Bagian [29]

Perhatian. Kepada reader, yang kerja sebagai tenaga kesehatan maafkan diri ini jika terlalu banyak typo. Istilah-istilah dalam bab ini perlu mendapat masukan dari kalian. Terus ... yang pernah mengalami, pasti akan heran kok gini sih? Maaf, ya. Kasev mengambil pengalaman seseorang dan tuangkan dalam tulisan khusus di bab ini. Apabila kurang sesuai, mohon koreksinya.

29 | tak bisakah kau lihat aku sekali saja?

Terpukul sih terpukul karena enggak jadi kawin, tapi jangan menyiksa anak lo juga! Aku ingin bilang seperti itu kepada Sayla. Dia semakin enggan memberi asupan untuk tubuhnya. Malas sekali turun untuk makan bersama. Mukanya ditekuk terus, jarang tersenyum.

Lo ingat nih, ya, Sayla yang dulu akan selalu menebar senyum kepada siapa saja. Seolah hidupnya tak terjangkau oleh masalah. Sebab apa pun yang dia lakukan dan yang dia dapat, selalu dia hadapi dengan sabar dan lapang dada.

Kalimat itu selalu tertelan di dalam bibir saja karena Mama. Apa saja yang keluar dari mulutku akan selalu salah di telinga istrinya Tuan Hadi. Padahal, maksudkukan khawatir gitu sama adik. Walau kadarnya cuman sedikit. Maduka istrinya Paduka Hadi selalu membalikkan kesalahan kepadaku.

"Kamu pasti senang melihat Sayla tak jadi menikah dengan Mondy!"

Ingin kujawab sesuai perasaan. Iya. Tak jadi lagi karena bertengkar dengan Mama hanya akan membuang-buang energi. Kata Ergi kurangilah berdebat-debat kecil dengan Mama kalau tak ingin anak kami nanti meniru kelakuanku.

Mama selalu berada di sisi Sayla. Ngakunya untuk menguatkan Sayla yang gagal menikah. Di mataku sih terlihat seperti menganggap anaknya lemah.

Sayla itu tidak mencintai Mondy. Ini kenyataannya. Dia bukan patah hati. Sayla hanya kaget dan shock sebab saja masa depannya yang sudah mulai ia rancang rusak lagi.

"Kamu ngapain duduk-duduk saja di sini? Coba deh Ayla, sesekali kamu mikir yang benar. Kamu di rumah ini jangan mau jadi tuan besar saja yang semuanya harus dilayanin. Sayla sedang banyak masalah, kamu masih berharap dia yang akan masak untuk kita serumah? Sayla juga butuh Mama. Sekarang kamu belanja, nggak lihat itu isi kulkas rumah kita sudah kosong? Jangan lupa beli bayam karena bagus untuk kandungan Sayla."

Sebagai orang paling waras, aku yang harus mengalah. Pergi ke mal untuk belanja bisa sekalian bertemu Ergi. Tidak ada ruginya mengikuti perintah Nyonya Besar. Rencanaku hari ini ingin bersantai juga bersama mereka. Apalagi aku merasa capai banget sejak tadi pagi. Aku ikut duduk di ruang tengah. Walau tak mengobrol, kami terlihat seperti ibu dan anak-anak yang akur. Namun, sang Nyonya punya kehendak lain. Menahan perih di perut bagian bawah, aku lantas menemui Mama dan menampungkan tangan.

"Mana uang belanja?"

Mama berdecak tak urung memberikan sebuah kartu kepadaku. "Kamu bisa minta pada Ergi."

Aku melambaikan kartu berwarna hitam dari Mama. "Kami numpang di rumah Mama, masa kami yang membelikan makan satu rumah?"

Mama menggeleng-geleng, terlihat tak ingin menyanggah. "Beli brokoli juga. Buahnya jangan lupa, alpukat dan pisang."

"Buat Ayla?"

"Sayla. Memangnya kamu suka makan jus alpukat?"

"Kalau untuk kehamilan, mau-mau aja."

"Beli apa yang kamu sukai. Pakai uang secukupnya." Mama memandangku sejenak. "Kamu kelihatan nggak sehat. Kamu ngapain aja sampai bisa sakit? Jadi ke dokter? Mama bisa temani kalau Ergi nggak sempat pulang."

"Cuman sakit perut aja dari beberapa hari yang lalu, tapi masih bisa ditahan. Mama tumben khawatir, kayak aku mau mati aja."

Mama menarik rambutku pelan, tak sampai menyakiti. "Mama ini mamamu, Ay. Kamu pikir ada Mama yang nggak cemas melihat anaknya sakit?"

