Bab 3
Edmund bersiul sambil melangkah dengan riang. Di tangannya ada kunci emas, kunci khusus untuk membuka gudang harta karun Para Pevensie. Semua barang-barang mewah disimpan disana.
Lelaki itu membuka kunci pintu kayu putih. Nampak lorong gelap menuju ke bawah sana. Meski begitu, Edmund melangkah tanpa ragu, menuruni tangga dalam kegelapan. Dia sudah memasuki tempat ini lebih dari puluhan kali. Dia sudah tahu berapa besar anak tangga yang dia pijak. Selain itu, ada obor yang bercahaya dibawah sana. Membuat tempat ini tak begitu gelap meski cahaya obor tak mampu menerangi pijakannya.
Kaki Edmund melangkah dengan ringan. Hingga dia tiba di bagian paling dasar Cair Paravel. Matanya menatap ke arah ukiran singa di dinding. Selalu menjadi lambang Narnia selamanya, Aslan The Lion.
Setelah puas menatap ukiran Aslan, mata biru Edmund mengerling ke arah patung-patung para Pevensie disini. Patung Peter akan selalu menjadi yang terbesar, dengan jubah megah dan mahkota indah miliknya, dia akan selalu di letakkan di bagian tengah. Dan pastinya selalu berada di sebelah kanan milik patung Susan. Barulah patung Edmund ada di kiri patung Susan dan di sebelah lain patung Peter, ada patung milik Lucy.
Di depan patung-patung itu terdapat peti-peti yang terbuat dari emas. Edmund melangkahkan kakinya menuju patung miliknya sendiri. Tangannya meraih peti untuk dibuka, menampilkan puluhan jenis permata, perhiasan, pedang dan benda berkilau lain sebagainya.
Kedatangan Edmund kesini sebetulnya karena ingin mencari pedang perak yang dibuatkan oleh para dwarf putih. Katanya terbuat dari darah naga. Atau apalah itu, Edmund tidak yakin. Yang jelas Edmund suka dan dia akan selalu setia dengan pedang itu selama dia maupun pedang itu tidak hancur.
Lalu fakta bahwa pedang ini ringan dan nyaman untuk dibawa kemana-mana, memang membuat Edmund akan selalu mencari pedangnya alih-alih pedang yang lain. Pasalnya jika dibandingkan pedang miliknya dan pedang emas Peter pemberian Santa Claus, pedang milik Edmund terasa lebih ringan. Itulah yang membuat Edmund lebih sering menang jika sparing melawan Peter. Karena pedangnya yang ringan membuatnya jadi lebih baik dalam kecepatan ketimbang adu tenaga. Yah, meski dengan pedang Peter dia justru akan lebih hebat lagi.
Selain itu, mata Edmund jeli. Dia tahu dimana celah yang tepat untuk mengalahkan lawan. Itulah kenapa dia diberikan gelar Kesatria terbaik Narnia, mengalahkan Peter yang seorang Raja Agung.
Dia meraih pedangnya, dengan sarung yang terbuat dari kulit minatour. Gagangnya di hias permata safir dengan bentuk ujung gagang yang nampak rumit. Sekali dia melepas sarung pedang, akan muncul pedang bermata ganda. Di tengah pedang, terukir namanya dengan megah. King Edmund The Just.
"Aku lebih suka julukan Duke Of WesternLamp." Tak bohong. Jelas itu terdengar lebih sederhana ketimbang gelar Rajanya.
Dia memang di anugerahi Western Lamp sebagai wilayah yang perlu dia urus. Dan kata Duke yang memiliki posisi di bawah Raja, pekerjaannya terdengar lebih santai ketimbang Raja. Mungkin karena dia memang terlalu sederhana dibandingkan saudaranya yang lain. Tapi itu tak membuatnya menjadi rendahan. Dia justru menjadi kebanggaan Western Lamp.
