Untitled Part 1

Cerpen remake 2014 : Beringin Mawar

Genre : Fantasy


William Spirits duduk di pinggir sawahnya sambil mengipasi tubuhnya yang berkeringat dengan topi jerami. Angin kering membawa debu, sebagian menempel di wajah dan lehernya yang lengket. Sambil menyeka kulitnya dengan lengan baju, dia mengembuskan nafas melalui mulutnya, melirik matahari yang menyengat di atas. Kantung air yang tergantung pada ikat pinggangnya sudah habis setengah, maka dia menahan haus sambil mencoba mengalihkan perhatiannya dari rasa dahaga. Mata keabuannya mengawasi sekeliling. Hanya ada tanah tandus yang kering dan retak. Sedikit jauh di arah barat, dia melihat ada rumah gubuk kecil di tepi sawah kering. Itu rumah ayahnya, yang kini jadi rumahnya dan kelak akan jadi rumah cucunya, Moses.


Sepertinya sudah lama sekali daerah ini menjadi kering. Mendadak mata air tidak lagi menangis, dan sawah-sawah tidak bisa menghijau. Satu persatu orang meninggalkan tempat ini, kecuali William.


Iring-iringan kereta kuda terlihat di kejauhan dan perlahan mendekat ke arahnya. Duduk di atas kuda itu, seorang lelaki yang akrab dikenalnya.


"Hei, Shion. Kenapa kau bawa semua barang dan keluargamu? Sungguh kau mau meninggalkan tanah tempat ayahmu dikuburkan? Bukankah sebagai anak yang berbakti kita wajib menjaga makam keluarga kita?" tegur Will.


"Will, aku tidak bisa hidup di sini. Aku tidak peduli arwah ayahku akan marah atau mengamuk dan mengutukku. Tapi aku punya anak-anak yang butuh makan dan hidup layak. Kau juga sebaiknya meninggalkan tanah ini, sahabatku. Seingatku kau punya cucu untuk diasuh, bukan?" jawab Shion.


"Tidak bisa. Aku lahir di sini, ayah dan ibuku meninggal di sini. Aku cinta tempat ini, aku tidak mungkin meninggalkannya. Bila aku harus mati, aku ingin mati di sini." Jawab Will.


"Jangan egois begitu, Will, cucumu mau makan apa? Daging kaktus seperti biasa?"


"Dia darah dagingku, dia akan bertahan seperti aku bertahan di sini. Seorang Spirits tidak akan menyerah dalam keadaan sesulit apapun." Kemudian mata kelabu Will memandang ke suatu tempat yang jauh, seakan merindukan sesuatu di sana. "Lagipula, aku masih percaya pada janjinya."


"Hahaha ... wanita misterius itu? Ayolah, Will, itu sudah empat puluh tahun lalu. Selama itu kau menyusuri sawah, membajak dengan hati-hati, mencari benih yang dia janjikan padamu. Tapi apa kau temukan itu sekarang? Tapi baiklah bila itu pilihanmu, sahabatku, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik bagimu."


"Terima kasih, selamat tinggal, Shion. Semoga kaupun menemukan tempat yang lebih baik bagi kalian sekeluarga."


Moses Spirits masih berumur empat tahun saat kakeknya berpisah dengan Shion. Dia sedang membakar sampah saat menemukan sebutir benih yang belum pernah dia lihat sebelumnya di sudut sawah kakeknya. Benih itu keemasan, mengingatkannya pada butiran biji jagung. Bila terkena cahaya akan berkilau dan sekalipun tergenang lumpur, benih itu tidak bisa kotor seakan permukaannya terbuat dari batu perhiasan. Moses kecil sudah tahu bahwa benih ini istimewa sehingga saat kakeknya mengulurkan tangan meminta benih tersebut, Moses menahannya kuat-kuat.


"Ini milikku!"


"Ini ladangku, maka benih itu adalah milikku."


"Tapi kau akan mewariskan ladangmu untukku bila kau sudah meninggal nanti. Jadi apa bedanya bila aku memilikinya sekarang?"


"Banyak." Jawab Will, "akan ada banyak perbedaan yang kau temukan saat aku menanamnya daripada kau memilikinya."


"Kalau begitu, aku akan menanamnya."


"Tapi kau tidak tahu benih apa itu dan bagaimana cara merawatnya."


