Chapter 1

Abnegation : Rise Of Chaos 


Chicago, Wilayah Faksi Abnegation

Suasana damai terusik oleh kabar burung yang menempati urutan pertama di topik perbincangan pagi ini. Tak hanya oleh mereka yang sedang berada di jalanan, kafe-kafe, perkantoran, bahkan yang sedang menikmati secangkir kopi sambil menonton televisi di rumah pun. Entah darimana sumber berita tersebut, namun desas-desus segera menyebar layaknya uap dari sepanci sup baru matang saat dibuka tutupnya.

Di salah satu rumah, seorang gadis bersurai hitam tengah sibuk di dapur, saat suara langkah-langkah kaki berat bersepatu terdengar menggetarkan lantai tempatnya berpijak. Vania Rachella—si gadis itu—tersenyum, mendapati pria yang usianya sudah melewati setengah abad mendekat. Namun alih-alih membalas, pria itu memasang ekspresi keruh, menciptakan kerut penasaran di dahi putri tunggalnya.

"Ada apa, Dad?" Vania bertanya setelah memutar tombol kompor gas ke posisi 'off'.  Ayahnya, Dalton Rachella, adalah pemimpin Faksi Abnegation. Dan Vania yakin, yang membuat keriput di wajah ayahnya semakin tercetak jelas pagi ini berhubungan dengan isu yang marak dibicarakan.

Dalton tak segera menjawab. Ia menuju ke meja pantry—menyesap kopi sekilas, menatap objek di luar jendela. Nanar. Ia baru menolehkan wajah ke putrinya saat berkata, "Hubungi Leofold. Katakan padanya untuk segera pergi ke kantor pusat. Ada rapat darurat bersama pemimpin Faksi yang lain." Mendengar itu, Vania paham betapa serius situasi yang sedang mereka hadapi sekarang. Tanpa banyak bertanya, ia segera pergi ke ruang tengah, melaksanakan titah dari sang ayah.

Entah kenapa, suara nada sambung telepon terasa lebih lama kali ini. Di balik punggung, ia bisa mendengar pintu depan tertutup—menandakan ayahnya telah berangkat tanpa menikmati sarapan. Lalu perhatiannya kembali pada benda yang menempel di telinganya saat bunyi panjang itu terputus. Jantungnya melompat kecil. Sudah lama memang gadis pendiam itu menyimpan perasaan pada Leo, namun tak sekali pun ia memiliki keberanian untuk mengungkapnya.

"Halo." Suara berat dan tegas itu memaksa Vania menggigit bibir bawah—tanpa sadar. Lekas saja ia sampaikan titipan pesan sang ayah, sebelum meletakkan kembali gagang telepon di tempat. Ia benar-benar tak sanggup berbicara lama dengan Leofold, atau hatinya akan meledak!

***

Aula besar itu tampak lebih sibuk dibanding biasa. Orang-orang berpakaian rapi hilir mudik dengan raut wajah serius, menanti keputusan rapat. Suara pintu hitam di tengah ruangan yang mendadak terbuka mampu menyedot seluruh perhatian, memfokuskan mereka pada sosok-sosok yang muncul dari balik pintu. Wajahnya masam. Itulah kesan pertama yang bisa disimpulkan.

"Tidak ada jalan lain, Rachella. Perang sudah di depan mata." Seorang pria berambut keperakan—pengaruh uban—berkata pada Dalton sambil melirik ke bawah. Puncak kepala Dalton memang hanya sebatas dagunya saja. Pria jakung itu pemimpin Faksi Erudite, August Graham. Mereka termasuk orang-orang yang baru keluar dari ruangan berpintu hitam—ruang pertemuan. Dalton mengusap wajah gusar. Napasnya dibuang kasar dari lubang hidung, berharap bisa turut menghilangkan kekalutannya. Perang merupakan hal yang dibenci bagi Abnegation. Sebab, perang akan berujung pada kerusakan dan jatuhnya korban jiwa. Namun ia tak punya pilihan lagi. Keempat Faksi lain menolak jalan damai yang diusulkannya. 

Dalton melirik ke sisi kiri—pada pemuda berwajah tirus dengan iris cokelat gelap yang sebaya putrinya—tempat Leofold berdiri. Laki-laki itu boleh saja muda, namun Dalton sudah mempercayai Leo menjadi tangan kanannya.

