Chapter 33
KEDIAMAN Bachtiar sedang mengalami keadaan yang cukup pelik! Bukan tentang harta yang di gondol maling ataupun properti yang nilai sahamnya menurun drastis. Masalah materi, tak perlu dipikirkan lagi. Berbagai bisnis yang dilakoni Bachtiar bukan hanya bersumber dari satu cabang saja, melainkan terus merambat pada aspek kebutuhan sehari-hari.
Kepala keluarga Bachtiar saat ini sedang dihadapkan dengan yang pilihan yang sulit. Pada satu sisi, dia akhirnya mendapatkan berita mengharukan yang membuat hatinya jadi lapang, tetapi di hari yang bersamaan, kabar yang diterimanya setelah Nadira dinyatakan sadar dari komanya, dia justru dihadapkan dengan kenyataan pahit yang mengatakan kabar buruk tentang putri angkatnya.
Kabar yang dia terima dari si sulung tersebut seakan menyedot habis seluruh euforia kebahagiaan yang membuncah sebelumnya. Perasaan Zahair kala itu, tumpang-tindih. Bahkan hampir-hampir dirinya melakukan kecerobohan akibat pikirannya yang semrawut.
Setidaknya sudah berlalu seminggu sejak peristiwa menghilangnya Kyra Bachtiar. Hal itu sempat menggempar dunia pertelevisian yang kerap mengabarkan pemberitaan tentang anggota Bachtiar yang menghilang. Namun, sejak mereka mendapatkan panggilan yang lokasinya susah dilacak--kemungkinan pihak yang menculik juga memiliki seorang ahli teknologi yang handal--bahkan suara yang terdengar melalui gawai yang tersamarkan pun sulit untuk diidentifikasi.
Berita mengabarkan dua kisah yang kontradiktif, menjadikan nama Bachtiar mencuat pada peringkat tertinggi sebagai pemberitaan yang terkenal. Namun, karena datangnya ancaman dari sang penculik, juga keresahan yang datang pada Zahair, karena sebagian tim kontra yang hendak menjatuhkannya malah membawa-bawa hal negatif yang menyebarkan berita kalau-kalau Kyra merupakan anak haram darinya. Hal itu tentu berdampak bagi anggota keluarga Bachtiar menjadi naik pitam.
Makanya, seluruh pemberitaan tentang keluarga Bachtiar dalam sepekan ini jadi senyap. Akhirnya para media massa itu berhasil dibungkam. Bukan hanya mereka saja, para penculik yang awal-awal sering memberikan mereka peringatan--sekaligus petunjuk-petunjuk yang ambigu--tetapi berkat mereka juga, setidaknya keluarga Bachtiar dapat bergerak tanpa kehilangan arah.
“Bangsat!” Umpatan Alister dihadiahkan dengan sikutan pada perutnya.
Korban sikutan itu melotot tak terima. “Ngajak kelahi lo? Ayo!” Alister sudah berancang-ancang dan mengisyaratkan dengan jemarinya kalau dia bersiaga untuk berkelahi.
Tanggapan dingin dari Akalanka akhirnya membuat Alister mendengkus. “Halah, cemen,” caci Alister.
Akalanka menoleh sekilas pada Alister. “Terima kasih, lo yang lebih,” balasnya dengan tampang datar dan melewati Alister sambil lalu.
Mata yang memesona layaknya angkasa di malam hari, terbelalak ketika Akalanka sengaja menyenggol bahunya sebelum beranjak ke tempat Zahair yang berada di lantai dua.
“Lo ... sial!”
•oOo•
Semenjak hilangnya kontak dengan Kyra, satu-satunya orang yang menjadi saksi mata adalah Hana. Gadis berjilbab yang merupakan sahabat karib Kyra--menjadi korban hilang bersama Kyra--ditemukan setelah menghilang 3x24 jam.
Kondisi psikis Hana yang tidak kondusif untuk memberikan pernyataan, karena kondisi Hana yang ditemukan mengenaskan juga menggetarkan rasa iba, sekaligus kekhawatiran karena bisa saja mereka memperlakukan Kyra jauh lebih kejam dibandingkan dengan Hana yang terkurung dalam sebuah sangkar berukuran besar seukuran setengah badan manusia dewasa.
Saksi mata yang pertama kali menemukan Hana pun, tak ayal merasa mual sekaligus ngilu ketika mendapati luka-luka, tampak dibalik busana muslim yang Hana kenakan. Tak hanya itu saja, pelaku bahkan meninggalkan bekas sayatan yang cukup dalam di bagian pipi kanan gadis tersebut.
Dalam luka lain, kentara bekas lilitan besi yang melingkari kedua pergelangan kaki Hana. Maka tak heran, jika gadis berjilbab itu, kini tengah mendapatkan penanganan yang khusus dari para ahli terpercaya. Keluarga Bachtiar juga turut memfasilitasi administrasi untuk kesembuhan Hana, karena bagaimana pun juga, kesembuhan Hana merupakan salah satu kunci tempat mereka bisa menemukan lokasi Kyra.