"Aku akan mengetahuinya bila dia sudah tumbuh." Moses mengeruk tanah dengan tangan kecilnya dan mencemplungkan benih itu ke dalam lubang tersebut. Ia menutupnya kembali dan menandai tempat tersebut dengan sebatang papan. "Aku akan tahu bila kau mencurinya dariku."


Untuk pertama kalinya, Will melihat cucunya bersedia pergi ke sumur di desa tetangga untuk mengambil air. Mungkin benih ini bisa mengubah cucunya menjadi seorang petani seperti dirinya, mungkin Will memang harus mengikhlaskan benih yang telah lama dinanti kemunculannya itu.


Ketika masih muda dulu dan belajar bertani dari ayahnya, Will pernah bertemu dengan gadis yang sangat cantik. Tapi gadis itu sedang kelaparan. Di tempat tandus seperti ini, hanya kaktus yang tumbuh subur, dan orang-orang belajar untuk menikmati kaktus agar dapat terus bertahan hidup. Di tempat tandus ini, roti gandum saja sudah merupakan makanan mewah. Dan saat gadis itu muncul di sawahnya, Will baru saja mendapatkan roti gandum, hadiah dari seorang teman di desa sebelah. Sungguh berat rasanya menyerahkan makanan lezat tersebut untuk orang asing. Tapi Will melakukannya karena kasihan, dia tahu bagaimana rasanya tidak makan dan kelaparan. Sebagai ungkapan terima kasih atas ketulusan Will, gadis itu bersedia mengabulkan satu keinginan Will. Will hanyalah seorang anak petani yang mencintai pekerjaannya. Harta dan dunia tidak melintas dalam hasratnya, maka Will meminta agar musim kering ini berakhir sehingga setelah dia meninggal kelak, keturunannya bisa memiliki tanah yang subur untuk ditinggali dan indah seperti surga di atas bumi.


"Suatu hari, aku akan meletakkan sebutir benih legenda di tengah sawahmu. Temukan benih itu dan tanamlah, pelihara sampai dia berbuah dan saat buahnya pecah dimakan bumi, keinginanmu akan terkabul." Demikian kata gadis cantik itu sebelum berlalu pergi.


Empat puluh tahun berlalu setelah peristiwa misterius itu, selama itu Will mengais ladangnya untuk melihat apakah ada benih aneh yang belum pernah dilihatnya. Kadang ia merasa kesal karena gadis cantik itu tidak memberitahu seperti apa ciri-ciri benih tersebut. Ternyata kini cucunya menemukan benih itu dengan mudahnya. Setidaknya Moses menanam benih itu di sawahnya sehingga diam-diam dia bisa ikut merawat.


Karena kekeringan panjang, tidak ada sumber air di desa tempat Will tinggal. Maka untuk mengambil air dia harus pergi ke desa sebelah dan mengantre. Moses tidak pernah sesemangat ini. Bocah empat tahun itu membawa ember penuh dengan air di tangannya, sambil bernyanyi dengan suara sumbang, dia pulang ke sawah bersama Will yang membawa ember lain. Bocah itu menumpahkan isi ember begitu saja di atas titik dia menanam benihnya sehingga Will khawatir benih itu akan hanyut atau membusuk.


"Hati-hati jangan sampai membanjir, nanti busuk!" tegur Will.


"Benih ini akan kujadikan pohon beringin yang kuat dan kokoh! Maka dari itu dia butuh banyak air!" kata Moses.


"Darimana kau tahu itu pohon beringin? Aku sendiri tidak tahu dia akan tumbuh menjadi apa."


"Karena aku ingin seperti itu. Aku ingin beringin, dia harus jadi beringin."


"Tapi bisa saja dia tumbuh menjadi bunga, atau rumput, atau tanaman merambat seperti anggur."


"Kalau begitu bukan tidak mungkin bila dia tumbuh menjadi beringin!"


Kekesalan Will menjadi tawa, mungkin karena melihat kepolosan di wajah cucunya yang masih belia, betapa lugu jalan pikirannya. Tapi bakat kekeras-kepalaannya sudah terlihat jelas. Biasanya orang keras kepala berpotensi untuk menjadi orang rajin dan tekun, seperti layaknya keluarga Spirits. Bahkan konon, mereka disebut "Spirits" karena kekeras-kepalaan mereka.