Aku mengangkat bahu. "Aku berangkat. Mama jangan takut aku pingsan di jalan. Aku ini kuat. Aku ke Karra Mart kok ketemu Ergi nanti di sana."

"Ayla!"

Aku tak jadi melangkah sewaktu Sayla berteriak. "Apa sih? Nggak jadi pergi nih gue."

"Ma ... kita sebaiknya periksakan Ayla ke dokter."

Aku memutar bola mata. "Biasa aja kali, Say, bukan sakit. Kenapa pada baik sih sama gue?"

"Tadi kamu masih muntah-muntah, Ay," kata Mama.

Tanganku menggaruk-garuk rambut.

"Enggak apa-apa, Ma. Ini kenapa juga kalian jadi perhatian sama gue? Tadi katanya gue disuruh belanja terus masak. Yang mana sih?"

"Ma ... Ayla itu hamil, tapi dia kelihatan parah banget dibandingkan aku dul—"

"Apa, Sayla?"

"Say!" bentakku.

"Coba ulangi kamu tadi bilang apa," kata Mama penuh penekanan.

"Ayla hamil. Dia harus periksa ke dokter kandungan—"

"Ya udah, kalau gitu lo periksa gue. Lo 'kan juga bidan!"

Saat berdebat dengan Sayla, aku melupakan tanggapan Mama. Ketika mengalihkan perhatian pada Mama, kulihat matanya menatap tajam ke arahku.

"Kapan kamu bisa dengar permintaan Mama?"

Bagaikan ada biji kedondong di tenggorokan yang mengakibatkan sakit saat menelan ludah. "Aku hamil ada suami. Kenapa Mama kesal?"

"Kamu belum paham-paham ucapan Mama waktu itu. Anakmu bisa saja autis seperti adik suamimu."

"Ya Tuhan, Mama!" seru Sayla saat aku tediam tak dapat berkata-kata. "Kenapa Mama bicara begitu? Apapun keadaan anak Ayla nanti, dia tetap cucu Mama. Kita harus menerima anggota keluarga yang baru dengan penuh kasih sayang."

Mama menyergah, "Malu. Apa nanti kata teman arisan Mama kalau cucu Mama seperti orang idiot? Keluarga kita akan malu jika anak itu tetap ada dan tumbuh di lingkungan keluarga kita."

Sayla menyentuh tangan Mama, sepertinya mereka lupa ada aku di sini yang mendengarkan silang kata. "Anak itu rejeki Allah. Apakah nanti dia normal atau tidak, anak adalah anugerah untuk kedua orang tuanya. Jangan karena memikirkan orang lain, Mama menolak cucu Mama sendiri. Maaf," ucap Sayla lupa baru saja melawan Mama.

"Mama hanya kecewa karena Ay nggak dengar permintaan Mama. Mama sudah bilang, Ayla dan Ergi tidak punya keturunan juga tak apa-apa. Tidak seperti orang lain, Mama tidak menuntut cucu dari mereka."

"Bagus sekali hidup gue," selaku yang akhirnya membuat diam mereka berdua.

"Aku tidak akan bikin malu keluarga ini. Jika hal buruk terjadi pada anakku, biar aku sendiri yang menghadapinya. Aku enggak akan menyeret Mama dan keluarga ini. Aku yang akan menghadapi semua orang. Jika sebaliknya, saat lahir anakku justru berwujud bidadari, jangan pernah menyesal karena Mama pernah menolak kehadirannya. Yang akan berjuang di sini adalah aku."

"Kamu memang harus melakukannya." Mama memelankan suaranya.

"Dengar itu, Say. Mama lebih suka anak tanpa bapak daripada anak gue yang jelas nasabnya mengikuti suami gue."

Aku sempat kesusahan mengeluarkan napas akibat tersumbatnya hidung yang tidak kuduga. Badan ini kayaknya agak meriang. Nangis sedikit langsung ada cairan di hidung. Aku memang tidak kuat mendengarkan penolakan demi penolakan yang Mama berikan. For God's sake, sebrutal-brutalnya aku, tak mungkin tetap kuat dalam keadaan seperti ini. Seandainya 'dia' belum ada, aku tak masalah Mama mau bilang apa.

Ma, anakku bisa saja mendengar semua yang Mama ucapkan. Apa Mama tak kasihan, anakku merasakan perbedaan kasih sepertiku?

Aku heran kenapa Mama bisa mengucapkan hal yang kejam sekali? Bukannya menyesal setelah aku ancam.

