13 - Answer: Almost [r]

Baechigi ft Punch - Fly With The Wind

"Bukan hati pasanganlah yang membuat hati kita patah, salahkan hatimu sendiri yang salah dalam memilih cinta." -Cool Bad Boy

-Cool Bad Boy

***

Krek

Kinara bersumpah, kalau itu bukan bunyi pepero yang patah. Melainkan, bunyi dari ranting pohon yang tidak sengaja terinjak.

Hening.

Raffa kemudian menjauhkan wajahnya dari Kinara. Memberi kesempatan kepada gadis itu untuk bernafas lega.

'Syukur, syukur, first kiss gue selamet.' Batin Kinara mendesah lega.

"Lo ngira gue bakalan cium lo, iya 'kan?" Ucapan Raffa membuat kedua pipi Kinara memerah, malu.

"E-enggak kok! Suka asal kalo ngomong." Kinara tergagap.

Raffa mengangkat alisnya. Satu tangan pemuda itu terlentang di sandaran kursi taman. Tepatnya, Raffa seperti merangkul Kinara secara tidak langsung.

'YaAllah, ganteng banget sih lo!' Kinara membatin lagi.

"Kenapa lo liatin gue?" Tanya Kinara. Raffa tertawa kecil. "Muka lo, lucu kalo lagi malu-malu."

Tuh kan! Siapa yang enggak meleleh kalau digituin terus?

Kinara menabok paha kiri Raffa satu kali. "Udah ah! Lo mah bikin anak orang melting mulu,"

"Jadi lo melting, nih?" Raffa merapatkan lagi tubuhnya pada si gadis.

Kinara tentu saja menggeser posisi duduknya menjauhi Raffa.

"Enggak kok,"

"Iya, ah." Balas Raffa halus. Sementara ia terus menggeser tubuhnya mendekati Kinara.

"Raffa! Deketin lagi awas, ya!" Ancam gadis itu seraya mengacungkan telunjuknya.

"Ini juga awas, kok."

"Ih, Raffa!"

***

Kelas 12 IPA-3 sangat sunyi senyap layaknya di kuburan. Bukan karena kelasnya masih kosong, melainkan sekarang adalah jam pelajarannya Pak Husen, guru matematika kelas 12 yang terkenal killer dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi. Selesai upacara memang harusnya pelajaran Seni Budaya. Namun, karena Pak Rohimat tidak ada, Pak Husen jadi mengambil jam kesenian. Istilahnya, tukar-menukar waktu pelajaran. Ya, bisa dibayangkan setelah panas-panasan langsung disuguhi soal matematika. Rasanya itu...nano-nano.

Bahkan Empat Sekawan yang biasanya rusuh dan tidak mau diam, kini cuma duduk memperhatikan- walau mereka enggak tahu apa yang dibahas oleh Pak Husen.

Bicara soal Empat Sekawan, satu anggota mereka sedang absen hari ini. Tidak tahu kemana.

Tok tok tok

"Masuk," Pak Husen menyahut dari dalam kelas.

Lalu, nampaklah seorang siswa sedang berdiri disana. Penampilan Raffa acak-acakan, dan untung mukannya enggak. Seragam yang tidak dikancing, rambut yang disisir asal, tapi hal itu malah membuatnya makin kelihatan keren di mata para cewek.

"Pagi, Pak Husen." Raffa menyapa. Pak Husen lantas menghampiri lelaki itu sambil berkacak pinggang.

Raffa melongokan kepalanya ke dalam kelas. Kedua bibirnya mengatup ke dalam, sementara kepalanya mengangguk-angguk. "Udah mulai, ya, Pak?"

"Enak banget kamu. Jam setengah sembilan baru dateng ke sekolah. Gak upacara lagi!" Kata Pak Husen begitu ada di hadapan Raffa.

"Suka fitnah Bapak. Saya upacara kok, barusan disuruh hormat sama Bu Titin di lapangan."

"Itu hukuman karena kamu telat!" Balas guru matematika itu cepat.

"Yaudah si, biasa aja." Sahut Raffa tidak mau kalah.

"Heh!" Tegur guru tersebut.

Kedua tangan Pak Husen yang semula berada di pinggang, beralih menjadi di depan dada. "Jadi, alasan kamu datang terlambat itu kenapa lagi? Ada demo? Ada ibu-ibu yang ngamuk di pinggir jalan? Apalagi, hah? Apalagi?"

Raffa berdehem sebelum mulai menjelaskan. "Gini, Pak. Saya tadi niat beli minum ke kantin. Tapi gak ada, yaudah saya kabur keluar. Pas di luar saya ketemu tukang ojek, mereka nawarin saya buat ngerokok sambil minum kopi. Yaudah, saya ikutan aja."