“Tidak ada petunjuk apa pun?”
Gelengan dari Daniel--salah satu ahli IT kepercayaan Bachtiar--pemimpin intelijen yang menangani kasus Kyra, menyurutkan semangat Zahair.
“Tuan tenang saja, meski samar-samar, radar yang melacak lokasi penelepon terakhir sudah kami dapatkan,” hibur Daniel. Dia juga turut merasakan duka saat menerima informasi tentang hilangnya anak angkat perempuan yang baru-baru ini menjadi bagian dari keluarga Bachtiar.
Meski dapat terhitung dengan jari pertemuan antara Daniel dengan Kyra kala itu, tetapi prasangka Daniel yang memiliki persepsi kalau kehadiran Kyra bisa saja menjadi--setidaknya sedikit--pelipur lara bagi keluarga Bachtiar yang pada tahun-tahun sebelumnya dirundung duka yang tidak berkesudahan akibat tragedi yang merenggut nyawa Nyonya Bachtiar dan menjadi penyebab si bungsu Bachtiar mengalami koma.
Bagi Daniel, perangai Kyra yang bertolak-belakang dengan Nadira, meski dia juga heran, kenapa dua orang beda keturunan itu dapat memiliki rupa yang sama? Namun, sikap Kyra yang mudah beradaptasi--diluar dugaannya--hanya selama setengah tahun kurang, dia sudah menjadi akrab dengan keluarga yang akhir-akhir ini menjadi jauh lebih ceria.
•oOo•
Gundukan tanah yang baru saja membumikan seseorang dan aroma petrichor disertai rintik hujan yang membasahi tanah, menciptakan suasana duka kian terasa. Pakaian serba hitam dengan sejumlah pelayat--yang meski sudah dibatasi kehadirannya supaya pemakaman menjadi lebih khusyuk--pun masih terbilang menyesakkan lingkungan TPU.
Berbagai ungkapan belasungkawa yang tidak lebih bisa--tidak dapat menghibur--setitik lara yang melukai sanubari orang-orang terdekatnya, hanya sebatas ungkapan tanpa makna. Sebab, hanya orang-orang yang merasakan pedihnya kepiluan, yang dapat merasai sakitnya luka yang ditinggalkan oleh orang terkasih.
Zahair Bachtiar, walaupun masih terlihat gagah, dengan pakaian hitam yang melekat sempurna pada badan tegapnya, duduk setengah bersimpuh di samping makam yang bertuliskan bagian dari belahan jiwa yang selama ini dia jaga sepenuh hati.
Mirza Bachtiar
Nama yang terukir pada hatinya selama puluhan tahun itu, tak pernah tergantikan meski kekacauan yang sempat menggoyahkan rumah tangganya sering datang silih berganti.
“Aku kira, aku sendiri yang akan duluan berpulang pada-Nya,” gumam Zahair sambil mengusap baru nisan yang sudah tertancap pemilik makam tersebut.
Seulas senyum getir, menghiasi wajah Zahair yang memancarkan rona sendu. Kantung mata berwarna kelabu disertai sudut-sudut mata yang merah, makin menambah praduga orang-orang kalau Zahair benar-benar terpuruk dengan kehilangan sang istri.
Salah satu dari puluhan pelayat yang datang bergantian, Daniel menjadi orang yang berada dekat di sisi Zahair bersama Andrean. Dia mengamati sikap Zahair yang berubah drastis selepas kejadian nahas tersebut.
Daniel memegangi bahu Zahair, sudah lama tuannya itu menekuk lutut. Dia turut khawatir dengan kesehatan sang tuan. “Tuan, sebaiknya regangkan dulu otot-otot Tuan,” bujuknya.
Zahair menuruti tanpa banyak protes. Dia juga turut menyalami dan menerima ungkapan sungkawa dari para tamu. Meski dirinya menampilkan wajah tegar, tetapi air mukanya tidak dapat menyembunyikan besaran rasa sakit yang diterimanya.
Andrean kemudian membantu Zahair lebih banyak, hingga akhirnya Daniel memilih menyingkir. Tanpa sengaja, sorot matanya berpapasan dengan pemilik muka yang menyerupai Zahair, tetapi dalam versi lebih muda.
“Tuan Lanka?” sapa Daniel yang mendekati tuan muda Bachtiar.
Laki-laki muda yang baru saja mendapatkan penghargaan tertinggi atas prestasi yang diraihnya di bangku putih-merah dan saat ini hendak memasuki masa-masa pubertas, tidak menampakkan reaksi sedih sedikit pun. Hal itu, justru makin membuat Daniel jadi khawatir.
Akalanka yang merasa namanya terpanggil pun, hanya menoleh sekilas. Dia hanya berdiri seperti patung yang bisu, meski beberapa orang mendatanginya dan berusaha menghibur sang tuan muda yang tingginya baru sebatas dada orang dewasa.
“Mari saya antar ke mobil,” ajak Daniel sambil merangkul bahu Akalanka.
“Kenapa?”
