(6) Kunjungan
Arsyad
"Arsyad. Mau ketemu calon mertua harus rapi, dong. Cepat ganti baju sana!" tegur Ibu saat melihatku keluar kamar. Kepalanya sedikit meneleng ke kiri, sementara sepasang matanya menatapku tegas seolah aku baru saja melakukan sebuah kesalahan yang teramat fatal.
Aku memeriksa penampilanku. Rasanya tidak ada yang salah dengan kaos polo dan celana jeans yang kugunakan. Bersih dan rapi. Aku mengambilnya dari tumpukan teratas di lemari. Sebelum keluar kamar tadi, aku juga sempat menyemprotkan parfum secukupnya.
Melihatku yang tak juga beranjak, ibu masuk ke kamarku. Aku hanya bisa mengekorinya di belakang. Tak berkata apa pun ketika Ibu sibuk memilah baju-bajuku di lemari.
"Nih, pakai ini saja! Kamu kelihatan gagah kalau pakai kemeja hitam." Akhirnya Ibu berhasil menentukan pilihan. Dia menyodorkan kemeja hitam slim fit yang biasa kupakai menghadiri acara-acara resmi. "Celananya pakai itu saja, ndak perlu ganti, biar kesannya ndak terlalu formal"
Aku menghela napas panjang dan menyetujui pilihan Ibu. Saat ini, Ibu satu-satunya sekutuku. Jangan sampai Ibu berpindah haluan hanya gara-gara urusan baju, jadi kuturuti perintahnya dan segera menukar baju yang kukenakan.
"Nah gitu dong. Kalau gini kan cakep. Keliatan berwibawa gitu, lho. Jadi calon mertuamu yakin kalau kamu mau melamar anak gadisnya." Ibu tersenyum lebar sambil merapikan krah bajuku.
Aku menahan diri untuk tidak menimpali meski ingin sekali rasanya memprotes. Kemarin Ibu bilang pertemuan ini untuk sekadar kenalan saja, kenapa hari ini sudah bawa-bawa urusan lamar-melamar anak orang?
"Ya, sudah. Yuk. Sudah kamu panasin kan mobilmu tadi?"
"Sudah, Bu."
Ibu tersenyum puas, lantas mengajakku bergegas.
Sebenarnya aku lebih suka mengendarai motor. Namun, tidak mungkin juga aku membonceng Ibu dengan motor sport-ku.
Sepanjang perjalanan, Ibu dengan gencar bercerita tentang anak gadis yang akan dijodohkan denganku itu. Aku tak terlalu memperhatikan, hanya mengangguk-angguk saja sekenanya. Sebagai lelaki, aku tidak terbiasa multitasking. Jadi, aku harus memilih, fokus memperhatikan jalanan dan memastikan kami selamat sampai tujuan, atau mendengarkan cerita Ibu yang makin lama makin melebar ke mana-mana. Tentu saja, aku memilih yang pertama. Kubiarkan Ibu terus mengoceh, sementara aku fokus menyetir sambil mengikuti petunjuk arah yang diberikan Ibu.
"Ibu rasa kamu pasti langsung suka sama dia, Syad. Ibu aja langsung jatuh hati. Anaknya sopan, lembut, ndak kayak adekmu yang pecicilan."
Kalimat itu adalah salah satu dari sedikit kalimat Ibu yang berhasil tertangkap telingaku. Selebihnya hanya masuk telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiriku. Segala deskripsi fisik yang coba Ibu jelaskan tidak benar-benar terbayang olehku.
Ini bukan pertama kalinya Ibu berusaha menjodohkanku. Ibu sering menunjukkan foto gadis-gadis yang dirasanya cocok menjadi menantu. Entah itu anak temannya, cucu kenalannya, atau gadis yang ditemuinya di suatu tempat. Namun karena aku tak pernah menanggapi dengan serius, Ibu tak pernah memaksa.
Yah, mungkin saja ultimatum Ayah dan desakan Naila membuat Ibu lebih bersemangat menjodoh-jodohkanku. Hanya saja sampai hari ini Ibu belum menunjukkan foto gadis itu dan malah langsung mengajakku bertemu dengan gadis pilihannya itu.
