Chapter 19
1825 : cendala
(a) (kl) hina; buruk; keji; cabul
Hati manusia akan menjadi lemah ketika harapan tidak sesuai kenyataan.
BIAS pencahayaan yang mampu menyilaukan mata membuatnya harus bersusah-payah dalam upayanya membuka kelopak mata yang dirasa berat. Sakit kepala yang dideranya, bagaikan tertimpa pukulan godam pun lambat laun berangsur hilang. Kendati demikian, masih saja menyisakan rasa tak nyaman yang menyerang belakang tempurung kepalanya.
“Kyra!”
Suara yang menyerukan namanya, kompak terdengar. Hal tersebut memotivasinya untuk membangunkan keinginan alam bawah sadar gadis yang kini terbaring lemah di atas brankar kesehatan di SMANSA, agar segera terjaga.
Sensasi hangat yang berasal dari genggaman pada lengan kiri yang tidak terpasang selang infus, menggelitik perutnya dengan rasa penasaran karena suhu hangat yang menjalar kepada tubuh Kyra. Dia merasakan perasaan itu berasal dari seseorang—yang entah siapa—karena banyak suara yang menyerukan namanya secara serempak. Sehingga Kyra sulit membandingkan antara pelafalan orang yang tengah menggenggamnya dengan ragam suara familier yang silih bersahutan.
Bunyi lenguh lesu yang berasal dari bibir pucat milik Kyra, memicu reaksi kelima anak manusia untuk mengucapkan syukur. Salah satu di antaranya--yang menggunakan jubah kedokteran berwarna putih bersih--yang pakaiannya tampak menyatu dengan warna skin tone pada dinding.
Dia menghampiri Kyra setelah memberikan isyarat berupa pengusiran tersirat atau menyuruh keempat manusia lain yang berbagi oksigen dengannya segera menyingkir.
“Sebaiknya kalian memberikan ruang bagi Kyra agar dia tidak mengalami syok pasca terjaga nanti, karena melihat kalian yang berkerumun seperti sekarang.”
Usai mengikuti perkataan orang yang mereka anggap ahli dibidang kesehatan, Kyra akhirnya bisa terjaga dengan tenang. Sayup-sayup kemudian, indranya mulai berfungsi dengan baik. Dia mengintip dibalik mata yang sengaja dipejamkan, menghitung dalam hati siluet bayangan yang dia lihat. Empat orang.
Melihat ada salah satu dari keempat orang yang duduk itu yang mendekat ke arah brankarnya, setelah orang yang berpakaian medis selesai mengecek kondisi Kyra, dia buru-buru memejamkan mata. Kyra sebenarnya merasa malu karena harus berhadapan dengan orang-orang yang dia yakini tidak jauh yang itu-itu saja, karena lingkup pertemanannya memang begitu adanya. Sedikit.
“Kenapa harus pura-pura tidur, Ky? Masih ada yang sakit?” Akalanka membelai lembut kepalanya.
Kyra membuka mata. Dirinya disambut dengan gurat kecemasan yang terpatri pada wajah Akalanka. “Maaf,” cicitnya pelan.
Tak tega membuat adiknya merasa terbebani akibat kekhawatirannya, Akalanka menghela napas panjang. Dia mengamati keadaan Kyra dengan cermat, takut-takut adiknya mengalami penurunan kesadaran lagi. “Nggak masalah. Tapi sekarang, gimana perasaan kamu? Masih ada yang sakit?”
“Nggak, Kak. Aku udah mendingan, kok.”
“Bener? Kalau emang beneran nggak ada perubahan, mendingan kita ke RS aja.”
Perkataan Akalanka sontak membuat Kyra tercengang. Dia segera terbangun dan menahan tangan Akalanka. “Nggak perlu!” cegahnya dengan panik.
Reaksi Kyra membuat Hana, Alister dan Pak Bagas, berderap ke arahnya. Namun, karena perhatian Kyra masih tertuju pada penawaran kakaknya yang bisa saja benar-benar hendak membawanya ke rumah sakit. Padahal, Kyra merasa tubuhnya sudah baik-baik saja meskipun ada rasa lemas di dalamnya.
“Syukurlah kamu sudah sadar, Kyra. Kami cemas karena kamu pingsan selama tiga jam,” tutur Pak Bagas yang dirasa penuh penyesalan.
Huh, tiga jam? Kyra menggelengkan kepalanya tak percaya. Kemungkinan itu disebabkan karena dirinya kurang tidur, jadinya—yah, mestinya dia tidak merepotkan mereka untuk menunggu. Paling tidak, sebelum Kyra pingsan, dia harus beritahu orang-orang dulu, kali, ya? Tapi, memangnya ada yang pingsan itu harus bilang dulu? Ada-ada saja.
“Ah, maaf, ya, Pak. Bapak jadi direpotkan sama saya,” ungkap Kyra merasa sungkan karena ditunggui oleh seorang guru ketika dirinya pingsan.
Sumbu pendek Alister ikut menyahut, kali ini dengan terang-terangan menyindir, “Lain kali jangan cuma ngejar target ajar. Nggak semua murid bisa ungkapin kondisinya.” Alister melirik sekilas pada Kyra. “Contohnya aja kayak dia.”