"Kau, hubungi tim reaksi cepat. Siapkan semua yang kita perlukan," titahnya tegas. Leo mengangguk mantap. Ia pun bergegas memisahkan diri untuk menelepon ketua tim yang dimaksud. Sedangkan Dalton meneruskan langkah ke tengah aula, di mana sebuah podium lengkap dengan mic telah disiapkan. Begitu pun belasan kamera dan wartawan yang berjajar. Saat ia sudah berdiri di podium, lensa kamera-kamera itu sontak menyorot—membuat wajah keriputnya muncul di semua layar televisi. Ini bukan kali pertama, namun tetap saja Dalton merasa gugup untuk berbicara di depan publik.

"Selamat pagi warga Chicago. Di sini Kami akan menyampaikan pengumuman penting terkait hasil temuan mata-mata. Bahwa dalam dua hari lagi, para Factionless akan menyerang seluruh Chicago." Dalton mengambil jeda sebentar, membuat kasak-kusuk wartawan semakin jelas di telinga. Bak lebah yang mendengung.

"Tidak perlu panik. Kami sudah mengatur semua. Ikuti instruksi yang diberikan oleh masing-masing pemimpin Faksi. Kita akan hadapi mereka bersama. Terima kasih." Bersamaan dengan ia mengakhiri pidato, lampu blitz dari kamera-kamera menyala. Dalton menghela napas untuk kesekian kali. Berharap apa yang baru saja ia sampaikan tak akan pernah terjadi.

***

Di depan sebuah bangunan berbentuk setengah lingkaran dengan dinding beton, seorang gadis muda tampak sibuk memindahkan karung-karung yang baru saja diturunkan dari truk. Karung itu berisi bahan makanan, pakaian, serta obat-obatan. Ia tak sendiri. Belasan orang lain yang tergabung dalam tim reaksi cepat turut membantunya. Gadis itu tak peduli meski debu yang berterbangan mengotori ujung rambut kucir kudanya yang di-ombre dengan warna hijau. Iris oranyenya menyortir satu per satu karung yang masuk ke dalam bangunan—bungker.

"Clarissa!" Suara seorang pria menghentikan aktivitasnya. Gadis itu meluruskan punggung, menilik sosok yang memanggilnya. Hembusan angin memainkan rambut sepekat malam milik pemuda itu, yang sedang setengah berlari menghampirinya.

"What's going on?" tanya Clarissa penasaran. Leo mengambil napas sebentar—terengah. Kedua tangannya bertumpu pada lutut dengan punggung membentuk siku. Sudut matanya melirik gaun biru cerah Clarissa yang ternoda tanah di beberapa bagian.

"Bagaimana persiapannya?" tanyanya setelah menegakkan punggung. Ia menyapukan pandangan ke sekitar, di mana karung-karung masih didistribusikan ke dalam bunker.

"Lima puluh persen," balas Clarissa tanpa ragu. "Tapi aku yakin jika semua akan selesai besok, sebelum perang dimulai." Mendengar kata 'perang', dada Leo terasa sesak. Ya, dia memang tidak menyukai kekerasan. Itulah salah satu alasan kenapa Leo lebih memilih Faksi Abnegation dibandingkan Dauntless, tempat ia menghabiskan masa kecilnya.

Sepotong memori mendadak terputar di otak. Ia teringat dua sahabat masa kecilnya saat masih tinggal di Faksi Dauntless. Dulu saat mengikuti pelatihan militer, mereka bertiga dikenal sebagai anak berbakat. Namun sayang, kedua sahabatnya gugur di seleksi akhir. Kepala mereka tertembak oleh timah panas yang diluncurkan dari segala arah. Sejak saat itu Leo sering menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja waktu itu ia bisa melumpuhkan seluruh penjaga sebelum mereka terjebak ….

Sebuah sentuhan di bahu Leo membuat ia tersentak. Netranya bertemu dengan iris oranye Clarissa yang menatap lembut. "Teringat masa lalu, huh?" tanyanya dengan bibir tersungging. Leo tersenyum simpul. Clarissa adalah satu-satunya orang yang mengetahui masa lalunya. Ia begitu menganggap Clarissa istimewa. Sebab, pembawaan gadis itu yang periang dan selalu bersemangat membuat Leo bisa melupakan segala kesedihannya.

"Sebaiknya kita segera membantu yang lain. Karung-karung itu tidak akan bisa terbang sendiri ke dalam bungker. Ayo!" Clarissa membalik badan. Ujung rambut hijaunya melambai seiring gerak kakinya yang menjauh. Leo segera menyusul kemudian. Di belakang, matahari mulai lengser ke Barat. Menandakan malam akan segera tiba.

Terisa satu hari lagi sebelum perang dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top