Yang kutahu, gadis itu anak teman arisan Ibu dan dua belas tahun lebih muda dariku. Informasi ini pun baru kudapat tadi pagi, ketika aku sudah terlanjur setuju untuk dikenalkan pada gadis itu. Aku sendiri tidak mengerti kenapa kali ini Ibu memilih calon menantu yang jarak usianya cukup jauh dariku. Karena sudah terlanjur setuju, kuturuti saja kemauan Ibu.
Rupanya rumah yang kami tuju hanya berbeda beberapa blok dari rumah kami. Namun karena kami mengendarai mobil, kami harus memutari komplek perumahan dulu. Kalau kami mengendarai motor, kurasa kami akan lebih cepat sampai. Mungkin dua kali lebih cepat dari waktu tempuh kami saat ini.
Rumahnya terlihat familiar. Mungkin karena tanpa sadar aku sering melewati jalan ini. Toh ternyata kami tinggal di kelurahan yang sama, hanya berbeda blok saja.
Dibandingkan rumah kami, rumah ini lebih kecil, tapi halamannya lebih luas. Berdasarkan cerita ibu, calon ayah mertuaku ini pensiunan pejabat BUMN, sedangkan calon ibu mertuaku adalah ibu rumah tangga yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Aduh, kenapa aku jadi ikut-ikutan ibu menggunakan istilah calon mertua sih?
Aku menggelengkan kepalaku kencang-kencang untuk mengusir bayangan itu. Setelah membantu Ibu turun dari mobil, aku mengekor di belakangnya menuju pintu ruang tamu yang terbuka lebar. Nyonya rumah telah menunggu kami dengan senyum yang tak kalah lebar
-0-
Kuamati Ibu yang sedang asyik mengobrol dengan calon ibu mertuaku itu, eh Tante Rahayu maksudku. Mereka heboh sekali membicarakan pengalaman Tante Rahayu saat berlibur ke Singapura bulan lalu. Baru lima belas menit saja, kepalaku sudah pening mendengar celotehan kedua wanita paruh baya ini. Sementara gadis yang sejak kemarin ibu puja-puji itu belum kelihatan juga batang hidungnya.
"Aduh maaf ya, Nak Arsyad, harus dengerin obrolan ibu-ibu. Ini Kia juga baru ngabarin kalau pulangnya agak telat. Katanya mau ngajar dulu, tapi sebentar lagi pulang kok katanya," ujar Tante Rahayu sambil menawarkan kembali kue kering yang disuguhkan di meja.
"Nggak apa-apa, Tante." Aku menyimpul senyum sopan. Padahal dalam hati agak dongkol. Baru pertemuan pertama saja gadis itu sudah terlambat datang. Kesan pertama yang tidak terlalu baik untukku.
"Lho, Kia ngajar di mana sekarang?" Ibu justru bertanya penuh semangat. Binar matanya masih saja menyorotkan kekaguman. Membuatku bertanya-tanya, apa istimewanya gadis ini sampai-sampai Ibu jatuh hati seperti itu.
"Ngajar di rumah singgah anak jalanan, Jeng Ratih. Sejak awal kuliah Kia sering ikut kegiatan volunteer-volunteer gitu, Jeng. Jadi anaknya jarang di rumah. Tapi saya seneng aja sih, Jeng, soalnya dulu Kia tuh anaknya rumahan banget, kuper, kerjaannya baca bukuuuu mulu. Jadi selama kegiatannya positif, saya support aja, biar pergaulannya makin luas juga." Satu pertanyaan singkat Ibu dijawab dengan panjang lebar dan komprehensif oleh Tante Rahayu. Baru beberapa
"Wah nurun dari Mamanya itu, Jeng. Jiwa sosialnya tinggi."
Tante Rahayu tersipu mendengar pujian Ibu.
Ibu menoleh ke arahku. "Kia ini selain cantik, pintar lho, Syad. Dulu pas SMA ikut program apa itu namanya. Itu lho yang sekolah cuma dua tahun. Sudah gitu kuliahnya cepat juga, baru empat tahun sudah mau wisuda ya kan, Jeng?" terangnya kembali gencar mempromosikan gadis pilihannya. Aku hanya mengangguk-angguk salah tingkah, berharap topik pembicaraan akan kembali pada pengalaman liburan Tante Rahayu.