“Sekali lagi, Bapak minta maaf karena tidak terlalu memperhatikan terhadap kesehatan kamu.”
“Eh, nggak apa, Pak. Aku juga yang nggak hati-hati. Padahal Hana udah beberapa kali peringatin aku.”
Ungkapan maaf Bagas malah membuat Kyra merasa bersalah. Dia melirik tajam pada Alister.
Empu yang ditatap malah bersedekap sambil menatap balik dengan congkak. “Apa?”
Kyra berdecih, kemudian berpaling pada Hana, supaya gadis itu mau membantunya untuk menjelaskan.
“Iya, Pak. Bapak tenang aja, dia ini emang agak bandel orangnya,” timpal Hana. Paham situasi, Kyra beruntung memiliki kawan yang mengerti akan dirinya.
“Baik, kalau gitu, Bapak pamit dulu, ya. Nak Kyra jaga kesehatan dan jangan sungkan untuk izin kalau memang sakit, tolong bilang-bilang supaya tidak mengulangi kejadian serupa.” Pak Bagas mengusap kepala Kyra sekilas, lalu memberikan senyuman manis penuh pengertian.
Kyra mengangguk antusias. Diberikan perhatian dari seorang guru seperti Bagas, membuat senyum Kyra makin melengkung. Sikapnya itu mendapatkan godaan dari Hana yang menyebutnya mudah bawa perasaan. Namun, Kyra hanya mengabaikan celotehan itu. Hatinya merasa terhibur.
“Ck, caper,” umpat Alister. Dia masih saja melayangkan pandangan permusuhan pada Bagas, meskipun pria di akhir dua puluh tahunan tersebut sudah tidak ada di ruangan lagi.
“Nyebut mulu,” tegur Akalanka yang akhirnya kembali bersuara. Dia menyikut lengan sang adik dan membuat Alister menyorot galak padanya. “Balik aja sana, ngajarin anak orang nggak bener aja.”
“Daripada situ, nanya terus kayak wartawan,” balas Alister yang tak mau kalah.
“Kamu, depan adik kelas,” Akalanka menunjuk Kyra dan Hana, “meskinya jaga sikapmu barusan. Apalagi di depan guru. Emang nggak cape apa bolak-balik BP terus, huh?”
Alister menggertakkan giginya. Kulit wajah sawo matangnya bersemu merah, bukan tipikal sikap malu-malu karena tersipu, melainkan karena emosi yang tengah direndam. “Terserah!”
Alister langsung memutarkan badan dan berbalik pergi. Ketika sampai diambang pintu, dia melemparkan sebatang coklat yang sering mendapatkan klaim sebagai coklat terbaik yang dilihatnya di televisi beserta sebuah plester bermotif lucu pada Kyra.
Belum sempat bagi Kyra untuk mengatakan ungkapan terima kasihnya, tubuh Alister sudah meninggalkan UKS. Kyra jadi bertanya-tanya, tumben-tumben Alister lebih memilih mengalah daripada menanggapi ungkapan sarkas Akalanka.
Lalu, Kyra mengalihkan pandangannya pada Akalanka yang mengusap dada, berusaha menyabarkan diri. “Huh, dasar anak itu.”
Perhatian Akalanka kembali tertuju pada Kyra. “Kakak balik ke kelas dulu, kalau ada apa-apa, kabari, ya.” Kyra membalasnya dengan anggukan kepala. “Kamu, juga. Kalau ada apa-apa dengan Kyra jangan sungkan kabari saya,” beritahu Akalanka pada Hana.
“Siap, Kak! Kakak tenang aja.”
Sekilas, Akalanka menganggut. Dia tersenyum tipis, lalu mengusap kepala Kyra sebentar. “Nitip Kyra.”
Barulah setelah kepergian dua orang itu, serta penjaga UKS yang masih berada di luar ruangan karena katanya ada panggilan penting, Hana langsung membuka topeng tenangnya. Dia menarik tangan Kyra dan meletakkannya pada jantungnya yang berdegup kencang.
“Oh, Tuhan, nikmat mana lagi yang kami dustakan?” ucap Hana, mendramatisir.
Kyra mencibir pelan, lalu segera menarik kembali tangannya. Dia memandang Hana dengan kening berkerut karena bingung. Maka, ketika Hana menggeleng sambil mencubit pipi Kyra, gadis itu tidak tahan lagi untuk tidak menyemburkan rasa penasarannya.
“Kamu kenapa, sih, kayak orang yang nggak jelas aja. Nggak ada angin, nggak ada hujan, tapi tiba-tiba kalem. Hayo, ngaku lagi jaga image ke siapa?” desak Kyra dengan disertai senyum menggoda.
Senyum Hana makin lebar. Bibirnya hendak berucap sesuatu. Namun, tiba-tiba dia menepuk-nepuk kening seakan teringat sesuatu yang penting. “Ya, ampun. Nggak boleh gitu! Dosa. Nanti sakit hati, nggak ah, nggak ah.”
Lalu saat Hana melisankan ungkapan istighfar-nya, Kyra hanya bisa mengulum senyum. Tidak heran, jika tidak ada yang tidak bisa, tidak menyukai gadis seperti Hana.
Lalu, gadis sepertiku ini, apakah pantas mendapat rasa suka orang lain?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top