2.Namanya Najla
"Pak, sudahlah. Anda sudah terlalu banyak minum."
Omar dan Ragan tidak langsung pulang ke rumah. Selesai mengantar Jihan ke apartemen, Omar membawa Ragan untuk minum di salah satu privat pub di pusat kota.
Omar masih sulit mencerna semua pembicaraan Jihan tadi. Jihan menceritakan tentang pertemuan pertamanya dengan laki-laki kaya di Paris. Laki-laki itu menonton runwaynya sebagai tamu VIP.
Sial!
Kenapa bisa?
"Lo tahu, gue cinta banget sama Jihan, kan? Tapi, bagaimana bisa dia mencintai laki-laki lain! Laki-laki asing yang baru dia kenal selama di Paris. Dan, laki-laki kaya? Memangnya, ada laki-laki yang lebih kaya dari gue? Coba lo cari tahu, seberapa kaya lelaki itu."
"Baik, Pak."
Omar meneguk gelas alkohol yang kesekian. "Gue nggak rela kalau Jihan menikah dengan orang lain. Siapa nama lelaki itu? Wi, winny the pooh?"
"William, Pak."
"Yah, William atau apalah itu. Namanya jelek. Terlalu bule untuk gue yang Arab."
"Kenapa Anda tidak mengungkapkan perasaan Anda yang sebenarnya saja kepada Mba Jihan, Pak?"
"Sebenarnya? Perasaan? Hahaha." Omar menggeletakan kepalanya di atas meja. Kemudian dia mengetuk-ketukkan kepala di meja. "Gimana bisa gue kasih tahu perasaan gue yang sebenarnya? Nanti Jihan nggak mau dekat sama gue lagi!"
"Pak, sudah, Pak. Anda sudah terlalu mabuk."
Omar menarik kemeja Ragan. "Kenapa cuma lo yang dibilang makin cakep dengan Jihan? Gue udah perawatan sampe puluhan juta. Kenapa cuma lo!!"
"Pak ...." Ragan mengibaskan tangan di depan wajahnya, karena aroma alkohol Omar terlalu menyengat. Ia menatap jam tangan. "Sekarang sudah pukul dua pagi, Pak. Abi dan Umi dari tadi menghubungi saya terus. Ayo kita pulang, Pak."
"Gue nggak mau pulang." Omar merengek seperti bayi. "Bilang sama Umi dan Abi kalau gue lagi patah hati."
Ragan tidak bisa membiarkan Omar dalam kondisi seperti ini. Sedangkan besok, mereka sudah harus kembali bekerja. Akhirnya, Ragan membawa Omar secara paksa keluar dari pub. Meski ujung-ujungnya, Ragan harus menggendong Omar di belakang punggungnya.
Omar terus berteriak dan menyanyi di sepanjang jalan sampai mereka masuk ke dalam mobil.
***
Ragan berhasil membawa Omar masuk ke dalam kamarnya tanpa sepengetahuan Abi dan Umi. Karena, jika Jamal dan Zainab tahu kalau Omar mabuk-mabukkan. Bukan hanya Omar yang mendapatkan masalah, tapi Ragan juga.
Ragan berhasil mengganti pakaian Omar dan membuatnya terbaring di atas kasur. Setelah memastikan Omar tertidur pulas, barulah Ragan pulang ke rumahnya.
Tapi ternyata, hal itu tidak bertahan lama. Omar bangkit sendiri dari kasur, berjalan dengan sempoyongan keluar kamar dan menuju dapur.
Ia muntah di wastafel, mencuci mulutnya dengan air keran. Setelah itu, Omar membuka kulkas. Meneguk satu botol air hingga habis. Ketika menutup kulkas, Omar berpapasan dengan seorang wanita asing berkerudung hitam.
Wanita itu berteriak kaget, tapi Omar justru tertawa. "Halo, Jihan." Omar menyentuh tangan wanita itu. "Apa yang kamu pakai ini, Jihan. Kenapa warnanya hitam?" Omar nyaris membuka kerudung wanita tersebut.