"Jangan bandel, dengarkan orang yang sudah berpengalaman. Nanti kamu rugi sendiri."


Suatu hari, Moses memergoki kakeknya sedang mencoba untuk menggali tanah tempat dia menanam benih tersebut. Bocah itu berteriak dari dalam rumah, sampai dia berlari ke tempat Will dan marah-marah melindungi benihnya. "Kakek, kau jangan membunuh benihku!"


"Aku tidak membunuh benihmu."


"Kenapa kau menggalinya?!"


"Perhatikan baik-baik, Moses. Tempat ini sangat buruk, karena ini adalah area yang paling kering daripada area lainnya. Dan di tempat yang sangat buruk ini, tempat benih ini ditanam adalah tempat terburuknya; ini adalah tempatku membakar sampah! Benih ini tidak akan hidup lama bila kau tidak memindahnya ke tempat yang lebih baik."


"Jadi benih yang kau bilang istimewa ini harus tumbuh di tempat tertentu, seperti tempat yang subur, tempat yang banyak air, tempat yang terjaga? Apanya yang istimewa? Ia sama seperti benih-benih lainnya."


Will terkejut dengan ucapan Moses barusan. Mengesampingkan keegoisan yang sangat terasa dalam ucapannya, Moses benar. Bila benih ini istimewa, dia bisa tumbuh di mana saja dalam keadaan apapun. Tapi ini masih hari pertama, Will masih punya kesempatan untuk menyelamatkan benih ini dan mewujudkan impiannya. Tapi dia harus cepat memutuskan apakah dia harus mendengarkan cucunya, atau mengikuti kata hatinya.


"Oke, terserah." Will menyerah. Cucunya jauh lebih Spirits daripadanya.


Tapi menyerah bukan berarti mundur. Setiap hari Will mengawasi tempat benih itu ditanam dan mulai mengganti lokasi untuk membakar sampah. Moses dengan tekun menyirami benih itu, setelah itu dia akan nongkrong dekat benih itu ditanam dan mengajaknya bicara seperti, "kalau kamu sudah jadi beringin nanti, aku bisa tidur di bawah dedaunanmu. Atau dahanmu bisa kutebang untuk membangun rumah yang lebih besar daripada punya kakek!"


Satu minggu, dua minggu, tidak ada tunas yang menyembul keluar dari tanah. Mereka menunggu lagi sampai tiga bulan, tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan. Will kembali berniat untuk memindahkan benih itu, tapi Moses akan berteriak dan mengamuk. Di lain pihak, Will tidak suka memaksakan kehendak, karena dirinya sendiri juga tidak suka dipaksa. Setahun berlalu, masih tidak ada tanda kehidupan. Moses kehilangan semangat untuk memelihara tanamannya dan menemukan hobi lain; berburu binatang di padang rumput yang jauh. Harusnya ini kesempatan bagi Will untuk memindahkan benih itu, bukan? Tapi dia tidak melakukannya. Dia sudah putus asa, yakin bahwa benih itu sudah mati.


Tidak ada dari mereka berdua yang menyadari apa yang sedang terjadi pada benih itu. Rupanya air begitu sulit ditemukan di bawah tanah sehingga dia butuh waktu yang sangat lama untuk membelesakkan akarnya dalam-dalam ke perut bumi. Perjuangan jadi semakin sulit setelah menemukan lapisan tanah sekeras batu, akarnya harus tumbuh dengan sabar untuk menembus batu besar tersebut hingga akhirnya dibawah tanah sekeras batu itu, si akar berhasil menemukan air.


Sepuluh tahun berlalu, baik Will dan Moses sudah lupa dengan benih itu. Will semakin tua dan Moses sudah menjadi seorang remaja, suaranya sudah berubah menjadi semakin berat dan keras. Dengan suara seperti itulah dia berteriak memanggil Will untuk melihat ada tunas yang tumbuh dari tempat dimana sepuluh tahun lalu dia menanam benih istimewa tersebut.


Moses kembali rajin bolak-balik sumur dan sawah untuk mengambil air. Setiap kali menyiram, dia berbisik pada tunas tersebut, "tumbuhlah jadi beringin yang besar sehingga aku bisa membangun kapal untuk berlayar pergi mencari tanah yang lebih subur."