Alis Edmund mengernyit saat matanya tak sengaja mendapati gulungan perkamen dengan tali hitam di dalam peti. Peti ini adalah peti miliknya. Tidak ada satupun barang yang boleh masuk disini selain barang yang dia izinkan. Dan Edmund ingat betul kalau dia tidak pernah memberi izin pada sebuah perkamen untuk masuk di peti ini. Dia selalu menaruh perkamen di atas meja kerjanya, atau biasanya juga di lemari buku. Kenapa tiba-tiba ada perkamen disini?
Lelaki itu membuka tali hitam yang mengikat perkamen itu. Dia awalnya ragu. Siapa yang tahu kalau perkamen ini berisi sihir hitam? Oh, Edmund tidak bodoh. Sudah terlalu sering dia mendapat serangan sihir dari barang-barang yang terlihat sepele.
Jadi Edmund menaruh perkamen itu di lantai. Dia menendang gulungan itu pelan dan membuatnya terbuka. Menampilkan lukisan dengan tinta emas dan hitam, seorang perempuan yang sangat asing, tengah memeluk seekor harimau yang sedang duduk. Di belakang harimau itu ada gambar kepala singa.
Apa ini?
Siapa yang membuat lukisan ini?
Berbagai pertanyaan timbul di kepala Edmund. Alisnya semakin berkerut setiap detiknya. Membuat kepalanya panas begitu saja. Dia mengambil perkamen asing itu.
Matanya meneliti setiap goresan tinta pada perkamen. Goresannya kuat, mengandung perasaan dan emosi dari pelukisnya.
Edmund menatap perempuan dalam lukisan itu. Wajahnya yang hanya terlihat setengah itu nampak asing. Edmund tidak pernah melihat perempuan seperti ini. Pakaiannya pun asing. Tak seperti pakaian bangsa Narnia maupun Archenland yang sering dia lihat.
"Siapa?"
***
"Dimana perburuan kali ini akan kita laksanakan?" Lucy dengan semangat bertanya pada ketiga saudaranya.
Berburu adalah kegiatan tahunan di Narnia. Kegiatan ini selalu dilaksanakan saat musim panas karena musim dingin adalah periode hibernasi dan masa melahirkan bagi beberapa hewan. Lalu musim gugur adalah periode hewan mencari makan. Jika melakukannya di dua waktu itu, maka para hewan akan kesulitan bertahan hidup dan berakhir punah. Karena itu, musim panas adalah musim yang paling cocok untuk berburu.
Di Narnia sendiri, biasanya para Raja dan Ratu akan turun tangan langsung untuk membuat pesta musim panas dan acara perburuan. Tapi saat ini yang paling berperan besar adalah Susan. Dialah yang selalu menentukan posisi strategis perkemahan dibuat, dan dia juga yang selalu membuat jadwal yang akan diikuti para rakyat Narnia jika ingin berburu.
"Aku memilih The Frozen Lake. Ingat danau yang selalu membeku setiap musim dingin itu? Disana kita akan berkemah, lalu daerah berburu, aku memilih di WesternLamp." Susan menjelaskan. Kali ini dia sedang duduk di sofa istirahat sambil membaca catatan daftar barang yang akan di gunakan untuk perburuan.
Lucy mengangkat sebelah alisnya. "Tidak biasanya. Kupikir kita akan ke DancingTree. Omong-omong, kalau ke WesternLamp, artinya kita akan berkemah di dekat rumah para Beavers?"
Edmund yang sedang menyusun teka-teki dari balok kayu di lantai itu menoleh dengan alis mengernyit. Nampak tidak suka jika mendengar kata Beavers. "Serius di dekat para berang-berang itu? Lucy, perintahkan para koki membuat bekal makanan. Aku menolak makan makanan dari rumah para Beavers. Tidak enak."
Mengingat setiap kali mereka mengunjungi para berang-berang, pastinya keempatnya akan disuguhi makanan para berang-berang seperti ikan kering, ikan mentah, ataupun hanya sekedar kacang. Dan sungguh. Menolak hidangan yang diberikan tuan rumah itu sangat tidak menyenangkan. Bayangkan saja kalian harus makan ikan mentah atau ikan kering setiap datang kesana. Ugh. Memikirkannya sudah membuat muntah.