"Jadi, nggak perlu ke dokter. Ay enggak sakit, cuman hamil kok."

"Jangan mentang-mentang hamil jadi manja! Sekarang berangkatlah! Mau masak jam berapa kamu?"

"Dari tadi juga mau berangkat," balasku pelan dan pergi ke garasi.

***



Setelah tahu kehamilan gue, Mama berubah menjadi ibu tirinya Cinderella yang hobi menyuruh-nyuruh Ella. Sebulan lebih semenjak itu, tak ada waktu untukku bersantai. Mama betul-betul membuatku menjadi negatif thinking bahwa dia ingin aku kehilangan bayi.

Untungnya, semakin ke sini aku tak lagi mengalami mual-mual. Meskipun keram di perut depan dan belakang tak jarang menyerang tubuhku. Juga pusing yang sampai membuatku tiba-tiba mau jatuh bahkan pingsan.

Mama makin rajin 'minta tolong' kepadaku setelah dia memberi tahu Tuan Hadi ketika kami makan malam. Sehabis mendengar kabar itu, Tuan Rumah ini pun mengajak kami semua untuk berkumpul ke ruang tengah.

"Papa setuju dengan keputusan kalian untuk memenjarakan pria itu," katanya menatapku dan suamiku. "Nanti Papa akan mencarikan laki-laki baik untuk Sayla." Kini pandangannya jatuh pada Tuan Putri.

Ekspresi Sayla pun berubah sendu. Ia tampak ingin menangis sebab nasibnya telah diatur oleh orang lain tanpa mendengar apa yang dia inginkan.

Sesudah itu, Tuan Hadi pun terdiam. Dia menatapku lama sekali membuatku berdebar-debar. Bukan debaran jatuh cinta, gila saja! Aku jadi gelisah dalam duduk. Kakiku kualih silang beberapa kali. Sesekali kulirik Ergi dengan wajah menyiratkan hal yang sama. 'Papa mau ngapain?'

Tuan Hadi berdiri. Dia mendekat kepadaku, tegak di depanku. Tangan besarnya berada di puncak kepalaku, di ubun-ubunku. Tanpa berkata sepatah kata, dia menjauh meninggalkan bingung mengaung-ngaung di udara.

Wajah Mama menyirakan kekesalan yang sangat parah. Apa yang baru saja terjadi? Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban sampai saat ini.

Mama memang tak memintaku kerja yang berat-berat. Menyiapkan sarapan sampai makan malam juga berdua dengan Mama bukan aku sendirian. Intinya dengan membantu Mama, aku pun terbiasa di dapur.

Jadi bisa memasak, bukannya itu berkah? Kalau dulu Mama memaksaku untuk membantunya, mungkin bukan hanya Sayla yang pintar memasak. Hanya saja dulu aku terlalu malas mengalah.

Mama paling senang menggangguku. Itulah yang kusimpulkan dari setiap tindakannya. Mungkin dia senang melihatku misuh-misuh.

Seperti yang terjadi tadi pagi. Aku baru saja berbaring di sofa panjang setelah menemani Mama membuat puding karamel. Semua itu menuruti ngidamnya permaisuri.

Aku heran. Sayla sudah hampir melahirkan masih saja merasakan ngidam, sedangkan aku tak pernah. Aku tidak menginginkan sesuatu yang aneh dan tak biasa.

Putri sulung keluarga ini pun tidak jadi mengistirahatkan tubuh yang mulai menggendut karena ada seruan paket dari luar. Mama minta akulah yang menerima kiriman tersebut.

Aku berjanji di dalam hati. Setelah Sayla melahirkan, aku betul-betul akan keluar dari rumah ini. Aku bosan menjadi anak yang patuh.

"Kenapa kamu pucat sekali? Kamu tidak minum vitamin dari dokter?"

Selain menyebalkan, Mama juga pemaksa. Hampir saja aku menangis saat Mama mengajakku ke rumah dokter kandungan. Aku sudah berpikiran buruk bahwa Mama akan mengaborsi janinku. Namun, Mama hanya ingin mengecek kandunganku.

Terselip rasa bahagia saat melihat kantung kehamilan. Dokter meresepkan beberapa obat yang harus kuminum. Semenjak saat itu, aku mempercayai Mama. Dia sebenarnya tidak begitu tak peduli terhadap kehamilanku. Jadi, meskipun malas, aku selalu meladeni apa yang diminta Mama.

"Aku ngaku sakit, Mama enggak percaya. Jangan manja, Ay, begitukan yang mau Mama bilang? Aku sudah hafal."