Lima tahun berlalu dan benih tersebut menunjukkan identitasnya. Daripada tumbuh lurus ke atas, batangnya merayap di atas tanah ditumbuhi dedaunan. Tidak butuh seorang jenius untuk mengetahui bahwa itu bukan beringin. Moses sangat kecewa sehingga tidak bisa mengatakan apapun, ia bahkan tidak mau melihat kakeknya.


"Kelihatannya benih unggulan ini adalah semacam mawar. Kurasa tidak mungkin ia menjadi beringin seperti yang kau inginkan."


Kekecewaan Moses akhirnya meledak, "kenapa kau tidak bilang dari dulu? Lima belas tahun aku membuang waktu hanya untuk menyirami bunga! Aku ingin beringin, aku ingin kayu, agar aku bisa membangun kapal untuk meraih kebebasan yang layak kudapatkan!"


"Kau tidak akan kecewa kalau saat itu menyerahkan benih tersebut padaku. Aku sudah tahu sifatmu yang selalu berubah-ubah. Sebentar mau ini, sebentar mau itu, tidak bisa mendengarkan orang lain, merasa paling tahu dan keras kepala. Coba kalau saat itu kau mendengarkanku."


"Ini omong kosong!" Moses menginjak-injak tanaman mawar itu hingga hancur berantakan.


"Hei, hei! apa yang kau lakukan?! Kau bisa membunuhnya!" Will cepat-cepat mendorong cucunya untuk menyelamatkan tanaman itu.


"Bunga, itu cuma bunga. Kau lihat dong tempat apa ini? Ini adalah tempat kering yang tandus. Kita butuh pohon yang bisa berbuah atau tanaman yang bisa dimakan. Apa gunanya bunga di tempat macam ini? Kau hanya pemimpi, Kakek. Dan untuk hidup, kita tidak butuh mimpi, kita butuh makanan!" Moses pergi meninggalkan kakeknya dan tanaman tersebut.


Moses benar, yang dia katakan sepenuhnya benar dan masuk akal. Tapi melihat tanaman bunga itu, Will kembali teringat pada gadis cantik yang dulu diberinya roti gandum. Dia masih ingat janji gadis itu padanya, bahwa dia akan memberi jalan bagi Will untuk mewujudkan impiannya; memberikan tanah yang indah dan layak huni bagi keturunannya setelah dia mati kelak. Agar tanah tempat orangtuanya dikubur tidak dilupakan. Agar kuburan leluhurnya masih bisa dijaga. Dan lebih dari itu semua, agar tanah yang sangat dicintainya ini bisa hidup seindah surga. Gadis itu sudah menepati janjinya, memberikan benih unggulan padanya. Apapun jadinya benih itu nanti, dia percaya impiannya akan tercapai. Suatu saat... bila dia terus bekerja keras memelihara tanaman tersebut.


Berdasarkan kepercayaan tersebut, Will merawat tanaman yang sudah tercabik-cabik itu. Orang-orang yang melihat keadaan mawar rusak itu menasihati Will untuk menyerah saja. "Ia sudah mati, lakukanlah hal lain yang lebih berguna."


"Tidak bisa." Will terbatuk. Belakangan ini tubuhnya mulai melemah, dia sudah tidak sekuat dulu. Nafasnya menyesakkan rongga dadanya, mungkin karena terlalu banyak angin berdebu yang dihirupnya selama ini. Waktunya makin menipis untuk mewujudkan impiannya. "Mawar ini ingin hidup, dan aku ingin dia hidup."


"Kau mulai berhalusinasi, Will."


"Tidakkah kau lihat getah bening yang berkilauan keluar dari batangnya yang terkoyak? Kau pikir itu apa? Itu adalah hasrat, keinginan. Dia ingin hidup dan memintaku untuk membantunya tumbuh. Aku bisa mendengar bisikannya langsung ke hati nuraniku."


"Aku harap kelak kau sadar dari tidurmu dan melihat segalanya hanyalah ilusi, Will." Mereka meninggalkan petani tua itu sendirian dengan tanamannya yang hancur.


Sore itu matahari sudah bersiap untuk masuk ke peraduannya, Will tua duduk di sebelah tanaman mawar yang mulai perlahan menyembuhkan diri sambil merintih kesakitan. Seseorang datang membawa seember air dan menuangkannya ke atas tanaman mawar tersebut.