Bukannya Edmund membenci makanan yang diberikan para Beavers. Hanya saja, makanan itu tidak cocok untuk manusia.
"Berhenti, Ed. Para Beaver akan sedih jika mendengar kalimatmu. Biar bagaimanapun mereka juga telah berjasa untuk perdamaian Narnia. Jadi kamu harus menghormati setiap hidangan yang mereka berikan pada kita. Karena itu pastilah hidangan terbaik yang mereka miliki." Peter menegur. Laki-laki tertua di ruangan itu tengah berdiri menatap pemandangan laut pada jendela luas di depannya.
Mendengarkan adiknya mengoceh seolah merendahkan salah satu rakyatnya, Peter merasa cukup kesal. Baginya, meskipun tidak menyukai hidangan yang diberikan, tetap ada tata krama yang perlu diterapkan. Yaitu menghormati pemberian sang tuan rumah dengan cara tidak menghina pemberiannya. Meskipun tidak suka, tidak perlu menghina. Cukup amati dalam diam saja.
"Tapi aku benar-benar membenci ikan mentah itu, Pete. Kau lupa aku langsung muntah dan pingsan di tempat saat memakannya?" Edmund memberi pembelaan.
Lucy yang tengah duduk di sebelah Susan itu menoleh dengan jijik. "Itu salahmu sendiri yang tidak bisa membedakan mana ikan mentah dan kacang. Bisa-bisanya kau mengambil ikan mentah dengan tanganmu sendiri."
Mereka semua masih ingat jelas karena itu kejadian tiga bulan lalu. Keempatnya sedang berkunjung ke rumah para Beaver karena Ms. Beaver baru saja melahirkan dan mereka ingin memberikan hadiah. Hari itu ada empat hidangan. Wortel, ikan mentah, kacang dan juga jagung. Semua hidangan di susun berjejer di meja makan. Dan di antara semuanya, Edmund justru mengambil ikan mentah.
"Benar, Ed. Ikan mentah itu jelas-jelas licin, basah dan berbau amis. Sejak mengambilnya, kenapa kau bisa tidak menyadari teksturnya di tanganmu?" Peter akhirnya berbalik. Wajahnya geli dan terlihat meremehkan.
Susan menutup catatannya. Baginya ini juga harus dipertanyakan. Hanya orang yang benar-benar bodoh jika tidak tahu kalau yang dia pegang itu adalah ikan dan bukan jagung atau kacang.
"Edmund, kau menghayal apa sampai tidak tahu itu ikan?"
Edmund terdiam. Dia juga tidak tahu kenapa bisa mengambil ikan alih-alih kacang atau jagung. Hari itu tangannya bergerak begitu saja dan ikan itu sudah ada di mulutnya saat dia sadar.
"Apa jangan-jangan karena terlalu sering menggunakan pedang dan membuat tanganmu menjadi kapalan juga lecet? Apa itu juga membuatmu tidak bisa membedakan tekstur suatu barang?" Lucy menutup mulutnya. Ini hanya pikiran pribadinya saja. Tidak sedikitpun berniat menyinggung saudaranya. Tapi siapapun yang dengar, jelas Lucy seolah sedang meledek Edmund.
Edmund yang duduk di lantai itu terdiam agak lama. Dia jadi teringat kejadian saat itu. "Kupikir... kupikir karena kita bercerita dengan sangat seru. Lalu bentuk ikan itu lonjong dan berwarna perak kebiruan. Jadi kupikir bukan ikan mentah. Melainkan makanan jenis baru."
Kalimatnya membuat ruangan istirahat itu hening sejenak. Jangkrik pun tak berani berbunyi lantaran terlalu syok.
Susan langsung menutup wajahnya dengan catatan di tangan. Menghalangi siapapun melihatnya yang tengah menahan tawa.
Lain dengan kakak perempuannya, tawa Lucy di sebelah lantas langsung meledak. Dia sampai jatuh ke lantai dan berguling-guling disana. "Dasar, Ed!"
Peter lah yang paling normal saat seperti ini. Dia hanya terkekeh sambil menutup mulutnya. Geli juga melihat kelakuan tidak jelas sang adik. "Mana ada makanan jenis baru berwarna perak? Kecuali kau mau menciptakannya."