Untungnya wanita itu langsung menyingkirkan tangan Omar. "Apa-apaan ini. Menyingkir dari aku."
"Jihaaan, aku mencintai kamu. Sejak kita masih di taman kanak-kanak. Kamu ingat dulu waktu kita kecil? Kita ciuman di bawah peluncuran. Kamu lupa dengan ciuman itu?" Omar menarik dagu wanita itu. "Mari kita ulangi sekali lagi ciuman itu."
Wanita itu berteriak. "Toloong, lepasin saya. Toloonngg!!!"
"Ssh, jangan berteriak sayang. Tenang saja, semua ini tidak akan sakit. Aku akan melakukan ciumannya dengan lembut." Dan Omar langsung mencium bibir wanita itu. Menyentuh kedua lengan wanita itu agar tidak terlepas dengan mudah.
Wanita berkerudung hitam berusaha memberontak, tapi usahanya sia-sia.
Sampai akhirnya lampu dapur menyala. Jamal datang sambil menarik tubuh Omar menjauh dari wanita itu, lalu menyiram Omar dengan seember air es.
"Sialan, lo!" Omar mengumpat kesal. Samar-samar ia menatap tubuh Jamal telah berdiri di depannya. "Dasar kakek tua sialan!" Seru Omar lagi.
Jamal menampar wajah anaknya dengan kencang sampai tubuh Omar terhuyung ke samping, kemudian jatuh ke lantai.
Omar pingsan, atau tidur. Entahlah. Yang pasti, Jamal benar-benar malu dengan Najla—wanita berkerudung hitam yang tiba-tiba di serang oleh Omar. Najla menangis sambil menyentuh bibirnya yang sudah tidak perawan lagi. Karena selama dua puluh lima tahun hidup, Najla selalu menjaga kehormatannya sebagai wanita.
***
Pagi harinya, Jamal sidak di ruang kerjanya bersama Omar dan Ragan yang tertunduk lesu.
Omar sudah mengingat kejadian memalukan tadi malam ketika dia mabuk. Dan itu, membuat Jamal marah besar.
"Kamu sudah bikin Abi malu, Omar! Kamu tahu siapa Najla? Dia anak sahabat Abi yang sengaja Abi bawa dari Indramayu untuk tinggal di sini. Najla ke Jakarta ingin mencari pekerjaan, tapi apa yang telah kamu lakukan tadi malam sudah bikin martabat Abi tercoreng."
Jamal mengembuskan napas dengan kesal. Ia berusaha mengontrol emosinya meski sebenarnya, emosi Jamal sudah meledak-ledak.
"Lagian, kenapa Abi ngebiarin orang asing masuk dan tinggal di rumah kita?" Omar membantah omongan Abinnya.
"Najla, sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Bahkan, saya lebih menganggap Najla sebagai anak kandung daripada kamu. Karena kebodohan kamu, Najla jadi nggak mau keluar kamarnya!"
Omar memutar bola mata jengah. Seberapa hebat memangnya si Najla sampai-sampai Abi sangat membelanya.
"Kamu harus minta maaf dengan Najla, Omar," perintah Abi.
Omar menarik napas panjang. "Iya, iya."
"Ragan, saya mau bukti kalau Najla memang memaafkan Omar," kata Abi pada Ragan.
Omar menoleh kaget. "Bukti? Maksudnya, acara maaf-maafannya direkam?"
"Terserahlah, yang penting bukti." Abi bangkit dari kursi. "Abi melarangmu datang ke perusahaan sebelum kamu minta maaf dengan Najla."
"Apa? Abi, bukannya ini berlebihan."
"Kamu yang berlebihan dan keterlaluan, Omar. Selagi Abi masih hidup, Abi tetap berkuasa di perusahaan The Emrans!"
"Terus, siapa yang menghandle perusahaannya kalau aku nggak ada, Bi?"
"Abi akan memerintahkan Sabian."