Pak Husen mengambil penggaris kayu yang tergantung di dinding, kemudian memukulkannya kepada Raffa. "Jadi kamu lebih milih ngopi bareng sama tukang ojek daripada belajar?!"

"Aduh, kok saya dipukul?" Raffa memprotes memegangi kakinya yang terasa berdenyut.

Guru itu menunjuk-nunjuk Raffa dengan penggarisnya. "Kamu tuh, sopan sedikit sama guru."

"Saya jujur, daripada bohong 'kan?"

"Alah, ngeles mulu kamu, kaya bajaj."

"Bapak yang kaya bajaj," ceplos Raffa. Tapi ternyata, gumaman tersebut masih terdengar ke telinga Pak Husen.

"Kamu!" Mengembuskan nafas sejenak, Pak Husen melanjutkan, "sekarang berdiri di depan kelas, cepetan!"

Tanpa mau basa-basi, Raffa melangkahkan kedua kakinya memasuki kelas.

"Berdiri di situ!" Dagu Pak Husen mengarah ke pojokan kelas dekat pintu.

Satu menit berikutnya, Pak Husen menjelaskan kembali materi yang sempat terkendala tadi. Matanya melirik Raffa sekilas, ternyata pemuda tersebut tengah kode-kode-an bersama ketiga temannya yang duduk di belakang.

"Ekhem!"

Guru matematika yang sudah berkepala enam tetsebut menatap Raffa dari atas sampai bawah. Menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak adalah ekspresi Pak Husen ketika mengamati penampilan Raffa. Anak itu benar-benar jauh dari kriteria seorang pelajar Menengah Atas yang displin akan perarturan.

"Baju kusut, tidak pakai dasi, tidak membawa tas, rambut gondrong, mau jadi apa nanti kamu Raffa?" Pertanyaan yang dibumbui sindiran itu membuat Raffa mengangkat kedua alis.

"Apa aja. Asal jangan Power Ranger." Celetuk Raffa.

Dada Pak Husen naik turun, dia benar harus punya kesabaran lebih menghadapi murid bandel semacam Raffa.

Tak mau ambil pusing, Pak Husen lalu memerintahkan Raffa untuk mengerjakan soal nomor 3. Daripada terus berdebat bikin naik tensi, lebih baik mengajarkan murid itu sesuatu yang bermanfaat.

"Kerjakan soal nomor 3."

Raffa mengerti. Ia segera berjalan ke arah papan tulis. Mengambil spidol dan mulai mengerjakan soal.

Tidak hanya nomor tiga, tapi sampai nomor sepuluh, yakini nomor terkahir dari urutan soal. Hebatnya lagi, Raffa cuma butuh waktu sekitar 15 menit untuk mengerjakannya. Entah terbuat dari apa otak Raffa itu, yang pasti rumus matematika yang sedemikian sulit bisa terpecahkan olehnya.

"Bener semua." Ujar Pak Husen meneliti semua jawaban Raffa. "Darimana kamu bisa tau cara kerjanya seperti itu?"

"Belajarlah."

Mata Pak Husen menyipit, tidak percaya. Mana mungkin anak nakal seperti Raffa suka belajar? Kerjaannya saja tawuran.

"Apa? Bapak gak percaya?" Pemuda itu memandangi Pak Husen.

"Bapak bukannya gak percaya. Cuma, ya, kamu itu pinter, memang sayang kalo kepintarannya cuma dibuang sia-sia aja." Tutur guru tersebut balas menatap Raffa.

"Maksud Bapak?" Raffa pura-pura bego agar Pak Husen cepat menyuruhnya untuk duduk.

"Yaudahlah, kamu enggak ngerti juga. Lebih baik sekarang kamu duduk aja."

Benar 'kan?

"Tapi," Pak Husen menyela. "Jangan ribut!"

Raffa mengangguk singkat sebagai jawabannya.

Berikutnya, laki-laki itu berjalan melewati meja demi meja. Dan begitu berpapasan dengan mejannya Kinara, Raffa menoleh.

Dia tersenyum samar kepada Kinara sembari berkata pelan, "hai."

Kinara merasa seperti banyak kupu-kupu berterbangan di perutnya, geli.

"Hai juga," balas Kinara tanpa suara.

***

Jam pelajaran terakhir kelas 12 IPA 3 adalah pelajaran olahraga. Dan, kebetulan hari ini materinya tentang bermain sepak bola. Jujur, Kinara sangat bego jika urusan tendang-menendang bola.

Lebih baik menonton di televisi ketimbang harus mempraktikannya di lapangan. Sebenarnya sih, gadis itu memang tidak bisa semua materi yang menyangkut olahraga, baik itu voley, basket, renang ataupun yang lainnya.