Wajah porselen Edmund memerah karena malu. Yah, itu memang sisi yang paling bodoh yang pernah dia tunjukkan. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah jadi bubur. Dia hanya bisa ikut menertawakan dirinya sendiri sambil menahan malu.
"Tolong jangan ceritakan tentang aku ini kepada yang lain. Akan sangat memalukan kalau mereka melihat Raja Narnia bertingkah konyol seperti aku."
Susan menggeleng kecil. Selepas berhasil menahan tawanya agar tidak meledak seperti Lucy, dia menatap adiknya sayang. "Tidak mungkin kami membagikan kisah memalukanmu pada para pengikut kita. Lagipula, anggap saja semua ini sebagai bahan pembelajaran untukmu agar bisa tumbuh lebih waspada lagi."
Lucy yang juga sudah selesai tertawa itu mengusap air mata di ujung matanya. "Benar. Agar kau tidak asal mengambil makanan mentah yang membuatmu muntah lalu pingsan di depan semua orang."
Tawa kembali meledak di ruangan itu. Berakhir dengan Edmund melempari adiknya dengan bantal sofa.
***
Di sisi lain, Sahara tengah sibuk memainkan seruling. Tinggal dua bulan di WildArea tidak membuatnya semerta-merta bahagia karena hidup tanpa internet begitu saja. Hal yang paling menyenangkan untuknya adalah saat dirinya meniupkan seruling dan dunia seakan ikut menyanyi bersamanya.
"Permainan yang menyenangkan, Sahara." Mel, naiad yang memang sejak tadi menonton pertunjukannya itu akhirnya keluar dari air.
Sahara memutar serulingnya malas. Tidak tertarik menanggapi pujian yang selalu dituturkan sang pemimpin naiad. Dia merindukan ponselnya, internetnya, sosial medianya.
Disini memang bagus. Udara asri, pemandangan luar biasa, banyak makhluk magis. Tapi tanpa kamera ponsel yang digunakan untuk memotret dan internet juga sosial media untuk memposting, apa gunanya?
Sahara tidak bisa pamer ke teman-temannya kalau dia sedang ada di Narnia, tepatnya di daerah WildArea. Mereka juga tidak ada disini.
Melihat wajah remaja itu muram, Mel tersenyum kecil. "Aku tahu kamu bosan." Dia mendudukkan diri di sebelah Sahara yang sedang duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang.
Sahara tak tertarik, melirik saja tidak, apalagi menoleh. Dia masih sibuk memutar-mutar serulingnya.
"Coba lihat sekelilingmu, Sahara. Ada banyak yang bisa dicoba. Kebetulan Phoenix pulang hari ini. Bagaimana kalau kamu minta untuk ikut jalan-jalan dengan mereka? Kamu bisa duduk di punggungnya, kan?"
Akhirnya Sahara menoleh. Siapa katanya? Phoenix? Hewan legendaris yang terbuat dari api itu? Setelah bertemu hewan berbicara, naid, draiad, minatour hingga centaur. Sekarang ada Phoenix? Berikutnya apa? Pegasus?
"Mereka? Maksudmu Phoenix ada banyak?"
Mel mengangguk. "Phoenix memang hewan yang gemar menyendiri. Tapi karena akhir musim panas ini kamu akan berumur dua puluh tahun, semuanya akan datang dan berkumpul untuk merayakan upacara kedewasaanmu."
Sahara adalah putri penguasa satu-satunya. Sebagai putri penguasa yang akan mencapai umur kedewasaan, sudah semestinya seluruh pengikut Zen datang dan merayakan itu. Tapi kapan tepatnya Sahara ulang tahun? Karena dia di dunia sebelumnya telah melewati masa dua puluh tahun. Malah dia sudah dua puluh delapan.
"Kapan aku ulang tahun?"
Mel melebarkan senyum. Mata bulatnya melengkung bak bulan sabit. "Akhir musim panas!"
•
•
•
TBC~
Btw kalau ada typo, bilang ya.
______________________________________
24 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top