Kutaruh dua paper bag yang berbau sedap di atas meja. "Siapa yang pesan makanan? Ngapain susah-susah masak kalau Mama memesannya dari luar?" kataku sambil mengeluarkan satu per satu stirofoam dari tas kertas.

"Bukan Mama." Maduka mengambil tas lainnya kemudian mengeluarkan isinya. "Ini banyak sekali. Panggil Sayla. Apa mungkin dia yang memesan?"

"SAYLA! SINI LO!" teriakku agar kedengaran sampai lantai dua.

"Panggil ke atas. Teriak-teriak apa sih kamu malu-maluin kedengaran tetangga."

"Nggak apa-apa. Capek naik tangga." Pelototan Mama membuatku tak bisa meneruskan keluhan. Aku pun beranjak ke tangga untuk menjemput si Tuan Putri.

Aku merasa keram yang sangat menyakitkan di perut bawahku ketika kembali ke ruang tengah bersama Sayla. Kuusap-usap untuk meredakannya.

"Aku nggak pesan makanan. Lalu siapa yang baik hati memberikan kita sepuluh kotak makanan ini?" tanyanya.

Aku ingin berkata bahwa kalau kami tahu, aku takkan capek-capek naik tangga. Sebaliknya, aku hanya diam bersandar ke punggung sofa. Saat ini aku sangat berharap ada Ergi. Aku ingin mengadu betapa sakitnya aku.

"Halo." Kulihat Mama menempelkan handphone ke telinga. "Pa, ada makanan banyak diantar ke rumah. Papa yang beli?

"Seribu kotak? Untuk apa?"

Mama melirikku. Aku pun memejamkan mata. Tak ingin tahu isi pembicaraan mereka.

Mama memutuskan panggilan. Dia memasukkan semua kotak yang telah kujejerkan di atas meja ke dalam paper bag lagi.

"Ini semua untuk kamu. Makan sendirian biar kamu mendapatkan berkahnya!"

Kedua tas berisi makanan itu dilemparkan ke pangkuanku. Mama meninggalkanku yang terbengong-bengong.

"Mama kenapa ya, Ay?"

Dalam kebingungan aku membawa makanan yang mungkin dibeli oleh Tuan Hadi ke dapur. Kususun baik-baik di atas meja bundar. Saat kuintip isinya, masakan itu terlihat menggiurkan. Lauknya adalah makanan kesukaanku. Ada ayam geprek dan tumis sawi hijau pakai telur bahkan ada egg rolls.

Apa maksudnya Tuan Hadi membeli makanan seribu kotak yang bermenukan makanan favoritku? Aromanya membuatku hampir menitikkan liur.

Kutahan semua rayuan dari makanan tak jelas itu. Belum saatnya aku menikmati karena tadi telah sarapan semangkuk nasi dengan sup telur tomat. Buatan sendiri hasil menjelajah ke youtube. Lagipula aku tak ingin makan sendirian. Sepertinya akan lebih menyenangkan menunggu Ergi pulang.

Semakin siang aku merasa keram makin menyiksa. Aku pun coba mengecek ke kamar mandi. Begitu takut terjadi apa-apa dengan kandunganku. Tak ada apa-apa kecuali sedikit flek di pakaian dalamku. Kurasa aku hanya kelelahan. Mumpung Mama sedang membiarkanku berdiam di dalam kamar, aku menyempatkan tidur. Kuharap sakitnya akan menghilang ketika bangun nanti.

"Sayang."

Mimpi bukan sih? Aku merasa baru sebentar memejamkan mata tiba-tiba suamiku memanggil dengan panggilan mesra.

"Enak banget kamu tidurnya, Ay. Kata Mama, kamu sudah tidur dari pagi. Kamu pasti melewatkan makan siang. Ayo bangun, Istrinya Ergi."

Begitu membuka mata, aku merasakan sakit itu lagi. Langsung kupeluk perutku seolah dengan begitu keramnya akan hilang.

"Ay kenapa? Perutnya sakit?" Ergi memegang pangkal lenganku. Aku menjawabnya dengan mengangguk. "Ayo. Kita harus temui doktermu."

Ergi terdiam setelah mengangkatku dari tempat tidur. Matanya melihat pada ranjang yang kutiduri. Aku ingin memeriksa apa yang membuatnya terkejut, namun dia segera melarikan tubuhku ke luar dari kamar.

"Ayla!" Kudengar seruan Mama.