Olahraga yang paling ekstrim yang pernah Kinara lakukan, ya, cuma jogging keliling komplek bareng Adrian tiap hari minggu. Itu pun kalau ia sudah bangun.

"Hosh..hosh.. haduh, cape banget gue." Keluh Kinara seraya menghampiri anak-anak cewek yang ada di pinggir lapang dan duduk sambil meluruskan kedua kakinya.

"Apaan deh lo, baru satu babak juga, lo udah lemes aja." Ledek Prima seraya ikut duduk di samping Kinara.

"Prim, gue tuh olahraga paling berat cuma lari keliling komplek. Itu juga seminggu sekali." Sahut Kinara menyeka peluh di kening dengan tangan kanan.

"Serius lo? Terus badan seimut, seuprit, sekecil ini, hasil apaan?" Bella heboh bertanya.

Anggita mengangguk menyetujui lalu berkata, "gue kira lo sering olahraga, karena kalau diet gak mungkin. Diliat dari cara lo makan dan porsi makan lo, bener-bener gak mungkin."

"Justru itu, gue juga gak tau. Padahal gue udah makan banyak, ngemil banyak, tetep aja segini dari SMP."

"Heran ya, gue mati-matian buat diet supaya badan gue kurus. Nah lo, makan banyak aja tetep kurus." Nanda menyahut dari belakang Kinara.

"Lo tau gak sih, diet itu adalah sebuah tekat yang hanya menjadi angan, sebuah harapan yang tak pernah tercapai, dan sebuah janji yang tak pernah ditepati. Sakit." Naila si ratu baper di kelas mulai mendramatisir.

Ica menoyor pipi kanan Naila. "Yee, anaknya Om Jajang baper ae." Ejeknya.

Naila mendelik. "Eh, enak aja lo, nama bokap gue diganti-ganti. Nama bokap gue itu A-L-B-E-R-T. Albert. Catat tuh baik-baik."

"Y aja y."

Tiba-tiba guru olahraga mereka mengintrupsi agar mencatat nama-nama siswa yang hadir dan tidak hadir di jam olahraga minggu ini.

Semua cewek yang berada di belakang Kinara langsung mengerubung ke tempat dimana guru olahraga mereka duduk. Pun begitu dengan anak cowoknya.

Kinara mencekal lengan Anggita. "Gue tulisin ya, Git. Lagi mager nih."

"Oke sip."

Kinara mengibas-ngibaskan tangannya kepanasan. Tiba-tiba, sesuatu yang dingin menempel di pipi kirinya. Kinara mengadah, mendapati Raffa yang tengah menatapnya sembari menempelkan sekotak susu kemasan dingin.

Dua detik selanjutnya, Raffa menarik kotak susu tersebut dan duduk di sebelah kiri Kinara. "Wah. Saking gerahnya elo, ini susu langsung mendidih."

Kinara cemberut dan memukul pelan bahu Raffa. "Mana ada yang kaya gitu."

"Nih," Raffa menyodorkan susu kemasan itu ke hadapan Kinara.

"Thanks." Ucap si perempuan tersenyum simpul. "Tapi, gue heran, orang kepanasan 'kan biasanya dikasih air dingin, kok lo susu?"

"Biar gak mainstream aja." Jawab Raffa asal.

"Pantes." Kinara menyahut.

Raffa menggerakan leher ke samping. "Pantes apanya?"

"Pantes aja, orang mainan lo aja udah beda dari yang lain." Ujar perempuan itu ambigu.

"Mainan?" Kedua alis Raffa tertaut bingung. "Oh, jangan bilang mainan yang... "

"Ih, enggak! kotor banget sih, pikirannya." Kinara buru-buru memotong perkataan Raffa. Takut kalau lelaki itu salah sangka.

"Lah, 'kan belum ngomong apa-apa. Kenapa jadi lo yang heboh?" Raffa menahan tawanya. Ah, Kinara selalu saja berhasil membuat Raffa menyunggingkan senyum.

Wajah Kinara yang memang merah karena kepanasan, jadi makin memerah akibat kebodohannya sendiri.

"Yaudah, biasa aja dong. Gak usah salah tingkah gitu." Goda Raffa. Kinara langsung membantah, "ih, apaan sih."

Tidak lama, Raffa lantas berdiri. Kedua matanya terarah ke bawah, melihat Kinara yang masih duduk.

"Gue main basket dulu. Dah,"

Raffa mengacak-acak rambut Kinara sebentar sebelum berlari ke tengah lapang.

'Gemay banget si,' Kata Kinara dalam hati.

~♡×♡×♡~

Author Note:

FINALLY!!! PART INI BERHASIL AKU POST! UH, SENENGNYA{}{}😄💕

Follow Instagram: real.luluara
sriluginab

To be continued,

Love, LuluAra

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top