"Hei, hei, jangan banyak-banyak, nanti busuk!" tegur Will pada pemuda itu.


"Tidak apa-apa. Dia bisa tumbuh di tanah buruk walau butuh waktu yang sangat lama. Dia tidak akan membusuk hanya karena terlalu banyak air."


Will menerima uluran tangan Moses dan keduanya berdamai. Sejak hari itu, Moses akan mengambil air untuk menyirami tanamannya. Suatu ketika saat sedang menyiram tanaman, seorang gadis cantik melewati persawahan mereka dan menegur Moses. Dia manis sekali, ember di tangan Moses terjatuh begitu saja hanya untuk membalas lambaian gadis manis itu. Pemuda itu tidak sadar embernya jatuh dan tumpah sehingga dia harus kembali lagi ke desa tetangga untuk mengambil air. Tapi pemuda itu tidak keberatan, ia bahkan bersenandung ringan sambil tersenyum-senyum.


"Tumbuhlah dengan baik dan berbungalah, aku akan memetik bunga-bungamu untuk diberikan pada Mona." Ujarnya saat kembali lagi ke sawah.


Mawar tumbuh subur, batangnya semakin kokoh sehingga menjulang ke atas. Daunnya tidak berwarna hijau, namun semerah darah dan bentuknya menyerupai kelopak mawar. Moses tidak pernah memberikan bunga mawar untuk Mona, dan gadis itu kini telah menikah dengan lelaki lain dari desa lain yang sangat jauh dimana ada banyak bunga mawar di kebunnya.


Moses mabuk. Mabuk karena marah, karena kesal dan kecewa. Dia pemuda paling konyol yang pernah hidup di dunia ini. Menanam beringin, tapi tumbuh menjadi mawar. Setelah menerima kemawaran tanaman itu, akhirnya malah tumbuh menjadi pohon aneh yang tidak jelas. Dan gara-gara tidak punya mawar untuk diberikan, dia kehilangan cinta sejatinya. Dalam pengaruh alkohol, cegukan karena mabuk, Moses pulang ke sawah dan membongkar gudang. Diambilnya kampak dari sana lalu menghadapi pohon aneh itu.


"Hei! Aneh! Sinting! Kamu ini mawar atau beringin? Kamu tidak jelas, kamu membuatku kecewa terus sejak aku masih kecil. Kau membuang waktuku, waktu yang harusnya kugunakan untuk bermain tapi kupakai untuk menyirami kamu. Kembalikan hidupku yang kau sia-siakan!" Moses Spirits mengayunkan kampaknya dengan kuat.


Saat matahari menyingsing, Will berdiri bagaikan patung di hadapan serpihan-serpihan kayu dan dedaunan berwarna merah yang bertaburan di sekitarnya. Kerja kerasnya bertahun-tahun, harapan dan impiannya, berserakan di atas tanah tandus. Tanah subur dan gembur, ladang persawahan dengan pemandangan seindah surga bagi keturunannya, kini hanya tinggal fantasi.


"Ini impianku yang kuangkat demi kau juga, kenapa kau begitu egois, Moses?!" gigi-gigi Will yang mulai tanggal itu bergemeletak karena kesalnya. Ia meletakkan telapak tangannya di wajah untuk menampung air matanya yang mengalir ke siku dan jatuh ke atas tanah gersang. Terbayang olehnya, kerja kerasnya setiap hari, bagaimana dia mengambil air dari tempat yang jauh, memetik setiap hama dan serangga yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman ini. Segenap penantiannya, impiannya, harapan, semuanya hancur gara-gara cucunya kehilangan seorang gadis yang ingin mawar.


"Will ...?" kakek itu mendengar namanya dipanggil oleh seorang gadis. Bulu romanya berdiri, merinding mendengar bisikan angin, " ... Will? Kau dengar aku?"


Will hanya terisak, tubuhnya sudah lelah, tangannya sudah gemetar, hidupnya tak lama lagi. Tidak yakin dia punya kekuatan lagi. Dia hanya ingin mati. Dia sudah pasrah apabila keturunannya kelak harus hidup menderita di sini, atau harus pergi meninggalkan tanah yang sudah diwariskan dari kakek buyutnya ini.