Pertanyaan sekata dari Akalanka membuat Daniel memikirkan kemungkinan dari pertanyaan itu ditunjukkan.
Apakah dia menanyakan alasan ibunya meninggal?
Atau dia menanyakan alasannya berada di sini? Tidak mungkin, 'kan, anak secerdas Akalanka tidak mengetahui tempatnya berpijak saat ini.
Atau... apakah yang dia tanyakan tentang ajakan Daniel yang mau menuntunnya ke mobil?
Karena pertanyaan ambigu itu, Daniel terdiam beberapa sekon. Namun, pada akhirnya dia pun mengalah. Daripada salah menduga dan malah menjerumuskan tuan muda dalam jawaban yang salah, Daniel pun memutar kembali pertanyaan Akalanka.
“Kenapa apanya?”
Sorot mata Akalanka yang sama dengan mendiang Nyonya Bachtiar, menatapnya dengan dahaga keingintahuan. Kemudian, satu pertanyaan utuh pun terucapkan dari bibirnya mungil tersebut.
“Kenapa aku nggak bisa nangis?”
Pertanyaan yang meluncur dari bibir anak berusia belasan tahun itu membuat Daniel tertegun dan menahan napas. Dia kembali memerhatikan Akalanka yang bersikap tenang, bahkan tidak terlihat seperti orang yang bari saja kehilangan orang terkasihnya.
Berbeda dengan Daniel yang memastikan jika perkiraan kalau Akalanka bukan anak laki-laki berusia dewasa yang dibalut dengan tubuh mini, pandangan Akalanka justru teralihkan saat tangan kanannya dia tempatkan--untuk menyentuh--dada atas bagian kiri. “Di sini rasanya ngilu, tapi aku nggak tahu itu karena apa.” Akalanka lantas menggeleng pelan. “Padahal di sini nggak berdarah.”
Selain dirinya yang tercengang dengan pertanyaan dan kalimat menyayat hati, Daniel merasakan jika mulutnya dibungkam. Beberapa saat yang lalu, bisa saja bibirnya menuturkan kalimat-kalimat klasik untuk menghibur sang tuan muda. Namun, apa dikata. Tidak ada yang mampu dia katakan.
Daniel menarik napas, mencoba bersikap dewasa--walaupun sulit--lalu berjongkok dan mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Akalanka yang masih memerhatikan Daniel dengan penuh tanda tanya.
“Tuan,” Daniel berupaya merebut atensi lawan bicaranya agar tidak terus-terusan memandangi gundukan kuburan yang ada di balik badannya. Dia juga memegangi kedua tangan Akalanka, berharap kalau nanti Akalanka tidak akan goyah. “Coba ikuti kata-kata saya, oke?”
Akalanka yang masih berwajah lucu, tetapi dengan minim ekspresi sudah memesona berbagai kalangan, mematuhi kata-kata Daniel. Dia seperti belajar berbicara saja karena harus mengikuti ucapan orang yang ada di depannya. Namun, jika dengan itu dia bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan, tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan?
Setelah mendapatkan keputusan, Daniel pun mulai berkata, “Aku tidak baik-baik saja. Aku merasakan sakit yang teramat menyiksa sampai aku merasa sesak.” Daniel mengepalkan tangan kanan dan menyimpannya di dada atas bagian kiri. Dia pun menepuk-nepuk bagian itu. “Ini terlalu sakit, aku tidak bisa menerimanya. Aku merasa, jika aku menangis, semua akan lebih baik.”
Seolah terhipnotis dengan kata-kata Daniel yang mirip seperti mantra, Akalanka turut menirukan kepalan tangan yang menepuk pelan dada kiri bagian atas seraya berkata, “Aku tidak baik-baik saja. Aku merasakan sakit yang teramat menyiksa sampai aku merasa sesak.”
Lalu, tanpa Akalanka sadari, setetes air mata yang diikuti oleh air mata lain ketika dia mengedipkan mata, kian membasahi pipinya. Melihat Daniel yang menganggut, dia pun tetap melanjutkan kalimatnya, “Aku tidak baik-baik saja. Aku merasakan sakit yang teramat menyiksa sampai aku merasa sesak.”
Di balik derasnya air mata yang keluar, Akalanka malah terlihat senang. Dia memeluk leher Daniel seraya berkata, “Kau hebat, Paman. Aku tidak menyangka kalau aku bisa menangis seperti ini.”
Suara dari Akalanka yang berada di samping telinga Daniel, terasa amat memilukan. Laki-laki kecil yang masih membutuhkan sosok ibu untuk menuntun masa adaptasinya di dunia remaja, kini tampak rapuh--walaupun mukanya dibalut dengan apik--atas minimnya ekspresinya.
Daniel yang pada waktu itu belum dikaruniai keturunan, karena belum mendapatkan jodoh, diam-diam mulai menganggap Akalanka sebagai anaknya.
“Kau anak yang hebat, Lanka,” kata Daniel sambil mengusap punggung Akalanka. Anak kecil yang berada dalam pelukannya pun, tanpa sungkan jadi melampiaskan tangisannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top