Aku mencengkeram punggung Ergi saat gelombang sakit datang menghantam lagi. Ergi tak membawaku ke rumah dokter yang tempo hari ditemui Mama. Kami pergi ke klinik.

Melewati antrean kami pun dipanggil untuk memeriksa kandunganku. Dokter menanyakan usia kandunganku sebelum melakukan USG.

"Kantung kehamilannya sudah besar, Bu, tapi saya tidak melihat janinnya. Coba Ibu perhatikan, di sana tidak ada sesuatu yang seharusnya adalah janin usia sepuluh minggu," tunjuk dokter ke arah monitor.

"Ini maksudnya apa, Dok?" Ergi bertanya. Wajahnya nyaris seputih kertas. Tak ada darah yang mengaliri.

Sementara aku, menahan rasa sakit saat mendengar kabar ini mengakibatkan hatiku hancur. Rasanya tak berbentuk lagi.

"Ini namanya blighted ovum atau dalam bahasa kitanya kehamilan kosong. Kantung kehamilan sudah sangat besar. Besar rahim Ibu juga sudah lebih dari lima senti. Seharusnya ada janin dan detak jantung, tapi ini tidak ada."

"Jadi, apa yang harus kami lakukan, Dok? Kenapa istri saya kesakitan dan sampai mengeluarkan banyak bercak kecokelatan?"

Aku kaget mendengar penuturan Ergi. Jadi, itukah yang tak ingin dia perlihatkan kepadaku di kamar tadi?

"Ada dua cara untuk membersihkan rahim Ibu Ayla. Kami akan meresepkan obat untuk meluruhkan plasenta yang mulai terbentuk atau Ibu Ayla harus melakukan kuretasi. Dilihat dari kehamilan yang sudah cukup besar, sebaiknya kita memilih kuretasi saja. Besok Ibu Ayla bisa datang lagi ke rumah sakit dan operasinya dengan saya. Ini alamat rumah sakitnya."

Malamnya aku betul-betul tersiksa oleh remasan tangan raksasa di perut bagian bawahku.

"Mama ... Mama yang menginginkan ini terjadi sama aku," aduku pada Ergi.

Ergi hanya mengusap-ngusap dahiku. Terasa basah saat telapak tangannya menyentuh kulitku. Ini pasti keringat yang dihasilkan oleh tubuhku yang kesakitan.

"Mama enggak pernah setuju jika aku hamil. Berkali-kali Mama memintaku agar tidak mengandung bahkan membelikanku bermacam kontrasepsi. Setelah tahu aku sedang hamil, Mama tetap belum bisa menerimanya. Mama menyuruhku ini dan itu agar aku selalu bergerak. Tak peduli betapa capeknya aku, lelahnya aku. Semua ini karena Mama. Kamu tahu, Gi, doa seorang ibu didengar oleh Tuhan? Akhirnya aku percaya kalimat sakti itu. Betul-betul percaya. Rasanya sakit banget, Gi. Aku hamil, tapi tidak memiliki janinnya. Aku merasakan tanda-tanda kehamilan, namun enggak betulan hamil. Ini yang namanya pura-pura hamil 'kan, Gi?"

Aku meremas tangan Ergi saat keram kembali muncul. Tuhan, cepatlah ganti malam menjadi siang.

"Alasan Mama tidak ingin punya anak dariku apa? Kamu tahu apa, Gi? Mama enggak mau punya cucu seperti Yogi."

Setelah itu, aku bangun dari pembaringan dan memeluk tubuh Ergi. Dia pun pasti kaget mendengarnya. Ergi tak menjawab apa-apa. Dia tak mengamuk untuk mengeluarkan kekesalan.

"Kamu enggak sendirian. Aku di sini menemani kamu, Ay. Besok kita ke rumah sakit, ya. Setelah itu kamu bisa sehat lagi."

Hanya itu kata-kata yang ia ucapkan. Pagi saat jadwal operasi tiba, dokter memberikanku sebuah obat perangsang. Akibatnya bahkan lebih parah dibanding semalam. Ingin menangis, namun sakitnya tak jua berkurang. Aku bahkan mengalami pendarahan hebat. Tangan Ergi menjadi pelampisan yang kuremas kuat-kuat. Menit-menit berlalu, aku merasa ingin buang air kecil. Ergi membantuku ke toilet. Saat itulah kulihat ada gumpalan darah sebesar tinjuku.

Setelah itu dokter melakukan kuretasi. Selesainya aku masihmenderita sakit yang membuatku tak mampu melakukan apa-apa selain merasakan sakit tersebut.

Bersambung ...

OKI, 5 September 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top