga bungkus nasi kucing kami pulang. Perutku sungguh sudah kenyang. Dan kantuk itu menyerang.
"Bran, gue tidur ya. Kalau sampai ntar bangunin aja." Kuubah sandaran senyaman mungkin untuk merebahkan badan.
"Wah gila. Gue kaya sopir beneran. Lagian lo rakus amat. Nasi kucing cuma satu tapi gorengan habis lima ribu sendiri. Daging lo pergi ke mana?"
"Gue sumbangin sama yang kurang mampu punya lemak, Bran."
Gibran tergelak, "Ya udah lo tidur aja tapi awas kalau lo ngiler. Gue turunin tengah jalan," ancamnya.
Aku menegakan badanku, "Jadi menurut lo, gue sama outlander ini cantikan si outlander?"
Gibran mengangguk-angguk. Aku bersungut, "Kampret!"
Makin tergelak mendengar makianku. Kurebahkan kembali tubuhku. Kantuk sudah semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku memilih ikut terlena dan lelap dalam mimpi.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, kubuka mata secara perlahan. Mobil berheti di suatu tempat yang amat familiar. Komplek perumahan Natalia Laura. Sahabatku. Mantan kekasih Gibran.
Kupejamkan kembali mataku. Membiarkan Gibran mengais lukanya. Membiarkan Gibran berusaha mengenyahkan sesalnya. Kuingin membantu tapi dengan apa?
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Pijakan gas terasa ditekan, mobil berjalan lambat. Dalam gelapnya pejaman mataku sekelibat terlihat Januar sedang berdiri di samping proyeksi, sedang berjalan santai sambil memasukkan tangan di saku celana, atau saat dia lewat di kubikel Rian kemudian memukul kepala sahabatnya itu dengan pulpen di sakunya.
Shit!
Kenapa aku terus memikirkan hal-hal konyol seperti ini. Kutekan kembali pejaman mataku. Sialan. Kali ini senyum Januar yang menghias. Kemudian berganti dengan punggung polos Januar yang terdapat tato menghiasi.
Gila.
Yang terakhir terlintas adalah wajah terluka milik Januar saat meninggalkan kamar hotel.
Double shit!
Kubuka mataku, kali ini aku tak mampu membukanya secara perlahan. Terbelalak hebat saat mendapati wajah milik Gibran hanya berada lima senti meter di depanku.
Mata sehitam jelaga itu juga fokus padaku. Menelisik masuk dalam retinaku. Mengirimkan permintaan supaya aku tetap tenang. Aroma mint yang menguar dari dalam tubuhnya membuatku seperti terbuai.
Wajah itu kian mendekat. Kupejamkan mataku seketika saat menyadari terpaan napas milik Gibran semakin menderu.
Aku dan Gibran?
❤01026969 Likes
Januar.Virendra sama seperti senja yang mengajarkan bahwa sesuatu yang berakhir tak selamanya menghasilkan sesuatu yang tak indah.
View all coments
RianDirga wah bos. Update teruuus IG bos.
BagasP makin berkobar ini pnghuni kubikel samping gue
Shakila_Indira sialan emang lo gas. Mnta dicekokin coklat putih.
Siskalalala ciye Kila hadir jugaaa
ZhioArkh Kita wajib ketemu besok Shakila_Indira
BagasP Aa Jio kepooo ya?
Doakan aku sehat terus jadi bisa nulis terus. Badanku tumbang 😭😭😭😭
Karanganyar, 13 April 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top