Omar nyaris kehilangan kata-katanya. Sabian? Dia adalah sepupu Omar, yang kini menjabat sebagai manager di perusahaannya. Dan digadang-gadangkan akan mendepak posisi Omar. Karena Abi sudah menganggap Sabian sebagai anaknya sendiri. Mengingat, Sabian telah menjadi yatim piatu sejak SMA. Dan selama kuliah, Abi yang telah membiayai hidup Sabian.
Omar benci Sabian, karena semua keluarga mendukung Sabian, menyukai Sabian yang kata mereka adalah lelaki baik.
Padahal bagi Omar, Sabian si muka dua.
Omar mengusap wajah frustrasi. Abi memang tidak bisa dibantah. Perintahnya adalah suatu kewajiban. Abi meninggalkan ruangan begitu saja.
"Gue harus gimanaaaa?" Omar semakin frustrasi. Omar nggak setebal muka itu bertemu Najla setelah apa yang dia lakukan tadi malam. Dan minta maaf? Omar tidak pernah mohon-mohon dengan wanita. Itu membuat harga dirinya jatuh.
"Pak, lakukan ini demi posisi Anda," bisik Ragan.
Omar menghela napas lagi, entah sudah berapa kali.
"Okey, ayo kita samperin tuh, anak. Dia di mana sekarang?"
"Siapa, Pak?"
"Najla, lah. Masa Mang Asep!" Mang Asep adalah supir pribadi keluarga mereka.
"Ada di kamarnya, Pak."
"Yaudah, di mana?"
"Mari ikut saya."
Ragan membawa Omar menghampiri kamar Najla.
***
Omar mengetuk pintu kamar Najla dengan brutal
"Buka pintunya!" Teriak Omar tak sabaran. Dia ingin masalah ini cepat selesai, dan Omar bisa melanjutkan pekerjaannya kembali di perusahaan. Mengingat Omar sangat gila bekerja.
Najla akhirnya membuka pintu. Ia terkejut melihat kehadiran Omar dan Ragan. Ketika Najla ingin menutup pintu kembali, Omar langsung mendobrak pintu kamar Najla.
"Tolong cepat direkam," perintah Omar pada Ragan.
Ragan segera mengeluarkan ponsel.
"Oke, langsung saja ke intinya. Gue minta maaf."
Bukannya menerima maaf Omar, Najla justru menampar Omar dengan kencang.
Lelaki itu terkejut. Najla adalah wanita pertama yang berani menampar Omar di saat semua wanita justru tergila-gila dengan Omar.
"Mas jangan kurang ajar ya. Setelah apa yang Mas lakukan tadi malam, sekarang dengan seenak udelnya Mas dobrak pintu kamar saya dan merekam saya." Najla melototi kamera ponsel yang dipegang oleh Ragan.
"Kamar lo? Ini rumah gue. Lo cuma menumpang," balas Omar sarkastis.
"Tapi seenggaknya, Mas harus punya etika."
Omar terkekeh geli, merasa sangat diremehkan perempuan ini. "Lo ngajarin gue buat beretika? Untuk perempuan kampungan seperti lo, gue nggak perlu pake etika. Cukup logika aja."
Najla berusaha mengontrol emosinya yang meledak-ledak. Najla kenal dekat dengan Abi, tapi Najla tidak pernah bertemu dengan anak-anak Abi sekalipun. Ini pertama kaminya Najla bertemu dan melihat Omar. Ternyata selama ini Najla salah sangka. Najla pikir, sifat anaknya akan menurun dengan Abi—yang baik, lembut dan sopan.
"Keluar dari kamar saya sekarang. Saya sedang tidak ingin diganggu." Najla mendorong Omar keluar dari kamarnya.
Omar menyentuh pergelangan tangan Najla. "Gue cuma butuh maaf dari lo."
"Maaf, Mas. Nggak seperti ini cara meminta maaf yang baik dan benar kepada orang lain. Daripada saya berdosa karena nggak bisa maafin Mas dengan tulus, lebih baik Mas keluar dari kamar saya. Anggap saja kejadian ini tidak pernah terjadi. Assalamualaikum."
Najla menutup pintu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top