"Will?" sekali lagi daun telinga yang berkeriput itu menangkap suara angin memanggilnya. "... jangan menyerah!"


Will mengusap matanya, menyudahi tangisannya. Ia menyentuh yang tersisa dari pohon tersebut, dan bertekad; sebelum nafasnya benar-benar berhenti, sebelum kakinya lumpuh, sebelum tangannya kaku, sebelum matanya buta, dan sebelum dia sudah benar-benar tidak bisa berbuat apapun lagi, dia akan terus bangkit. Dia harus terus bangkit dan mulai lagi. Tidak ada waktu untuk berduka dan mengasihani diri atau menyesali yang sudah terjadi. Apapun yang terjadi, dia harus bangkit lagi.


"Mari, Beringin Mawar, kita mulai lagi." Bisiknya.


Setelah membersihkan sawahnya yang berserakan oleh dahan pohon mati, Will bangkit dan berjalan ke desa sebelah untuk mengambil air seperti biasa.


Tiga tahun kemudian, pohon yang mati itu kembali tumbuh menjadi Beringin Mawar. Will mulai mengerti bahwa benih itu bisa mendengar. Maka Will membisikkan kata-kata tertentu saat berbicara dengan Beringin Mawar. "Semoga batangmu tumbuh sedemikian kuat sehingga tidak ada satu belatipun yang mampu menyakitimu."


Dan itulah yang terjadi. Taifun datang dan mengobrak-abrik apapun yang dilewatinya termasuk rumah Will. Tapi Beringin Mawar itu sangat kuat dan kokoh, tidak tergoyahkan oleh angin badai. Bahkan pohon itu melindungi rumah Will dari tiupan angin kencang dengan menahan embusannya.


Pertama, datanglah burung membangun sarang di dahannya, kemudian kelinci dan tupai. Beringin Mawar menaungi mereka. Dedaunannya kini berwarna merah muda dan berkilau apabila terkena cahaya. Lumut mulai tumbuh di sekitar tanah tempat akar pohon Beringin Mawar terpasak kuat. Kemudian muncul rumput pertama di tempat itu, dan bunga kecil seperti dandelion terlihat menari dengan asri di bawah bayang-bayang Beringin Mawar.


Dengan bangga Will menyentuh batang Beringin Mawar itu dan menyadari ada luka-luka parut di sepanjang dahannya yang telah mengering. Sadarlah dia bahwa Moses masih sering datang untuk mencoba menebang Beringin Mawar.


Malam itu Will berpura-pura tidur dan melihat bayangan Moses datang ke sawahnya membawa kampak. Dari bibirnya terdengar makian, "matilah kau monster!"


Tadinya Will berniat untuk menghampiri cucunya, sampai dia menyadari bahwa Si Beringin Mawar tidak butuh pertolongannya. Bunyi nyaring terdengar, ada besi yang sedang menjerit. Rupanya kampak Moses terbelah dua. Pemuda itu berlutut di hadapan Beringin Mawar. Kalah.


"Apa yang kau lakukan, Moses?" tanya Will.


"Kakek, buka matamu baik-baik. Mana ada pohon seperti ini? Jelas ada setan masuk ke dalamnya!" Sorot amarah yang biasa terpancar dari mata Moses rupanya telah berubah menjadi sorot horor.


"Bukan, bukan setan. Kau hanya tidak memahaminya, maka kau takut padanya."


"Aku harus membunuhnya, Kakek, atau seluruh desa akan terkutuk!"


"Dengan apa?" tanya Will enteng. "Lihatlah baik-baik. Dia selalu belajar. Apapun yang kau lakukan terhadapnya, kau hanya akan membuatnya menjadi semakin kuat."


"Itulah sebabnya kukatakan ada setan hidup di dalamnya! Sadarlah Kakek!"


"Ini bukan setan, akhirnya aku mengerti apa esensi pohon ini. Sesungguhnya, benih yang kau temukan dua puluh lima tahun lalu itu bukan benih mawar ataupun beringin. Dia adalah benih universal yang merupakan raja segala tanaman. Dia bisa tumbuh menjadi apapun, dan kemampuan beradaptasinya sangat baik sehingga membuatnya abadi. Kau sadar sebaiknya dia dinamakan apa?"


"Aku tidak peduli, ini aneh dan mengerikan, aku ingin dia musnah!"