"Iya jeng, alhamdulillah. InsyaAllah Mei nanti Kia wisuda. Doain lancar ya, Jeng."
"Ya pasti lah, Jeng Ayu. Kia kan sudah saya anggap anak sendiri."
'Yang beneran anak sendiri malah dikacangin.' Gerutuku. Dalam hati tentunya. Mana berani aku terang-terangan protes pada Ibu.
Ibu dan Tante Rahayu melanjutkan obrolan mereka. Dalam hati aku bersyukur, mereka tak lagi membahas rencana perjodohan. Kali ini topik obrolan mereka berganti-ganti. Tentang tarif listrik yang mau naik, tentang rencana bakti sosial ke panti asuhan, tentang resep yang sedang viral. Entah apa lagi, aku tak berhasil mengikuti karena bosan. Rasanya aku ingin kunjungan ini cepat berakhir agar aku dapat melakukan hal yang lebih bermanfaat di rumah.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu sebagai upaya untuk tidak terlihat mengantuk selama menunggu. Dinding ruang tamu ramai dihiasi berbagai lukisan kaligrafi. Di sudut ruangan terdapat lemari kaca berisi piring hias dari manca negara. Tak kutemukan satupun foto keluarga yang biasa dipamerkan di ruang tamu. Jadi sampai sekarang, belum berhasil kuvisualisasikan sosok Kia yang kata Ibu cantik dan manis itu. Aku hanya bisa mereka-reka saja.
Mendengar deskripsi Tante Rahayu dan Ibu, mungkin Kia berkaca mata tebal karena sering membaca. Lalu sebagai seorang aktivis, mungkin kemeja flanel dan celana jeans penuh robekan merupakan seragam hariannya. Kulit gelap terpanggang matahari karena sering ikut demonstrasi? Kemana-mana membawa ransel besar dan berat karena banyak beraktivitas di luar rumah? Aku coba mereka-reka sosok Kia dengan stereotype-stereotype yang kutahu.
Sayup-sayup terdengar suara adzan Ashar dari pengeras suara. Alhamdulillah, aku terselamatkan oleh panggilan Illahi. Setidaknya aku bisa kabur sebentar ke masjid.
"Permisi, Tante. Saya pamit ke masjid sebentar, sudah Ashar," aku memanfatkan momen ini untuk menghindar sejenak dari Ibu dan Tante Rahayu.
"Oh iya, nak Arsyad. Silahkan. Nggak terasa udah Ashar aja. Tapi rumah tante ini agak jauh lho dari masjid kompleks. Atau nak Arsyad mau sholat di sini aja?" tawar Tante Rahayu.
"Nggak apa-apa Tante. Seingat saya, di dekat sini ada jalan pintas untuk jalan kaki ke masjid," aku menolak secara halus. Sebenarnya aku bukan orang yang selalu salat tepat waktu di masjid. Kadang-kadang kalau malas aku melaksanakan salat di rumah. Tapi kali ini, aku butuh perubahan suasana sejenak untuk melegakan pikiran yang penuh oleh masalah perjodohan.
Ibu mencondongkan kepalanya ke arahku. "Habis sholat langsung balik ke sini lho, awas kalau malah pulang ke rumah," bisik Ibu mengancam.
Dibandingkan ke rumah Tante Rahayu, rumah kami memang lebih dekat ke masjid. Tapi tidak mungkin juga aku meninggalkan Ibu di sini. Selain takut Ibu marah, masak kusuruh Ibu membawa pulang mobilku ke rumah?
"Ya sudah kalau gitu. Hati-hati ya Nak Arsyad. Kalau nyasar nanti telepon aja, ya!" pesan Tante Rahayu padaku.
Aku membalas sarannya dengan senyuman dan anggukan kepala. Mana mungkin aku nyasar, area perumahan ini dulu juga sering kujelajahi semasa sekolah dulu. Dan rasa-rasanya tidak ada perubahan yang berarti. Kalau hanya jalan ke masjid, aku bisa mengira-ngira sendiri.
---------
---------
Katamela
Hai. Terima kasih sudah mampir.
Cerita ini akan diusahakan update minimal seminggu sekali, karena sambil saya pindahin ke Wattpad, saya sekalian revisi tipis-tipis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top