"Harapan, Impian. Selama hasrat dan keinginan masih terus memeliharanya, impian itu takkan sirna. Ia akan belajar dan menyesuaikan diri, membangun dirinya menjadi lebih kuat agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Ya. Aku menamakan pohon ini; Impian!"


"Kau tahu, Kek? Aku rasa setan itu juga telah meracunimu!"


Moses meninggalkan kakeknya dan menghilang ke desa. Dia menceritakan kepada seluruh desa mengenai apa yang dialaminya. Seluruh desa ketakutan. Setan telah merasuki William dan tak lama lagi, setan akan merasuki mereka juga. Dari ketakutan timbul kemarahan. Mereka harus melakukan sesuatu agar suasana mencekam itu menghilang. Maka mereka mengumpulkan minyak dan menyalakan obor. Penduduk desa bersatu mendatangi persawahan William Spirits dan menuntut agar pohon itu ditebang atau dimusnahkan.


"Pohon ini adalah impianku, aku mendedikasikan hidupku untuknya. Aku berjuang untuk mewujudkan impianku, melalui Impian!" William berkata kepada mereka di depan Beringin Mawar. "Bila kalian ingin membunuhnya, bunuh aku juga!"


Maka mereka membunuh William Spirits, dan membakarnya bersama dengan Beringin Mawar. Ketika asap naik ke langit, mereka percaya Tuhan telah tersenyum pada mereka karena menyingkirkan setan. Mereka berpesta, menari dan mabuk untuk merayakan kebebasan mereka dari perwujudan iblis. Moses tidak pernah terlihat lagi, pemuda itu meninggalkan desa untuk mencari tempat baru.


Sedikit yang mereka tahu, abu William yang bersatu dengan abu Beringin Mawar itu tumbuh menjadi sebatang Beringin Mawar baru yang tidak lagi mempan terbakar. Dahannya kini menghitam sepenuhnya, hitam yang legam menyerupai batu obsidian. Daunnya masih berwarna merah muda yang ketika terkena cahaya akan memantulkan pelangi di atasnya sehingga tampak seperti mahkota. Ketika dedaunannya bergesek, terdengar irama merdu bagai nyanyian angin yang hangat.


Penduduk ketakutan dan ingin membunuhnya sekali lagi. Tapi tak ada apapun yang bisa mereka lakukan untuk membunuhnya. Karena itulah, mereka meninggalkan desa sehingga hanya ada hewan yang hidup di sana.


Tahun berlalu, rerumputan mulai tumbuh di sawah William Spirits yang melembab karena akar dari Beringin Mawar. Ada mata air yang mencuat keluar dari sawah William, dimana rusa bisa singgah dan minum sedikit. Tak lama, pepohonan lain mulai bermunculan dan tumbuh di luar sawah William. Kupu-kupu berdansa dan hinggap di atas bunga liar di sekitar pohon. Tempat tandus itu kini adalah padang rumput.


Beringin Mawar akhirnya berbuah. Setelah matang, buah sebesar bola basket itu jatuh ke tanah dan pecah. Airnya yang bening membanjir ke mana-mana dan seketika tanah di luar persawahan William jadi lembab sehingga tanaman lain bisa ikut tumbuh juga di sana.


Puluhan tahun berlalu, Joshua Spirits adalah seorang pengelana muda yang bersemangat dan keras kepala. Sejak kecil dia selalu bermimpi tentang sebuah tempat yang sangat indah, seperti surga di atas bumi. Ketika dia sudah dewasa, impian itu tidak kunjung hilang, terus memanggilnya untuk datang. Joshua mendengarkan kata hatinya, pergi ke sebuah tempat dimana kakeknya tidak pernah cerita bahwa tempat seperti itu sungguh ada. Ia melangkah atas dasar rasa percaya bahwa tempat itu ada, dan dia tahu kemana harus pergi.


Seperti ombak yang kembali ke tepi pantai, dia sampai di hadapan Beringin Mawar dan menemukan sumur di dekatnya dimana dia bisa minum air segar sepuas hatinya. Jatuh cinta pada surga di atas bumi itu, Joshua Spirits pulang ke kampung halamannya. Dia kembali lagi membawa seluruh keluarganya untuk menghuni surga di atas bumi.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: